Ren melangkah keluar dari rumah "Murphy," dengan langkah yang tenang, menghirup udara yang dingin dan segar di halaman luas itu. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang menyentuh puncak pepohonan. Dari kejauhan, di bawah pohon besar yang rindang, terlihat dua sosok yang dikenalinya: Violet dan Louise.
Begitu Ren keluar dari ruangan, ia melangkah ke arah Violet dan Louise yang sedang menunggu di bawah pohon rindang di halaman. Louise melambai riang ketika melihatnya mendekat, dan Violet tersenyum lembut.
"Akhirnya kau datang juga!" seru Louise dengan senyum lebar, ekspresinya cerah meski tadi sempat terasa berat. "Kupikir kau akan terus mengurung diri di dalam!"
Ren hanya tersenyum kecil sebagai balasan, sebelum matanya tanpa sadar melirik ke arah sosok lain yang duduk tidak jauh dari mereka—Roze.
Dalam bayangan matanya, Ren bisa mengingat betapa penuh energinya gadis itu dulu, berlari cepat di sekitar lapangan dengan tawa yang selalu terdengar jelas. Tapi kini, Roze hanya diam, duduk dengan pandangan kosong. Ada yang aneh, sangat aneh. Pikirannya mulai terpusat pada Roze.
Sebuah perasaan tidak nyaman mulai menjalar di dalam dirinya. Pikiran Ren kembali terfokus pada Roze. Sebelum ia sempat mendalami lebih jauh, sebuah suara halus memecah lamunannya.
"Ren?" Suara Violet terdengar lembut, penuh perhatian.
"Oh, ya?" jawab Ren, sedikit terkejut, berusaha kembali fokus pada percakapan. Ia duduk di antara mereka dengan senyum tipis, meski pikirannya masih tertinggal di bayangan Roze. Violet menatapnya dalam, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Ren, tapi memilih untuk tidak membahasnya.
Ren tersenyum tipis dan duduk di sebelah mereka. Violet memberinya tatapan penuh arti, seolah mengatakan bahwa keputusan untuk ikut keluar adalah langkah yang tepat. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyanya lembut.
Ren menghela napas pelan, matanya kembali melirik ke arah Roze sebelum dengan cepat beralih ke Violet. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah," jawabnya sambil berusaha tersenyum. Tapi senyum itu terasa hampa.
"Semua orang lelah," timpal Louise sambil meregangkan tubuhnya. "Mencari potongan kayu untuk ukiran Murphy benar-benar membuat ototku tegang." Ia tertawa kecil, meski kelelahan jelas tampak di wajahnya. "Siapa sangka pekerjaan kecil seperti itu bisa menguras tenaga?"
Violet tersenyum simpul dan mengangguk, "Ya, tapi setidaknya kita hampir selesai. Hanya beberapa bagian lagi, dan kita bisa menyerahkannya."
Ren mengangguk pelan, tapi pikirannya kembali melayang pada Roze. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dia diam? Dan... kakinya. Dia ingat Roze berkata beberapa waktu lalu bahwa dia tidak bisa berjalan, tapi Ren tidak pernah berpikir itu akan menjadi sesuatu yang serius. Pikirannya kembali pada masa lalu, saat Roze masih berlari dengan riang, tawa cerianya bergema di antara pepohonan.
"Lalu, bagaimana rencanamu setelah ini, Ren?" tanya Louise tiba-tiba, memotong jalur pikirannya.
Ren kembali tersentak dari lamunannya. "Rencana?" Ia mengerutkan kening.
"Kau tahu, setelah ukiran Murphy selesai," lanjut Louise sambil menyisir rambutnya ke belakang. "Kita masih punya waktu sebelum musim dingin datang. Mungkin kita bisa menjelajah sedikit lebih jauh?"
Ren menatap Louise sejenak, lalu mengangguk. "Mungkin," jawabnya, meski tidak terlalu yakin. Pikiran tentang Roze masih menggantung di benaknya, seperti awan gelap yang tak bisa ia abaikan.
Louise mendekati Ren dengan maksud tersembunyi dari perkataannya. "Hei, Ren bukannya kau akhir-akhir ini akrab banget dengan gadis kepala desa? Kalau tidak salah... Ralph?"
"Oh? Ralph? Iya. Kami memang cukup dekat." Ren dengan biasa menjawabnya.
"Jangan bodoh Louise. Ren bukan orang yang seperti itu. Tak ada gunanya kamu menanyakan hal tak senonoh kepadanya." Violet menjewer telinga Louise.
"Oh begitu ya. Mhhm... Roti lapis buatan Violet memang yang terbaik!" Louise mengalihkan pembicaraannya tapi sungguh dia sangat menikmati sarapan yang dibawakan oleh Violet untuk dimakan bersama.
Louise mengalihkan pembicaraan dengan nada ringan, memegang roti lapis di tangannya. "Oh begitu ya... Mhmm... Roti lapis buatan Violet memang yang terbaik!" Ucapannya diiringi tawa kecil, jelas terlihat betapa dia menikmati sarapan itu dengan sepenuh hati.
Ren menatap mereka dengan sedikit bingung. Sesuatu mengusik pikirannya. "Tunggu, dari mana kalian mendapatkan roti lapis itu?"
Louise memutar matanya seolah pertanyaan Ren adalah hal yang aneh. "Ren, sungguh kau tidak tahu roti lapis ini?" Dia menggigit lagi, menikmati setiap suapan dengan ekspresi puas.
"Iya, memangnya kenapa? Katakan saja," balas Ren sambil menyipitkan mata, tidak sepenuhnya percaya dengan suasana santai di sekitarnya.
Louise tiba-tiba tersenyum lebar, seolah telah menunggu momen ini. "Oh, kau benar-benar tidak paham! Roti lapis buatan Violet adalah keajaiban! Lembut, renyah di pinggir, tapi tengahnya—oh, jangan salah, rasa keju yang meleleh di dalamnya seperti pelukan hangat di hari musim dingin!" Dia menirukan gerakan pelukan dengan tangannya, lalu melanjutkan dengan semangat yang tak berkurang. "Dan dagingnya, sempurna sekali! Bukan hanya sekadar daging biasa. Itu direndam dalam bumbu rahasia selama satu malam penuh. Setiap gigitan terasa seperti pesta kecil di lidahmu. Lalu, sayurannya segar, sangat renyah, seolah-olah baru saja dipetik dari kebun pagi ini!"
Ren memotongnya, menatapnya dengan alis terangkat. "Tunggu, pagi ini?"
Louise mengangguk dengan semangat, tidak menyadari kerutan di wajah Ren yang semakin dalam. "Tentu saja! Rasanya segar dan baru. Dan jangan lupakan sausnya! Violet mencampurkan bumbu rempah yang dia tanam sendiri. Ini bukan sekadar roti lapis, Ren. Ini adalah seni dalam bentuk makanan!" Louise tertawa, tampak begitu puas dengan penjelasan panjangnya.
Ren menatapnya sejenak, membiarkan kata-katanya tenggelam dalam kesunyian sore. Dia melirik langit yang semakin gelap, lalu kembali memandang Louise dengan tatapan penuh tanda tanya. "Louise... ini sudah hampir lewat dari sore."
Louise terdiam, roti lapis di tangannya tergantung di udara, mulutnya terbuka setengah, tapi kata-kata Ren mulai memecah kesadarannya. Dia menoleh ke arah Violet, yang tampak tenang seperti biasa, tetapi jelas menyadari maksud Ren.
"Jadi... kapan persisnya kau membuat sarapan ini?" Ren bertanya dengan lebih tenang, matanya berpindah dari Louise ke Violet, yang tetap diam.
Violet akhirnya tersenyum tipis, tetapi tak ada jawaban yang datang segera.
Louise menatap roti lapis di tangannya dengan ekspresi cemas, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. "Jangan-jangan... Ini bukan makanan basi atau... diracuni, kan?" tanyanya dengan suara bergetar, melihat Violet dengan penuh kekhawatiran.
Violet tetap tersenyum tipis, tanpa memberikan jawaban apapun.
"Violet..." Louise tampak begitu dramatis seakan-akan umurnya sudah tak lama lagi karena memakan roti lapis sisa dan basi.
Violet terkejut sejenak, lalu tertawa kecil. "Oh, tidak, Louise. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya sambil menggelengkan kepala. "Roti lapis ini sebenarnya memang seharusnya jadi sarapan kalian. Tapi karena sudah hampir lewat sore, dan bahan-bahannya—terutama dagingnya—sulit didapatkan, jadi sangat disayangkan jika dibuang. Aku hanya menghangatkannya kembali."
Louise menatap Violet dengan pandangan campur aduk antara lega dan bingung. "Jadi... Ini sebenarnya sudah agak dingin?"
Violet mengangguk, wajahnya masih dihiasi senyum lembut. "Benar. Tapi roti lapis ini tetap enak. Hanya sedikit dihangatkan dan rasanya masih sama."
Mendengar penjelasan itu, Louise mulai merasa lebih tenang, tapi dia tetap penasaran. "Jadi, meski sudah dingin, rasanya tetap... seperti ini?" Dia kembali mencicipi roti lapisnya, matanya membesar dengan kekaguman. "Woahhh... Rasanya masih enak sekali. Bahkan sudah dingin pun, rasanya tetap memuaskan. Bayangkan saja kalau masih hangat-hangatnya saat dihidangkan!"
Ren menatapnya, tidak bisa menahan senyum melihat reaksi Louise yang kembali ceria. Louise sudah mulai memuji roti lapis Violet tanpa henti, kali ini dengan keyakinan penuh. "Violet, kau benar-benar luar biasa. Roti lapis ini—bahkan dalam keadaan dingin seperti ini—rasanya sangat menakjubkan. Aku tak bisa membayangkan betapa lezatnya saat masih hangat!"
Violet tertawa kecil lagi, tampak puas dengan reaksi Louise. "Aku senang kau suka. Memang sulit membuat semua bahan segar, jadi kadang kita harus berkompromi. Tapi aku yakin, jika kau mencobanya dalam keadaan hangat, kau akan merasa jauh lebih puas."
Louise terus menikmati roti lapisnya, tidak terpengaruh oleh kebingungannya sebelumnya. "Oh, aku pasti akan meminta lebih banyak. Roti lapis ini benar-benar bagai keajaiban. Terima kasih banyak, Violet!" katanya sambil mengunyah dengan penuh semangat.
Louise menyandarkan punggungnya ke batang pohon besar di belakangnya, menikmati roti lapis yang ada di tangannya. "Hmm..."
Pikirannya sejenak melayang, memikirkan kembali legenda yang sering ia dengar sejak kecil tentang Empat Kesatria Suci. Cerita yang selalu diceritakan oleh para tetua desa, meskipun tak jarang ada bagian yang terasa aneh atau tak masuk akal baginya.
Dengan mulut yang masih sibuk mengunyah, Louise beralih pada Ren dan Violet, seolah ingin membagikan sesuatu yang menarik.
"Kalian tahu nggak, tentang legenda Empat Kesatria itu? Aku ingat nenekku pernah cerita saat aku masih kecil," Louise mulai, menggeser percakapan dari roti lapis ke dunia legenda yang dipenuhi petualangan dan pertempuran.
Violet mengangguk pelan, tapi Ren tampak lebih tertarik, menatap Louise sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon terdekat. Louise melanjutkan dengan semangat yang sama seperti saat ia memuji roti lapis Violet tadi.
"Jadi, konon ada empat pahlawan hebat yang dulu pernah menyelamatkan bangsa kita. Mereka semua sahabat karib, katanya. Ada yang ahli pedang, tombak, panah, dan tameng. Mereka kuat banget, sampai-sampai bangsa kita jadi makmur tanpa perlu bantuan dewa mana pun. Hebat, kan?"
Louise berhenti sejenak, mengingat potongan-potongan kisah yang kadang-kadang terdengar sedikit kabur. "Tapi, setelah itu katanya sesuatu terjadi. Bangsa kita dihukum langit karena... entah kenapa. Mungkin karena kesombongan? Atau karena mereka menolak para dewa?"
Violet mendengarkan dengan senyum tipis di bibirnya, sementara Ren tetap diam, memperhatikan dengan penuh perhatian.
"Lalu, salah satu dari mereka, si ahli tombak, mulai terpengaruh oleh kekuatan jahat. Ceritanya agak aneh di bagian ini. Nenekku bilang dia mengikat perjanjian dengan sesuatu—bukan iblis, tapi semacam kekuatan gelap yang tidak jelas asalnya. Jadi, dia berkhianat dan akhirnya melawan sahabat-sahabatnya sendiri."
Louise menggaruk-garuk kepalanya, menyadari bagian yang tidak masuk akal dari cerita itu. "Tapi yang aneh, nggak ada yang jelas tentang apa yang terjadi setelah itu. Ada yang bilang dia mati, tapi ada juga yang bilang dia hanya disegel. Katanya, pertarungan terakhir itu begitu dahsyat sampai tanah di sekitarnya runtuh dan berubah menjadi jurang yang kita kenal sebagai Abyss."
Violet mengangguk, tampak berpikir. "Abyss? Kau maksud jurang yang ada di sebelah desa kita?"
Louise mengangguk antusias, meski dia sendiri masih kebingungan dengan detailnya. "Iya! Tapi, bagian itu selalu berbeda tiap kali diceritakan. Beberapa bilang keempat kesatria itu semua mati di sana, tapi ada yang bilang cuma si ahli tombak yang terjebak di jurang. Dan si ahli pedang? Hmm... dia entah pergi ke mana. Nenekku bilang dia mungkin masih hidup, menyembunyikan diri atau mengawasi desa ini dari jauh."
Ren mengerutkan kening, mendengarkan dengan saksama. "Tapi bagaimana bisa empat orang yang sangat kuat dan dihormati tiba-tiba saling bertarung? Apalagi, bagaimana mungkin hukuman sebesar itu jatuh pada kita hanya karena mereka tak memuja dewa?"
Louise mengangkat bahu. "Itulah bagian yang selalu terasa aneh bagiku. Sepertinya tidak ada yang benar-benar tahu alasannya. Mungkin mereka salah menilai situasi? Atau mungkin ada kekuatan lain yang bermain di balik layar? Siapa yang tahu? Cerita ini sudah terlalu lama turun-temurun, banyak bagian yang hilang."
Violet tertawa kecil, lebih karena celah dalam cerita itu daripada kelucuan ceritanya. "Jadi, menurut cerita, Abyss itu diciptakan oleh pertarungan terakhir mereka?"
Louise mengangguk lagi, meski masih tak yakin sepenuhnya. "Ya... begitu yang dibilang. Tapi, apa itu benar atau hanya legenda? Nenekku bilang, setiap seratus tahun kabut di Abyss hilang, dan itu mungkin ada hubungannya dengan si ahli tombak. Mungkin kekuatannya yang membuat kabut itu, atau mungkin dia akan bangkit lagi?"
Ren mengerutkan kening, memandang dalam-dalam ke arah jurang yang jauh dari tempat mereka berdiri. Sementara Louise terus berbicara, tampaknya kesenangan tentang roti lapis sudah bergeser pada kesenangan berbagi legenda yang selalu membuatnya penasaran.
"Jadi, itulah ceritanya," Louise menyelesaikan sambil meneguk sisa minuman di tangannya. "Empat kesatria, perang besar, dan Abyss yang penuh misteri. Tapi jangan tanya aku apa yang sebenarnya terjadi. Setiap kali aku dengar cerita itu, selalu ada bagian yang berbeda. Terkadang aku merasa, mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang tidak pernah terungkap dalam legenda itu."
Violet dan Ren terdiam sejenak, memikirkan cerita itu. Tak satu pun dari mereka berbicara lagi setelahnya, tetapi dalam hati mereka, mereka tahu bahwa kisah Empat Kesatria Suci mungkin lebih dari sekadar legenda.
Saat Louise mengunyah roti lapisnya, Ren terus memikirkan Abyss. Ada rasa penasaran yang mendalam, satu perasaan yang menggigit dirinya.
Violet memecah lamunan Ren. "Kita harus menyerahkan potongan kayu ini ke Roze sekarang," katanya, suara lembutnya seakan mengembalikan Ren ke realitas. "Dia menunggu kita."
"Ya, tentu saja," balas Ren, meski pikirannya masih terjebak dalam rasa penasaran.
Setelah selesai dengan istirahatnya dan mengemas beberapa barang, Ren dan teman-temannya memutuskan untuk kembali. Ren melangkah di depan, sambil sesekali melirik ke arah Louise dan Violet yang berbincang dengan ceria.