Setelah menyerahkan potongan kayu kepada Roze, suasana di sekitar mereka terasa canggung. Roze menerima kayu-kayu itu dengan senyum kecil, tapi tidak ada semangat yang terpancar dari wajahnya. Ren mengamati adiknya dengan seksama, merasakan ada yang salah. Dulu, Roze adalah gadis ceria yang selalu menyemangati semua orang di sekitarnya. Sekarang, dia seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Terima kasih, semuanya," kata Roze, suaranya pelan dan lembut. "Kalian selalu bisa diandalkan."
Louise berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan topik. "Ayo kita merayakan keberhasilan ini! Kita bisa bikin pesta kecil-kecilan di rumah. Roti lapis buatan Violet lagi!" Dia tertawa, berharap bisa menghibur Roze.
Violet mengangguk, tapi pandangannya tetap berfokus pada Roze. "Kita semua di sini untukmu, Roze. Jika kau butuh sesuatu, jangan ragu untuk bilang."
Ren hanya terdiam, merenung. Suara Louise dan Violet terdengar samar di telinganya. Pikirannya kembali ke masa lalu, saat Roze masih berlari dengan penuh keceriaan, tidak terpengaruh oleh beban dunia. Dia sangat ingin kembali ke masa itu, di mana semuanya terasa lebih sederhana dan penuh harapan.
Sejenak, Ren melangkah menjauh dari kelompok, mencoba mengumpulkan pikirannya. Dalam hati, ia merasa cemas akan masa depan. Jika keadaan ini terus berlanjut, apa yang akan terjadi pada Roze? Kenangan-kenangan indah yang tersemat dalam benaknya mulai memudar. Apa yang bisa dia lakukan untuk membantu?
Pikirannya beralih pada legenda Empat Kesatria Suci. Dia ingat bagaimana legenda itu berbicara tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan konsekuensi dari tindakan mereka. Ren merasa seolah-olah dia berdiri di persimpangan yang sama. Apa yang terjadi jika dia tidak bisa menyelamatkan Roze dari takdir yang kelam?
Kembali ke tempat kelompok berkumpul, Ren mengalihkan pandangannya ke Violet dan Louise yang sedang berbincang. Louise terlihat ceria, tetapi Ren tahu ia menyembunyikan rasa khawatir di balik senyumnya.
"Ren, kau mendengar apa yang aku katakan?" Louise tiba-tiba bertanya.
"Oh, maaf. Aku... hanya sedikit berpikir," jawab Ren, berusaha tersenyum. Namun senyumnya tidak sampai ke matanya.
"Kenapa tidak kau berbagi saja? Mungkin kita bisa membantu," Violet menawarkan, tetap memandang Ren dengan penuh perhatian.
Ren menggelengkan kepala. "Aku merasa ada yang harus dilakukan. Sesuatu yang lebih dari sekadar menjaga Roze di sini. Aku... aku merasa kita perlu menjelajahi Abyss."
Ketika kata-kata itu keluar, suasana menjadi hening. Violet dan Louise saling bertukar pandang, jelas tidak menyukai ide itu.
"Abyss? Ren, itu berbahaya!" Violet mengingatkan, suaranya mengandung kekhawatiran.
"Tapi aku perlu mencari tahu lebih banyak tentang legenda itu," jawab Ren, bertekad. "Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa membantu kita."
Louise mendekat, suara lembut. "Tapi, Ren, ada risiko besar. Bagaimana jika kau tersesat? Bagaimana jika sesuatu yang lebih buruk terjadi?"
"Kalau aku tidak melakukannya, kita mungkin akan kehilangan Roze," Ren bersikeras. Rasa tanggung jawab membakar semangatnya. Dia tahu waktu tidak berpihak padanya, dan pilihan ini mungkin satu-satunya jalan untuk melindungi adiknya.
Dalam keheningan, Ren terbenam dalam pikirannya. Seiring kekhawatiran terus menggelayut, ia merasakan tekadnya semakin menguat. Saat ini, ia tidak bisa hanya menjadi pengamat. Dia harus bertindak.
Ren tersentak dari lamunannya ketika Violet memanggilnya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Ren? Kamu tak apa?"
"Apa maksudmu dengan kehilangan Roze?" Violet bertanya, mengerutkan dahi. "Dia akan baik-baik saja. Kita semua di sini untuk melindunginya."
Ren terdiam sejenak, jantungnya berdebar. Ia merasa seolah ada sebuah beban yang harus ia sembunyikan, tetapi kalimatnya sudah terlanjur terucap. "Aku—aku hanya terlalu cemas," ia akhirnya menjawab, berusaha menutupi perasaannya. "Abyss... itu bisa saja membawa risiko yang kita tidak bisa bayangkan."
Violet tetap menatapnya, matanya penuh perhatian. "Kita semua cemas, Ren. Tapi Roze tidak sendirian. Kita semua akan bersama. Jangan biarkan ketakutanmu menguasai pikiranmu."
Louise menambahkan dengan lembut, "Kami akan menjaga Roze, Ren. Kami berjanji. Apa pun yang terjadi."
Ren mengangguk, berusaha menghapus keraguan di dalam hati. "Iya, mungkin aku memang terlalu berlebihan," ia mengakui, berusaha mengalihkan perhatian.
Dirinya mengetahui, ia tidak bisa membagikan apa yang benar-benar mengganggunya. Kesadarannya dari masa depan yang sekarang ada di masa ini membebani pikirannya, dan ia tak ingin membuat mereka semua khawatir lebih dari yang sudah ada.
Suasana kembali tenang saat mereka fokus pada tugas mereka membuat ukiran untuk Murphy. Violet mulai mengikat simpul pada tali yang akan dijadikan kalung, menggunakan keterampilannya yang sudah terasah. Sementara itu, Ren membantu menghaluskan potongan kayu, memperhatikan dengan seksama.
Louise yang tidak kebagian tugas hanya nyeloteh, "Kalian berdua memang jago! Aku rasa aku bisa jadi pengawas yang hebat. Hasilnya pasti lebih bagus kalau ada aku di sini!" Dia tertawa, mengundang senyum dari Violet dan Ren.
Ren membantu menghaluskan potongan-potongan kayu dengan alat sederhana. Louise hanya memantau jalannya kerja, "Aku sudah bagai seorang pemimpin yang hebat. Semangatlah kalian."
"Kalau kau pemimpin, apa yang kau akan lakukan? Cuma mengawasi?" Violet menggoda.
"Ya! Mengawasi dan memberikan perintah," jawab Louise dengan nada serius, tetapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
Di tengah tawa, Ren tak bisa menahan diri untuk tidak berpikir tentang rencananya. Jika aku bisa masuk ke Abyss dan menemukan cara untuk mencegah semua ini, aku bisa menyelamatkan Roze, Ren berpikir, tapi apa harganya? Bagaimana jika aku justru memperburuk keadaan?
Untuk saat ini aku masih belum bertemu dengan si brengsek Amour.
Jika aku melanggar dengan melangkahi batas wilayah itu...
Akankah aku dapat bertemu secara langsung dengan Amour?
Abyss... atau Amour dulu?
Kali ini, kemungkinan apa yang akan terjadi?
Tiba-tiba, fokus Ren terpecahkan ketika Roze mulai mengukir potongan kayu di depannya. Ia memperhatikan setiap goresan yang dibuat adiknya, rasa penasaran menggelitiknya. "Apa yang kau ukir, Roze?" tanya Ren, berusaha membaca ekspresi wajahnya.
Roze menoleh, wajahnya sedikit berseri. "Ini nama Murphy," jawabnya. "Tapi dalam aksara kuno." Ia melanjutkan mengukir, tangannya bergerak cekatan.
Violet mendekat, matanya bersinar. "Bahasa yang digunakan dalam harta mulia, bukan? Bagaimana kamu tahu aksara kuno itu, Roze?"
Ren hanya menyimak. Harta Mulia? Aku baru mendengarnya.
Roze tersenyum, terlihat senang dengan perhatian mereka. "Kakek sering membacakan cerita tentangnya. Dia mengajarkanku sedikit demi sedikit. Aksara Kuno ini."
Ren mengamati dengan lebih saksama, perasaannya campur aduk. Tunggu, Kakek...?
Ketika Roze melanjutkan ukirannya, Violet dan Louise tak berhenti mengobrol, membahas rencana mereka untuk ukiran berikutnya. Ren tersesat dalam pikirannya lagi, tetapi kali ini, dia lebih peka terhadap detil di sekitarnya. Dia berjanji dalam hati untuk melindungi adiknya, apa pun yang terjadi.
Saat senja perlahan menyelimuti langit, kelompok kecil itu akhirnya menyelesaikan ukiran mereka. Suasana terasa lebih tenang sekarang. Di tengah lelahnya hari, mereka duduk di sekitar api unggun kecil yang menyala dengan lembut. Louise menguap lebar, Violet memeriksa ukirannya untuk memastikan semuanya rapi, dan Roze menatap hasil karyanya dengan puas.
"Ini cukup baik untuk hari ini," ucap Violet, melipat tangannya dengan ekspresi puas. "Murphy... Indahnya, mereka semua... dan kita pasti akan menyukai ukiran ini."
Louise tertawa kecil sambil menggeser posisinya agar lebih nyaman. "Akhirnya selesai juga. Sekarang tinggal tidur nyenyak dan mimpi indah."
Roze tersenyum lembut, matanya perlahan-lahan mulai tertutup. "Aku rasa kita sudah bekerja keras hari ini. Terima kasih, semuanya."
Ren diam-diam memandang mereka bertiga, terutama Roze. Melihat adiknya tertidur dengan wajah damai membuat hatinya sedikit lega. Untuk sejenak, kekhawatirannya seolah sirna. Ia tahu betapa rapuh momen ini—kedamaian yang sementara. Tapi ia tak ingin merusaknya.
Satu per satu, Louise dan Violet juga jatuh terlelap. Api unggun memancarkan kehangatan yang membelai kulit, angin malam berhembus lembut di antara pepohonan, dan suara kicauan binatang malam menjadi latar belakang yang menenangkan.
Ren tidak bisa tidur. Firasat buruknya terus menggelayuti pikiran, membuat hatinya tidak bisa tenang.
Masih belum ada tanda-tanda, atau sesuatu yang mencurigakan... apa karena kehadiranku di sini?
Amour...
Semua kejanggalan itu...
Ia bangkit perlahan, memastikan gerakannya tidak membangunkan yang lain. Matanya tertuju pada pedang yang tergeletak di sampingnya—senjata yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Tanpa ragu, ia mengambilnya, mengamankan di pinggangnya. Kemudian ia meraih penerangan kecil dan beberapa perlengkapan penting yang telah ia siapkan sebelumnya.
Saat ia hendak melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi. Louise, Violet, dan Roze tertidur nyenyak, terlihat begitu damai.
Aku tidak bisa terus menunggu.
Dengan hati-hati, Ren melangkah keluar dari perkemahan. Derit pelan dari pintu kayu menutup di belakangnya, Ia menarik napas dalam-dalam di tengah keheningan malam, merasa seolah ada beban berat yang perlahan turun dari pundaknya, meski kekhawatiran masih menghantui.
Ren tahu apa yang sedang ia lakukan sangat berbahaya, tapi ia tak punya pilihan lain. Dalam pikirannya, satu-satunya cara untuk menyelamatkan Roze adalah menemukan jawaban di Abyss, bahkan jika itu berarti menghadapi risiko besar.
Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu kecil yang ia bawa. Angin dingin mulai berhembus semakin kencang, seolah-olah alam pun memperingatkannya akan bahaya yang menanti di depan.
Abyss... Ren merenung dalam hati. Ia tahu legenda yang mengelilingi tempat itu—tempat di mana kegelapan dan kekuatan yang tak terjelaskan berkumpul. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang ada di dalam sana, kecuali cerita-cerita horor tentang orang-orang yang hilang, atau mereka yang kembali dengan pikiran yang tak lagi waras. Tapi bagi Ren, ini adalah satu-satunya jalan yang tersisa.
Sesaat, pikirannya teralih pada Roze. Jika aku bisa menemukan jawabannya di sana... mungkin aku bisa menyelamatkanmu.
Ren terus melangkah menuju Abyss, merasakan sensasi yang semakin menekan di dadanya. Ketika ia tiba di bibir jurang yang menganga, Abyss menyambutnya dengan keheningan yang tak wajar. Seolah-olah tempat itu menanti kedatangannya. Hutan di sekelilingnya terasa mencekam, dan angin yang tadinya berhembus lembut kini menjadi kencang dan dingin. Di hadapannya, Abyss tampak seperti lubang hitam yang menanti untuk menelan apa pun yang berani mendekatinya.
Ren berhenti sejenak, menarik napas panjang. Sinar lampunya nyaris tak mampu menembus kegelapan yang pekat. Tapi ia tahu, tidak ada jalan untuk mundur sekarang.
Saat ia mulai menuruni jalan berbatu yang licin, kegelapan di sekitarnya semakin menelan segala hal. Ren merasakan suhu yang turun drastis, dan suara langkahnya bergema tanpa henti. Perasaan aneh mulai merayapi kulitnya—seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam kegelapan.
Tapi Ren terus maju, tidak membiarkan rasa takut menguasai dirinya. Ini untuk Roze, ia mengingatkan dirinya. Aku harus menemukan jawabannya.
Semakin jauh ia masuk ke dalam Abyss, semakin berat rasanya beban di pundaknya. Tapi di saat yang sama, Ren merasakan ada sesuatu yang menariknya lebih dalam, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang memanggil namanya. Kegelapan ini... bukan sekadar kegelapan biasa.
Bayang-bayang pekat di sekitar tampak seperti menggeliat, menari di luar jangkauan pandangan. Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara di belakangnya—sesuatu yang mendekat.
Jantungnya berdegup kencang, dan Ren dengan cepat berbalik, tubuhnya siaga. Cahaya lampu yang ia bawa tidak membantu, dan sejenak ia hanya bisa merasakan keheningan tegang.
Ren berdiri terdiam sejenak, merenung di bawah kegelapan yang menelan cahaya kecil dari penerangannya. Suara langkah ringan di belakangnya menarik perhatiannya. Dengan cepat, ia memutar tubuh, siap menghadapi ancaman yang mungkin datang dari dalam Abyss.
"Aku siap apapun yang terjadi!" lalu, yang muncul bukanlah kengerian yang ia bayangkan.
"Ren, apa yang kau pikirkan pergi sendirian seperti ini?" suara tegas tapi lembut itu milik Violet, yang berjalan cepat menghampirinya. Louise menyusul di belakang, ekspresinya setengah kesal, setengah bingung.
Ren menghela napas panjang, merasa frustrasi. Kenapa mereka mengikutiku? pikirnya. Tadi ia bertekad pergi sendiri, tanpa harus melibatkan mereka dalam kekacauan ini. Aku harusnya bisa menyelesaikan ini tanpa mereka. Kalau mereka ikut, risikonya bertambah besar.
"Penerangan kecil begini? Kau serius, Ren? Mau masuk ke Abyss pakai ini?" Louise mengejek sambil menyorotkan penerangan yang lebih besar ke sekeliling mereka, memperlihatkan jalan setapak berbatu yang tampak semakin menyeramkan di bawah cahaya yang lebih terang.
Tentu saja aku tidak siap. Tapi aku harus pergi. Aku tak punya pilihan lain. Jika aku menunggu lebih lama, semuanya akan berakhir buruk. Tapi kenapa mereka harus ikut campur? Ini bukan perjalanan yang bisa diambil bersama... ini risikoku.
Ren merasakan kegetiran dalam dirinya. Bukan soal penerangan. Ini soal apa yang bisa terjadi. Mereka tak mengerti... Mereka tak tahu apa yang aku tahu. Pikirannya berputar liar, memikirkan Roze. "Kenapa kalian meninggalkannya sendirian?" tanyanya tajam, mencoba menutupi kecemasannya. Apa yang akan terjadi kalau aku gagal lagi?
Violet menatapnya, penuh perhatian. "Roze baik-baik saja, Ren. Kami tak akan meninggalkannya kalau tidak yakin."
Ren memejamkan mata, merasa marah pada dirinya sendiri.
Apa yang kulakukan? Ini seharusnya bukan urusanku sendiri. Tapi bagaimana bisa mereka mengerti? Mereka tak tahu apa yang akan terjadi pada Roze. Aku... aku harus melindunginya, meskipun mereka tidak mengerti.
Kenapa mereka di sini? Bukankah Roze butuh mereka lebih dari aku? Apa yang mereka lakukan, meninggalkan dia begitu saja? pikir Ren, frustrasi menyelimuti hatinya.
Terlalu khawatir? Mereka tak tahu apa yang kulihat. Aku pernah mengalaminya. Mereka tak bisa menjamin Roze aman. Aku tahu lebih dari siapa pun bahwa ini bukan tentang khawatir. Ini tentang menyelamatkan dia dari takdir yang bahkan mereka tak paham. Argumen ini tidak akan pernah selesai... apa gunanya berdebat?
Ren merasakan kegelisahannya semakin membengkak, dia tidak menunjukkan ekspresi itu. "Kita harus pulang sekarang," ujarnya datar, memutuskan bahwa berdebat tidak akan mengubah apa pun.
Saat ia berbalik, suara tawa aneh tiba-tiba terdengar di kejauhan. Jantung Ren berdegup kencang. Tertawaan itu... apakah itu untukku? Untuk kami? Apa ini Abyss yang mempermainkanku? Atau sesuatu yang lain yang sedang menunggu kami?
Ren merasa dingin menjalar di punggungnya, tapi dia memutuskan untuk tidak memikirkannya. Aku tidak bisa terjebak di sini. Tidak bisa membiarkan diriku terseret lebih jauh. Kita harus keluar dari sini sekarang.
Dengan langkah yang berat, Ren terus maju, Violet dan Louise mengikuti di belakangnya. Di dalam hatinya, kekacauan mulai tak terbendung. Apa yang kulakukan? pikirnya, dadanya terasa sesak. Setiap langkah terasa seperti beban yang semakin menekan pikirannya. Kakinya bergerak, tapi pikirannya melayang, dipenuhi oleh gelombang panik yang tak kunjung reda.
Aku tidak siap! teriaknya dalam hati. Kenapa aku terus berjalan? Aku tidak punya rencana! Bagaimana jika aku salah? Bagaimana jika semuanya berakhir lebih buruk daripada yang pernah kubayangkan? Ren merasakan amarah mulai merayap ke permukaan. Bukan pada Violet atau Louise, tapi pada dirinya sendiri.
Bodoh! Seharusnya aku bisa menjaga semuanya tetap di jalur. Seharusnya aku bisa melindungi Roze, tapi lihatlah aku sekarang. Aku hanya berlarian dalam kegelapan, tak tahu apa yang harus dilakukan! pikirannya terasa seperti badai, menggulung dan menghantam dirinya dari berbagai arah.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya, tangannya gemetar saat memegang senjata di pinggangnya. Bagaimana aku bisa berpikir bahwa aku mampu menghadapi ini sendiri? Tidak ada yang benar dalam keputusan ini. Aku—aku mungkin hanya menyeret mereka semua ke jurang! Pikiran itu menghantamnya seperti belati, menancap dalam di hatinya.
Perasaan kecewa pada dirinya sendiri semakin besar. Ternyata, aku tidak sekuat itu... Aku tak bisa menjaga Roze, bahkan tak bisa menjaga diriku sendiri. Jika mereka tahu apa yang sesungguhnya terjadi, mereka akan tahu betapa tidak bergunanya diriku ini!
Langkahnya semakin terburu-buru, seolah-olah ingin melarikan diri dari ketakutan dan rasa bersalah yang terus menghantui. Aku harus keluar dari sini. Aku harus menemukan jalan keluar sebelum semuanya terlambat! Tapi kenapa rasanya... semakin berat?
Roze... Kumohon.