Dalam ketegangan yang memenuhi udara, mata Ren tetap terpaku pada Louise yang berada di tengah arena, siap menghadapi Amour dalam Sumpah Berduel. Violet, di sampingnya, sudah tak bisa menahan kecemasannya. Ia terus menggoyang-goyangkan tubuh Ren, seolah berharap bahwa dengan menggoyangkannya, ia bisa mengubah nasib Louise. Wajahnya penuh kepanikan, bibirnya bergetar saat kata-kata tak terucap.
"Ren, kita harus melakukan sesuatu! Louise... dia... dia bisa terluka!" bisik Violet dengan nada putus asa, matanya terus menatap ke arah sahabatnya yang berdiri sendirian di tengah arena.
Ren tidak tergoyahkan. Senyum tipis mulai muncul di sudut bibirnya. Itu bukanlah senyum yang menandakan ketidakpedulian, melainkan sebuah keyakinan yang mendalam. Ia mengingat momen sebelum duel dimulai, ketika Louise dengan tenang mengatur senjatanya. Tongkat kayu sederhana itu—yang awalnya tampak biasa saja—dibelah menjadi tiga bagian dan dihubungkan dengan rantai, sehingga bisa diperpanjang atau dipersingkat sesuai kondisi keadaan.
"Percayalah padanya," gumam Ren pelan, hampir seperti bisikan angin.
Violet memandangnya, bingung dan masih dipenuhi rasa takut. "Bagaimana kamu bisa begitu tenang? Amour... dia tidak akan menunjukkan belas kasihan!"
Ren hanya menggeleng pelan. "Aku tahu Louise. Dia tidak akan bertarung jika tidak yakin dengan kemampuannya."
"Tapi tetap saja! Yang Louise lawan adalah Amour! Dia tidak ak—"
Lihat kuda-kudanya, Violet. Itu adalah tanda bahwa dia siap... lebih siap dari yang kita kira."
Di arena, Louise berdiri tegap, perlahan mengencangkan ikatan kain di kepalanya dengan simpul yang terkunci.
Kedua kakinya terentang dengan sempurna, berat tubuhnya merata di antara keduanya. Kaki kanan sedikit maju ke depan, lututnya sedikit ditekuk, sementara kaki kiri berada di belakang, menahan keseimbangan tubuhnya.
"...Itulah Louise," Ren tersenyum dengan keyakinan yang ada pada diri Louise.
Dengan posisi ini membuat Louise terlihat kokoh, seolah siap melontarkan dirinya ke segala arah. Tubuh bagian atasnya tetap rileks, tetapi siap meluncur ke depan dengan kecepatan yang mematikan.
Tangan kanannya menggenggam erat tongkat kayu yang telah dimodifikasi, ujungnya mengarah ke bawah, sementara tangan kirinya sedikit terangkat, siap untuk menyeimbangkan gerakan atau menangkis serangan lawan. Matanya tidak pernah lepas dari Amour, mengamati setiap gerakan sekecil apa pun, setiap perubahan dalam napas dan sikap.
Amour maju, serangan pertama diluncurkan dengan kecepatan yang mengerikan, tapi Louise dengan gesit mengayunkan senjatanya—tongkat kayu yang sekarang telah menjadi senjata mematikan—untuk menangkis serangan tersebut.
*Swish! Clang!
Ren hanya terus tersenyum, yakin bahwa ini baru permulaan dari pertunjukan kehebatan Louise. Baginya, duel ini bukanlah tentang siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang lebih siap dan cerdik. Dan ia tahu, di dalam hati, bahwa Louise telah mempersiapkan segalanya.
"Lousie jangan kalah!" Violet menyoraki Louise agar terus melawan.
Setiap ayunan tongkat Louise begitu presisi, memaksa Amour bertahan, menghindari serangan demi serangan yang mengancam untuk menjatuhkannya. Louise mendominasi, gerakannya cepat dan tepat, membuat Amour terpojok.
"Heh, kau tak punya ruang untuk bernafas, Amour!" seru Louise, matanya penuh determinasi.
Di saat yang bersamaan, Amour mulai menunjukkan wajah aslinya. Di tengah rentetan serangan Louise, Amour tersenyum sinis, seolah menikmati setiap serangan yang datang. Dia mulai menggoyahkan langkah Louise dengan gerakan yang hampir tak terlihat—sebuah trik licik, yang membuat Louise sesekali tersandung atau kehilangan keseimbangannya.
Louise terus mendominasi duel, setiap serangan yang dilancarkannya membuat Amour mundur selangkah demi selangkah. Akan tetapi, ada sesuatu yang aneh dalam pergerakan Amour. Meskipun terdesak, dia tidak terlihat panik—justru sebaliknya, ada senyum tipis yang tersungging di wajahnya, penuh dengan keyakinan yang mencurigakan.
Amour perlahan mengubah taktiknya. Dia mulai melancarkan serangan balik, tapi bukan serangan biasa. Setiap kali dia mengayunkan tongkatnya, terdengar suara dentuman berat yang menggema di seluruh arena. Louise mencoba menangkisnya, tapi setiap benturan membuat tangannya bergetar hebat, hampir kehilangan pegangan.
*DUG!
Louise terdorong mundur beberapa langkah, hampir tersungkur, napasnya mulai terengah-engah. "Apa...?" pikirnya, merasakan betapa beratnya tongkat Amour. Ia memandang lawannya dengan penuh kecurigaan.
Amour melangkah maju, tampak menikmati setiap momen kekalahan yang mulai dirasakan Louise. Tongkatnya yang berat dikeluarkan dengan lebih sering, seolah setiap gerakan dirancang untuk memanfaatkan kelemahan Louise.
Louise terengah-engah, keringat menetes di dahi. Dia dengan cepat menilai situasi, berusaha mengontrol napasnya. "Kau tahu," katanya sambil tersenyum sinis, "sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan senjatamu, Amour."
Amour mengangkat bahu, senyum penuh kemenangan masih tersungging di wajahnya. "Oh? Maksudmu dengan 'sesuatu yang tidak beres'?"
Louise menatap tajam, tangannya masih menggenggam tongkat dengan erat. "Hei hei hei," ujarnya, berusaha menenangkan diri. "Apakah tongkat yang kau genggam itu asli kayu? Huft, tidak tampak seperti kayu di mataku."
"Ini adalah kayu asli," Amour hanya tersenyum sinis.
"Kau benar-benar pikir aku bodoh? Tongkatmu—itu jelas bukan kayu biasa. Rasanya lebih berat dari yang seharusnya." Louise berusaha mengatur ulang napasnnya.
Amour tertawa kecil, penuh kepuasan. "Ah, jadi kau menyadari itu. Baguslah. Aku tidak ingin kau merasa terlalu nyaman."
Louise menggertakkan giginya, berusaha menenangkan napasnya yang tersisa. "Kau bisa meremehkan apa pun yang kau mau. Tapi ingat ini, aku tidak akan pernah menyerah hanya karena beberapa trik kotor."
Amour tersenyum sinis, menyadari kebingungan yang mulai menguasai Louise. "Apa yang terjadi, Louise? Mengapa tiba-tiba menjadi sulit untukmu?" ejeknya, suaranya lembut tapi penuh dengan kepuasan yang jahat.
Louise berusaha menyesuaikan kuda-kudanya kembali, pandangannya tetap fokus pada Amour. "Kata siapa? Aku sama sekali belum merasa panas," ujarnya, berusaha menenangkan diri. "Sekarang, giliranmu."
Amour menyeringai, menikmati ketidaknyamanan yang mulai merayapi wajah Louise. "Apa kau mulai merasa putus asa, Louise? Tidak mengherankan jika terucap dari Caelfall."
"Beraninya kau menyebutkan Caelfall, itu penghinaan." Louise berusaha bangkit dengan terus menggenggam erat tongkatnya.
Amour mendekat, menyerang dengan lebih intens. Setiap ayunan tongkatnya semakin menekan, membuat Louise harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan posisi.
*SWUSH! DUGG!
"...Apa ini semua usahamu untuk mengalahkanku? Tidak heran kalau kau selemah ini," Amour berujar sambil melancarkan serangan bertubi-tubi. "Dan kau hanya akan menjadi batu sandungan dalam jalanku."
Louise berusaha menanggapi, napasnya semakin tidak teratur. "Teruskan saja ocehanmu itu, kau hanya menambah alasan bagiku untuk bertahan lebih lama. Setiap pukulan yang kau berikan, hanya memperkuat tekadku."
Amour mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, seolah akan memberikan pukulan pamungkas. "Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Bersiaplah untuk akhir dari semua ini."
Saat Amour siap melancarkan serangan, Louise dengan cepat meraih tanah dari tanah arena dan melemparkannya ke arah mata Amour. Dalam waktu singkat itu Louise mengatur ulang posisinya, mencoba menyusun strategi baru sambil masih menggenggam erat tongkat kayunya. Ada sesuatu dalam keheningan yang tiba-tiba melingkupi Louise, sebuah ketenangan sebelum badai.
Amour terkejut dan tersentak mundur, matanya tertutup oleh debu. Dalam sekejap, Louise memanfaatkan kesempatan itu. Dengan ketenangan yang luar biasa, ia mengatur ulang posisinya.
Amour, melihat perubahan sikap Louise, berhenti sejenak, wajahnya menunjukkan sedikit rasa curiga. "Apa yang kau coba lakukan, Louise? Kau tidak bisa mengubah keadaan hanya dengan berdiri di sana."
Louise hanya tersenyum tipis, matanya berkilau dengan tekad baru. "Kau akan segera tahu, Amour."
Tiba-tiba, dengan sebuah gerakan cepat dan terampil, Louise mulai menggerakkan tangannya. Tongkat kayu yang tadinya tampak sederhana kini memperlihatkan fungsinya yang sesungguhnya. Louise menarik ujung tongkatnya, dan rantai yang menghubungkan bagian-bagian tongkat itu mulai memanjang, memberikan senjata tersebut kekuatan dan fleksibilitas baru.
*SWUSH! CLANG!
Dengan teliti, Louise mengayunkan tongkatnya yang kini telah diperpanjang, membuat gerakan yang sangat presisi dan kuat. Setiap serangan yang dilancarkannya kini mampu menembus pertahanan Amour yang selama ini terlihat begitu rapat. Amour terpaksa mundur, matanya menunjukkan kejutan saat tongkat Louise bergerak seperti ular yang ganas, mengayun dan melilit dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Lihatlah, Amour," kata Louise dengan suara penuh keyakinan. "Ketika kau menganggap aku kalah, aku malah baru mulai."
Amour mengerutkan dahinya, jelas terkejut oleh perubahan mendadak dalam duel. "Apa ini? Senjatamu—"