Belum selesai, Louise sudah melancarkan serangan balik yang kuat, menggerakkan tongkat yang kini bisa diperpanjang dan dipendekkan sesuai keinginan. Rantai yang terpasang memberikan keleluasaan untuk menghindari serangan langsung, dan kini Louise dapat mengayunkan senjatanya dengan presisi tinggi, merangsek masuk ke area yang sebelumnya mustahil untuk ditembus.
"Ketika kau mengira kau menang, itulah saat aku mulai membuatmu menyesal," lanjut Louise, gerakannya penuh energi dan kekuatan baru. "Setiap pukulan yang kau berikan membantuku untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana mengalahkanmu."
Amour mundur lebih jauh, napasnya mulai berat. "Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau bisa tiba-tiba...?"
Louise tetap tenang, tatapannya tajam. "Kau terlalu percaya diri, Amour. Itulah kelemahanmu."
Amour menggertakkan giginya, mencoba membalas, tapi setiap gerakan serangannya terasa sia-sia. Tongkat Louise yang kini seperti senjata baru, berputar dengan kelincahan yang tak terduga, memotong setiap celah yang berusaha Amour buka. Suara benturan senjata terdengar keras.
"Berhenti bicara seolah kau sudah menang!" Amour melontarkan kalimat itu, tapi suaranya goyah, terselip ketakutan yang mulai merayap.
Amour menyeringai, tapi kali ini senyum itu lebih mirip topeng ketakutan. "Aku masih bisa melawan!"
Louise menggelengkan kepala, mempererat genggaman tongkatnya. "Kau tak mengerti, ya? Semua ini hanya soal waktu. Setiap kata yang keluar dari mulutmu memperlihatkan betapa putus asanya kau sekarang."
Amour mulai bergetar. "Tutup mulutmu!"
Louise tersenyum tipis. "Sekarang kau yang meminta diam? Lucu sekali, padahal biasanya kau yang suka banyak bicara."
Amour menggeram, tapi kali ini suaranya hilang di tengah-tengah gerakan Louise yang semakin cepat. Tongkatnya berputar di udara, rantainya berdering keras setiap kali memukul senjata Amour yang mencoba menahan serangan. Louise tidak memberi ruang untuk Amour menyerang balik, setiap celah yang dibuka oleh Amour langsung dipotong dengan presisi.
"Kau bilang kau masih bisa melawan? Coba lagi." Louise berkata pelan, memanfaatkan keheningan di antara deru napas Amour yang mulai semakin berat. "Atau mungkin kau hanya takut mengaku kalah."
Amour mencoba melangkah mundur, tapi rantai di tongkat Louise menariknya kembali ke hadapan lawannya. "Aku belum selesai!" teriaknya, tapi kali ini ada keraguan dalam suaranya.
Louise hanya menatap dingin. "Selesai atau tidak, ini akan berakhir sekarang."
Louise mengayunkan tongkatnya sekali lagi, dengan gerakan yang begitu halus dan presisi, rantai di ujung tongkat melilit pergelangan tangan Amour. Dia menariknya dengan kuat, membuat Amour kehilangan keseimbangan.
"Kenapa kau berhenti?" Louise tersenyum dingin, melihat Amour terhuyung. "Keluarkan lagi ocehanmu itu."
Amour mencoba menarik napas, menenangkan diri, tapi ketakutan jelas terpampang di wajahnya. Louise mendekat, rantai di tongkatnya masih terikat kuat di lengan Amour. "Kau sudah kalah, Amour. Ini saatnya kau menghadapi kenyataan. Kata-kata tak bisa menyelamatkanmu sekarang."
Dalam keheningan yang semakin menekan, Amour hanya bisa terdiam. Louise menatapnya dengan penuh kemenangan, siap memberikan pukulan terakhir yang akan mengakhiri duel.
Tapi sebelum tongkat itu meluncur, tiba-tiba Amour mengangkat tangan kanannya. Mata Louise menyipit, kebingungan melintas di wajahnya.
"Apa maksudmu?" tanya Louise, suaranya dingin. "Kau menyerah?"
Amour tersenyum lemah, senyumnya tak lagi menampilkan ketakutan. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. "Menyerah?" Amour mengatakan kalimat itu seolah mengejek. "Tidak, Louise. Aku baru saja memulai."
"Dengarkan lagi ocehanku ini." Amour perlahan tersenyum.
Sebelum Louise sempat bereaksi, Amour mulai melafalkan sesuatu. Bahasanya asing, setiap kata yang meluncur dari mulutnya terasa berat dan penuh makna. "Ignis... surgat ex nihilo... incendat omnia..." Suaranya rendah, tetapi kekuatannya tak terbantahkan. Suhu di sekitar mereka mulai meningkat, seolah setiap kata yang diucapkan memanggil api dari udara kosong.
Louise mundur selangkah, matanya melebar. "Apa... apa yang kau lakukan?"
Louise berdiri terpaku saat Amour mengangkat tangan kanannya, melafalkan kata-kata aneh yang terasa berat di udara. Suhu di sekitar mereka mulai meningkat, api muncul entah dari mana. Sementara Louise mundur satu langkah, matanya menatap tajam ke arah Amour.
"Jadi memang kau pelakunya," Louise berbisik, suaranya rendah penuh amarah karena menyadari sesuatu.
Ikat kepala yang terpasang di kepalanya ia lepas dengan satu gerakan cepat, menggenggamnya sejenak sebelum mengikatnya di pinggang. Tongkat panjang yang tadi menjadi andalannya kini jatuh ke tanah. Dengan tenang, Louise membentuk kuda-kuda, kedua kakinya dibuka selebar bahu, tubuhnya condong ke depan, satu tangan di depan dan satu lagi di belakang, siap melancarkan serangan dari segala arah. Napasnya teratur, tatapannya fokus.
"Bukaan Pertama : Ji," Louise mengucapkannya perlahan. Darah di tubuhnya berdesir, alirannya terasa lebih cepat. Setiap detak jantung membuat pikirannya semakin tajam, fokusnya terpusat.
Louise sadar, kemampuan ini memakan stamina—ia tak bisa bertahan lama. Sebelum Louise sempat melanjutkan tekniknya, Amour berteriak, "Tidak akan!"
Amour melontarkan api yang menyala-nyala ke arah Louise. Api itu membara, menyambar udara dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam sekejap, tubuh Louise terselimuti oleh kobaran api. Louise terhuyung, terbakar oleh panas yang mematikan, tangannya mencoba melawan rasa sakit yang mulai menjalar.
Sebelum duel bisa berakhir dengan kekejaman, sebuah suara anggun terdengar dari kejauhan. "Cukup."
Soixante Neuf berdiri di hadapan keduanya, tatapan matanya tajam, penuh otoritas. Suara langkahnya menggema di arena yang sunyi, memecah ketegangan yang masih menyelimuti udara.
"Duel ini berakhir," ucapnya tegas, suaranya begitu dingin. "Louise, kau telah menjatuhkan senjatamu. Amour adalah pemenangnya."
Louise, meski terluka oleh api Amour, mencoba bangkit. Rasa sakit masih membakar kulitnya, namun yang lebih menyakitkan adalah keputusan itu. "Ini belum selesai...," gumamnya pelan, akan tetapi Soixante Neuf tak memberikan ruang bagi protes.
"Sudah cukup," potong Soixante Neuf, wajahnya tak menunjukkan belas kasihan. "Dengan hasil duel ini, satu hal menjadi jelas. Para pribumi, atau lebih tepatnya, para Caelfall, adalah pembelot."
Tatapan tajam Louise kini bertemu dengan tatapan penuh otoritas Soixante Neuf. Kata-kata itu menghantamnya seperti beban berat. "Caelfall... pembelot?"
Amour yang masih berdiri di kejauhan, menahan napasnya, tersenyum tipis. Kemenangan yang diperoleh tidak hanya sebatas pertarungan ini, tapi pada kekuatan yang lebih besar sedang dimainkan.
Soixante Neuf mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Louise, suaranya menggema di seluruh arena. "Hinalah kalian semua, Caelfall. Kalian bukan hanya pengkhianat, tapi pembelot yang tak layak hidup di antara para bangsawan. Mulai hari ini, Caelfall tidak diizinkan berada di Distrik Administratif."
Louise menggertakkan giginya, menahan amarah yang meluap di dalam dirinya. "Jadi, kalian akan memisahkan kami? Mengurung kami di satu tempat?"
"Soixante Neuf tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, dia berbicara dengan nada penuh kepastian. "Distrik Caelfall akan dibentuk. Tempat untuk kalian para pribumi, terasing dari kami para bangsawan. Dan ingat baik-baik, mereka yang masuk ke daerah kami tanpa ban lengan akan dihukum sebagai pemberontak."
Louise terdiam, otaknya berputar cepat mencoba memahami besarnya dampak keputusan ini. Dia bisa merasakan, ini bukan hanya tentang dirinya atau duel ini. Ini adalah tentang nasib seluruh bangsanya—Caelfall—dan apa yang akan terjadi selanjutnya.