Tanpa banyak bicara, Ren berbalik, bersiap untuk berlari ke arah sumber suara. Tapi kali ini, sebelum ia bergerak, ia menoleh ke arah Ralph. Dengan lembut, Ren mengulurkan tangannya, menawarkan genggaman yang penuh pengertian. "Ayo, kita harus pergi."
Ralph ragu sejenak, matanya masih merah karena tangis yang barusan. Tapi dia bisa merasakan ketulusan di balik gerakan Ren. Dengan perlahan, dia menerima tangan Ren, menggenggamnya erat.
Mereka berdua berlari menuju desa, Ralph mengikuti di belakang Ren sambil terus menggenggam tangannya. Asap semakin terlihat jelas, dan Ren tahu bahwa waktu mereka terbatas.
Ren berhenti mendadak di puncak bukit, napasnya tersengal-sengal. Matanya terbuka lebar, penuh keterkejutan. Dia menatap lurus ke depan, tapi seolah tak mampu mempercayai apa yang dilihatnya. Seakan waktu berhenti, suara hiruk pikuk dari desa di bawah sana terasa begitu jauh, tenggelam dalam sunyi yang mencekam.
Ralph, yang masih menggenggam tangan Ren, belum menyadari apa yang terjadi. "Ren… kenapa kau mendaki bukit ini?" tanya Ralph dengan kebingungan. "Apa yang akan kau lihat di kejauhan sana hanyalah—"
Ralph berhenti bicara. Saat dia mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan Ren, matanya ikut membelalak. Kengerian segera menyusul rasa tak percaya yang merasuki dirinya.
Api besar berkobar liar, melalap habis bangunan megah yang berada di pusat desa. Rumah keluarga Murphy, tempat yang baru saja mereka tinggalkan dengan perasaan campur aduk, kini hanya tersisa reruntuhan yang hangus. Asap tebal membumbung tinggi ke langit, mengotori udara dengan bau kayu terbakar dan kehancuran.
"Rumah Murphy..." bisik Ralph tak percaya, suaranya serak.
Ren tetap diam, wajahnya pucat. Pemandangan itu menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah dia alami sebelumnya. Dia merasa seperti jatuh dalam kekosongan yang tak berujung. Sebuah perasaan bersalah yang dalam kembali menghantamnya, lebih kuat dari sebelumnya.
"Ini semua salahku," pikirnya tanpa bisa mengucapkannya. "Roze, Louise, Violet... semuanya."
Ren menatap reruntuhan itu, tak mampu bergerak. Perasaan berat mengungkung hatinya, seperti beban yang tak mungkin terangkat. Setiap detik berlalu seolah menyayat perasaannya lebih dalam. Angin membawa bau kayu yang terbakar, bercampur dengan aroma kematian dan kehancuran. Kakinya terasa berat, seperti tubuhnya tak ingin bergerak, tapi pikirannya memaksa. Dia harus turun. Dia harus melihatnya dari dekat, walau hatinya tahu ini akan semakin menyakitkan.
Ralph, yang masih menggenggam tangannya, merasa betapa dinginnya tangan Ren kini. Seperti dia telah kehilangan segala harapan. "Ren..." bisiknya pelan, tapi tak ada jawaban. Ralph tahu kata-kata tak akan bisa menjangkau Ren saat ini. Dia hanya bisa berjalan di sampingnya, mengikutinya dalam keheningan yang mencekam.
Langkah demi langkah, Ren perlahan menuruni bukit. Setiap langkah terasa begitu berat, seakan seluruh dunia menekan pundaknya. Suara hiruk pikuk dari desa kini terdengar semakin jelas
Akan tetapi di dalam kepala Ren, semuanya seolah hening. Tak ada yang penting selain reruntuhan itu. Tempat yang pernah menjadi rumah bagi banyak kenangan kini hanya puing-puing, tak lebih dari bayang-bayang masa lalu.
Saat mereka akhirnya tiba di dasar bukit, Ren berjalan semakin lambat. Matanya tak lepas dari sisa-sisa bangunan keluarga Murphy. Dinding yang dulu kokoh kini berserakan di tanah, kayu-kayu terbakar hitam, dan api yang masih menjalar di beberapa bagian, seperti sisa-sisa penderitaan yang enggan menghilang. Pandangannya terpaku pada satu sudut yang pernah menjadi kamar Roze. Kini, hanya lubang besar yang tersisa.
"Ini semua... karena aku," gumam Ren dengan suara serak, hampir tidak terdengar.
Ralph, yang berdiri di sampingnya, bisa merasakan kesedihan yang dalam merasuk ke dalam jiwa Ren. "Kau tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri, Ren..." suaranya bergetar, mencoba tetap kuat meski hatinya juga hancur melihat keadaan ini.
Ren berlutut di dekat bekas pintu masuk, tangannya menyentuh tanah yang hangus. Semua yang tersisa hanyalah abu dan serpihan-serpihan kayu. Setiap sudut dari reruntuhan ini seperti berbicara padanya, mengingatkan dia akan kegagalannya, ketidakmampuannya melindungi orang-orang yang dia cintai.
"Aku seharusnya lebih kuat..." bisik Ren dengan penuh rasa bersalah. "Aku seharusnya bisa menghentikan ini."
Ralph, yang telah lama berdiri diam, perlahan mendekati Ren. Tanpa berkata apa-apa, dia berlutut di sampingnya, membiarkan keheningan menjadi penghibur mereka. Dia tahu, tak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit ini. Yang bisa dia lakukan hanyalah berada di sana, bersamanya, di tengah reruntuhan, seperti sisa-sisa harapan yang mereka coba bangun kembali.
Ren menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dalam dadanya. "Aku akan memperbaikinya, Ralph," ucapnya pelan, tapi dengan kepastian yang menggema. "Apa pun yang terjadi, aku akan menebus ini."
Ralph menundukkan kepalanya, masih menggenggam tangan Ren erat. Mereka berdua tahu, ini belum berakhir. Tapi setidaknya, mereka tidak akan menghadapinya sendirian.
Ren terdiam di tempat, seolah tubuhnya terperangkap dalam kepedihan. Api yang menjalar di sekeliling mereka semakin besar, memakan apa saja yang tersisa dari rumah keluarga Murphy. Asap hitam mulai memenuhi udara, menyesakkan, tapi Ren tak bergerak. Matanya masih terpaku pada sisa reruntuhan yang pernah menjadi tempat tinggal keluarganya. Rasanya seperti seluruh dunianya telah hancur, tidak ada lagi yang tersisa.
Ralph, yang masih di sampingnya, mulai cemas. "Ren, kita harus pergi..." bisiknya, suaranya penuh gentar.
"Ren!" Ralph menarik tangannya lebih kuat, tapi Ren masih terperangkap dalam pikirannya, seolah tak mendengar suara Ralph.
Api mulai mendekat, angin yang berhembus membuat kobarannya semakin liar. Ralph tahu jika mereka tak segera bergerak, mereka juga akan terjebak dalam api ini. Dengan putus asa, Ralph mengguncang bahu Ren. "Ren, lihat aku! Ini berbahaya!" suaranya kini lebih mendesak.
Ren tetap diam, seolah api yang menjalar di hadapannya hanyalah bayangan tak berarti. Rasa bersalah yang menggerogotinya begitu besar hingga ia tak mampu berpikir jernih lagi. Baginya, semua ini adalah akhir.
Dengan perasaan takut yang semakin memuncak, Ralph kehilangan kendali. Dia menampar Ren keras, air mata masih menggenang di matanya. "Bangun, Ren! Jangan biarkan dirimu hancur bersama mereka!" teriaknya dengan marah, suaranya pecah oleh emosi.
Tamparan itu akhirnya membangunkan Ren dari keterpurukannya. Dia terkejut, matanya yang semula kosong kini kembali fokus. Dia menatap Ralph, melihat kekhawatiran yang begitu dalam di wajahnya. Rasanya seperti terseret kembali ke kenyataan yang begitu brutal.
"Ralph..." bisik Ren, nadanya bingung dan penuh penyesalan.
"Jangan tinggalkan aku sendirian di sini," Ralph memohon dengan suara bergetar. "Kita harus pergi... sekarang."
Ren menghela napas panjang, akhirnya menyadari situasi di sekitarnya. Api sudah semakin dekat. Dengan perasaan yang masih berat, dia bangkit perlahan, menarik Ralph bersamanya. Mereka berdua berlari menjauh dari kobaran api, meninggalkan reruntuhan di belakang.
Ren dan Ralph baru saja berlari menjauh dari api ketika pandangan mereka teralihkan oleh sosok di depan mereka. Louise, dengan pakaian lusuh yang hangus di beberapa bagian, muncul dari arah reruntuhan. Dia terhuyung-huyung, hampir jatuh karena menggendong tubuh Violet yang lemas dan terbaring di pelukannya.
"Louise!" Ralph berlari ke arah mereka, tapi Ren tetap terpaku. Matanya langsung tertuju pada Violet yang tak bergerak. Jantungnya berdebar kencang, akan tetapi lebih dari itu, ada kekhawatiran lain yang mendesak keluar dari pikirannya.
"Ren..." Louise suaranya parau, wajahnya penuh dengan kotoran dan luka, tapi dia mencoba tetap tenang di tengah kekacauan. "Aku berhasil menyelamatkan Violet, tapi…"
"Dimana Roze!?" potong Ren, suaranya menggema di tengah kesunyian yang mendadak terasa. Dia menatap Louise, mata yang penuh dengan emosi terpendam dan kegelisahan. "Dimana Roze, Louise!?"
Louise menelan ludah, tak mampu menjawab. Napasnya terputus-putus, dan dia hanya bisa menatap Ren dengan ekspresi tertekan. Jawaban yang ingin dia berikan terasa begitu berat, seolah-olah jika dia mengucapkannya, itu akan menghancurkan Ren sepenuhnya.
"Louise!" Ren melangkah maju, suaranya penuh dengan amarah yang tak bisa ia tahan lagi. "Katakan padaku! Dimana Roze?!" Teriakan itu terdengar seperti raungan binatang yang terluka.
Louise bergetar, air matanya mulai mengalir, tapi dia tak bisa mengucapkan apa-apa. Matanya yang merah dan penuh kepedihan menjelaskan semuanya, tanpa perlu kata-kata.
Ren melihatnya. Dia tahu. Tapi hatinya tak ingin menerima kenyataan itu. "Tidak mungkin..." desisnya, suaranya gemetar, nyaris tak terdengar.
"Aku... aku mencoba...," bisik Louise, suaranya hampir tak terdengar, "tapi api terlalu cepat. Aku tak sempat menyelamatkan Roze..."
Amarah Ren memuncak. Dia mendekati Louise, wajahnya penuh dengan emosi yang campur aduk. "Kau seharusnya melindunginya!" raungnya, tangannya gemetar. "Dia adikku!"
Louise menunduk, tak sanggup menatap Ren lagi. "Aku... aku minta maaf," ucapnya dengan nada yang lemah.
Ren hendak meluapkan emosinya lagi ketika Ralph, yang masih berada di dekatnya, memegang tangannya erat. "Ren, cukup," bisiknya lirih, tapi tegas. "Tenangkan dirimu, bisa?"
Sentuhan dan bisikan Ralph meredakan amarah Ren seketika. Tubuhnya yang tadinya tegang mulai melemas, dan dia menutup matanya, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. "Aku harus menemukannya, Ralph," gumamnya dengan nada putus asa. "Roze..."
Ralph mengangguk pelan, masih menggenggam tangannya erat. "Kita akan menemukannya, Ren... bersama."
Ren menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan amarah yang masih menggelegak di dadanya. Dia melepaskan genggaman tangannya dari Ralph, lalu menatap Louise dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara yang lebih tenang, meskipun ada ketegangan di setiap kata.
Louise menggigit bibirnya, tampak ragu-ragu sejenak sebelum mengucapkan satu nama yang membuat jantung Ren berdetak lebih cepat. "Amour... Aku melihatnya di sekitar sini sebelum kebakaran terjadi."
Ren memicingkan mata, ekspresi tak percaya terlukis di wajahnya. "Amour? Bagaimana bisa dia...?" Ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya, seolah pikirannya sendiri menolak asumsi itu.
Louise menundukkan kepala, suaranya rendah tapi cukup jelas. "Aku tidak mengatakan dia melakukannya dengan pasti... tapi dia berada di sini, dan setelah api berkobar."
Sebelum Ren sempat menjawab, suara tawa pelan terdengar dari balik reruntuhan. Amour muncul dari bayang-bayang, berjalan mendekat dengan langkah santai, bibirnya membentuk senyum sarkastis. "Jadi... aku yang kau tuduh, Louise?" ucapnya, dengan nada yang dibuat-buat. "Lucu sekali. Kau tak berubah, selalu mencari kambing hitam untuk kesalahanmu sendiri."
Louise berdiri tegak, tatapannya tegas meski hatinya dipenuhi keraguan. "Aku tidak menuduh sembarangan, Amour. Kau memang ada di sana."
Amour mendekat, suaranya kini lebih rendah, penuh sarkasme yang tajam. "Oh, aku ada di sana, benar. Tapi apa yang tidak kau ceritakan pada mereka, Louise? Bahwa kau, si pemimpin yang mulia, menolak pembangunan Caelfall? Dan karena penolakanmu, rumah Murphy disita. Semua orang tahu, kau yang menolak perintah bangsawan."
Ren terdiam, pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi ini. Louise? Menolak pembangunan?
Louise menggigit bibirnya. "Aku menolak karena mereka hendak meruntuhkan rumah keluarga Murphy. Itu tempat yang penuh sejarah. Aku tak akan membiarkan itu terjadi!"
Amour tertawa kecil lagi, kali ini nadanya semakin sinis. "Oh, betapa heroiknya dirimu, Louise. Tapi jangan berpura-pura tak tahu. Kau dituduh melintasi daerah Abyss, daerah terlarang yang bahkan kita para bangsawan pun tak berani sentuh. Siapa yang tahu apa yang kau rencanakan?"
Louise memucat, tangannya terkepal erat. "Aku tak pernah melintasi daerah Abyss! Tuduhan itu tak berdasar!" serunya, berusaha mempertahankan ketenangannya.
Amour melangkah lebih dekat, matanya menyipit dengan tajam. "Begitu banyak tuduhan padamu, Louise. Bangunan terbakar, daerah Abyss, penyitaan paksa... semuanya mengarah padamu. Kau memang hebat bermain di belakang layar, bukan? Tapi... mari kita selesaikan ini dengan cara yang lebih... tradisional."
Senyum Amour berubah menjadi dingin. "Sumpah berduel. Kau dan aku, Louise. Kita biarkan penghakiman ini ditentukan oleh darah."
Ren menoleh pada Louise, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi Louise tak menghindar. Dengan tatapan membara, dia menatap Amour lurus. "Jika itu yang kau inginkan, Amour. Aku tidak takut padamu."
Amour tersenyum puas. "Baiklah. Kita akan lihat siapa yang benar. Dan siapa yang akan dibersihkan oleh api keadilan."
Ren tertegun mendengar permintaan duel ini. Amour tampaknya berusaha memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan Louise. Sebuah pilihan yang penuh tipu muslihat. "Api keadilan?" gumam Ren penasaran.
Amour menatap Louise dengan ekspresi penuh sinisme. "Kau punya waktu sampai besok untuk memikirkan caramu mengalahkanku," katanya dengan nada meremehkan. "Jangan terburu-buru. Ini bukan hanya sekadar duel. Ini adalah kesempatanmu untuk membuktikan bahwa kau benar-benar pantas melawan seseorang sepertiku."
Louise mengangkat kepalanya, walau masih dipenuhi kesedihan dan rasa sakit, tatapannya tetap tegas. "Aku tidak akan mundur, Amour. Jika ini yang kau inginkan, aku akan siap."
Amour terkekeh pelan, jelas-jelas meremehkan. "Sungguh heroik sekali. Tapi aku sarankan kau segera sembuh, Louise. Dan tentu saja, gunakan pakaian yang layak untuk duel ini. Aku enggan menghabisi seseorang yang tampaknya lebih seperti puing-puing daripada lawan yang layak."
Louise menahan amarahnya. "Aku tidak butuh belas kasihan darimu. Aku akan menghadapi ini dengan segala yang aku punya."
Louise menghabiskan malam dengan penuh persiapan. Di ruang kecil yang tersisa dari kebakaran, ia duduk di depan cermin yang pecah, merawat lukanya dan memeriksa persiapannya. Pakaian yang dia kenakan bukan yang terbaik, tapi cukup untuk menghadapi pertarungan esok hari.
Pagi hari datang dengan kabut tipis yang menyelimuti arena duel yang ditetapkan. Louise berdiri di tengah arena, mengumpulkan semua kekuatannya. Dia menatap ke arah pintu masuk, menunggu kedatangan Amour. Suara gemuruh dari kerumunan yang berkumpul mulai mengisi udara, menambah ketegangan.
Ren berdiri di sisi Louise. "Ingat, Louise, ini bukan hanya tentang membuktikan dirimu. Ini tentang keadilan."
Louise mengangguk, menyusun napas dalam-dalam. "Aku tahu, Ren. Aku akan menunjukkan pada Amour bahwa dia salah menilai."
Ren melihat sekitar dan mendapati seseorang turut hadir di sana. "Tampaknya Violet pun memaksakan diri untuk mengunjungimu hari ini."
"Violet? Mana mana mana." Louise penasaran dan mencoba menemukan Violet di tengah kerumunan.
"Itu di sana, dia tampak khawatir." Ren menunjukkan posisi Violet di tengah kerumunan pada Louise.
"Ah iya... Violet terlihat khawatir. Ren, sampaikanlah pada Violet. Louise yang tak terkalahkan ini pasti akan menang." ucap Louise dengan penuh percaya diri.
Ren tersenyum dan perlahan menghilang di kerumunan. "Akan kusampaikan."
Pintu gerbang terbuka, dan Amour melangkah masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pakaian serba hitamnya kontras dengan kegelapan di sekitar arena. Senyum sarkastiknya tak pernah pudar saat dia menatap Louise.
"Ah, Louise," ujar Amour dengan nada mengejek. "Sepertinya kau akhirnya siap. Aku sudah menunggu."
Louise menatap Amour dengan mata yang penuh tekad. "Aku tidak akan kalah. Aku akan menunjukkan kepadamu siapa yang lebih layak."
Amour tertawa sinis. "Bagus. Aku berharap kau tidak mengecewakan. Mari kita lihat apa yang kau miliki."
Saat duel akan dimulai, Ren berdiri di sisi arena, matanya tajam mengamati setiap gerakan di medan pertempuran. Di sekelilingnya, sorakan para penonton memenuhi udara dengan suara riuh.
"KALAHKAN BOCAH ITU!"
"TUNDUKKAN CAELFALL!"
"JANGAN BERIKAN BELAS KASIHAN PADA CAELFALL!!"
"TUHAN BERSAMA PARA BANGSAWAN SUCI!!!"
Tidak seperti yang biasanya ia lihat, kali ini sorakan itu terdengar penuh kebencian dan ejekan. Penonton, yang kebanyakan mengenakan ban lengan biru, jelas adalah para bangsawan.
Ren memperhatikan bagaimana mereka mengerumuni arena, tatapan mereka dipenuhi dengan kegembiraan yang hampir tak sabar, seolah-olah pertarungan ini hanyalah bentuk hiburan semata bagi mereka. Dengan setiap pukulan dan serangan yang dilancarkan Louise dan Amour, mereka bersorak lebih keras, mencemooh dan mengejek Louise dengan kata-kata kasar.
"Oh, jadi inilah hiburan para bangsawan," Ren berbisik kepada dirinya sendiri, matanya menyipit melihat bagaimana para bangsawan menunjukkan dukungan mereka terhadap Amour dan menghina Louise yang berjuang keras. "Mereka memandang kami hanya sebagai permainan untuk kesenangan mereka."
Perasaan kecewa dan marah mulai membakar dalam diri Ren. Melihat bagaimana pertempuran ini diolah menjadi tontonan untuk para elit, ia merasa semakin jauh dari harapan untuk keadilan. Hatinya dipenuhi kemarahan saat ia menyadari betapa rendahnya harga diri mereka yang berkuasa, yang tidak ragu-ragu menggunakan penderitaan orang lain untuk hiburan mereka.