Ren terus berjalan dengan langkah gontai, lelah mulai terasa merayap ke seluruh tubuhnya. "Fyuhhh, ayunan ke... 200 berapa tadi ya? Ah, biarlah," gumamnya sambil menghela napas panjang. "Aku lelahhh," lanjutnya pelan, merasa beban di pundaknya makin berat.
Jalan yang dilaluinya remang-remang, nyaris gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu-lampu yang jauh di kejauhan. Namun, matanya menangkap satu titik cahaya yang lebih terang di pinggir jalan. Rasa penasaran muncul, dan tanpa sadar langkahnya mempercepat menuju sumber cahaya itu.
Saat Ren mendekat, dia mulai mengenali sosok yang berada di bawah cahaya tersebut. Ternyata, itu Ralph, temannya yang tampak sibuk membongkar semak-semak di pinggir jalan.
"Ralph?" panggil Ren sambil mendekat.
Ralph mendongak sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Oh, Ren, apa kabar? Aku... eh, sedang mencari sesuatu di sekitar sini," katanya sambil terus mengamati semak-semak di depannya.
Ren menatap Ralph dengan penasaran. "Apa yang sedang kamu cari? Tampak serius sekali."
Ralph menghela napas dan tampak sedikit sedih. "Barusan aku lihat ada kucing liar. Kasihan, kucingnya terlihat kurus, jadi aku coba dekati pelan-pelan biar bisa kasih makan. Tapi, ketika aku mencoba mendekat, dia kabur ke semak-semak ini."
Ren mengangguk pelan, memperhatikan Ralph yang terus mencari dengan cemas. "Jadi kucingnya kabur saat akan kamu kasih makan? Hmmm..." Ren berpikir sejenak sebelum tiba-tiba tertawa kecil.
Ralph menoleh ke arahnya, bingung. "Kenapa kamu ketawa?"
Ren tersenyum sambil mengangkat bahu. "Mungkin aja kucingnya kabur karena aku datang. Mungkin dia takut sama aku, siapa tahu dia mikir aku ini monster atau semacamnya."
Ralph tertawa kecil, meski masih ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Yah, bisa jadi sih. Tapi kucing itu memang agak penakut. Aku hanya khawatir dia kelaparan di luar sana."
Ren menepuk bahu Ralph dengan lembut. "Jangan khawatir, kalau dia lapar, pasti dia bakal keluar lagi. Lagipula, kucing kan punya insting buat nyari makanan. Kalau kamu lihat dia lagi, coba kasih makan pelan-pelan, dan kali ini mungkin aku nggak akan mendekat, biar dia nggak kabur lagi."
Ralph mengangguk, merasa sedikit lega. "...Ohh, begitu ya?"
Ren memiringkan kepalanya sedikit, memandang Ralph dengan rasa ingin tahu. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa ada di sini? Bukannya biasanya kamu sibuk dengan urusan lain?"
Ralph menghela napas sambil tersenyum tipis. "Aku sedang menunggu adikku, aku pernah cerita bukan? Tentang adikku."
Ren mengingat-ingat kembali saat Ralph menceritakan tentang adiknya. "Ah iya aku mengingatnya. Jadi kamu sedang menunggu Reiyuu?"
Ralph mengangguk pelan, matanya melirik ke arah jalan. "Iya, dia biasanya nggak suka kalau aku terlalu ikut campur, tapi kali ini... aku cuma pengen memastikan dia baik-baik aja."
Ren tertawa kecil. "Kamu memang kakak yang perhatian."
"Benarkah begitu?" Ralph tampak ragu, sedikit terkejut dengan pujian itu.
Ren tersenyum tipis, melihat Ralph yang tampak sedikit gelisah. "Jadi, kamu benar-benar di sini cuma buat nungguin Reiyuu?"
Ralph mengangguk, meski masih tampak ragu. "Iya, aku tahu mungkin kedengarannya agak berlebihan, tapi aku tidak bisa tidak khawatir. Apalagi setelah apa yang terjadi kemarin."
Ren menatap Ralph lalu menatap ke sekeliling. "Ah iya benar juga."
Ralph tiba-tiba mengubah topik, tampak penasaran. "Ngomong-ngomong, aku dengar kamu masuk ke Divisi Ekspedisi? Benarkah begitu?"
"Iya, memang benar." Ren mengangguk, matanya tertuju pada selembar kain berwarna biru yang terikat di lengan Ralph. "Ralph, kain apa yang terikat di lenganmu itu?"
"Oh, ini?" Ralph menunjuk pada ban lengan birunya.
"Iya kain itu. Kain apa itu?" Ren mengerutkan dahi, matanya melayang ke ban lengan biru yang terikat di lengan Ralph. "Kain ini adalah ban lengan. Kamu belum tahu?"
Ren menggeleng, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Belum."
Ralph mengangkat alis, terkejut. "Sama sekali?"
Ren mengangguk pelan. "Sama sekali."
Ralph mengangguk, lalu menggerakkan tangannya perlahan untuk menunjukkan ban lengan itu dengan lebih jelas. "Ban lengan berwarna biru ini menandakan bahwa aku berstatus sebagai bangsawan."
Ren membuka mata lebar-lebar, terkejut. "Kamu seorang bangsawan? Aku baru sadar."
Ralph tertawa kecil. "Iyakan? Aku sendiri juga agak bingung," Ralph menjawab sambil mengangkat bahu, tampak canggung.
Ren memiringkan kepalanya, tampak lebih penasaran. "Kamu bingung? Lalu bagaimana kamu bisa mendapatkan status sosial sebagai... bangsawan?"
Ralph menatap lurus ke depan, seolah berusaha mengingat detailnya. "Aku tidak begitu tahu prosedurnya. Aku mendapatkannya dari Amour."
"Amour?" Ren menyebut nama itu dengan nada serius, begitu pula dengan tatapannya. "...Katamu?"
"Memang benar. Amour bilang bahwa banyak bangsawan yang tertarik mengunjungi Caelfall nantinya. Kurasa maksudnya adalah untuk menyaring... kamu tahu, bangsawan sungguh memandang status sosial."
Ren tampak berpikir sejenak, matanya menjelajah jauh ke dalam pikirannya. "Ah begitu ya," gumamnya, masih mencerna informasi baru.
"… Ren?" Ralph memandang Ren dengan ekspresi tiba-tiba seperti mengkhawatirkan sesuatu.
Ralph cepat-cepat melambaikan tangan. "Tidak, kamu tidak perlu khawatir! Walaupun aku berstatus bangsawan, tetap saja aku ini bangsawan jalur undangan! Jadi yaa... aku tidak pandang status sosial dan ya... tentu kita tetap bisa bertemu!" Ralph berusaha menyangkal asumsi dalam pikirannya Ren dengan meyakinkannya.
"Oh, aku tidak mengkhawatirkan itu..." Ren mulai, tetapi wajahnya menunjukkan ketidakpastian. "Tapi, apa-apaan maksudnya mengundang banyak bangsawan asing? Dia pikir Caelfall semacam bazaar atau apa?"
Ralph tertawa kecil, tampak puas dengan reaksi Ren. "Ren, bukankah justru ini ada sisi positifnya? Dengan begitu Caelfall punya peluang untuk menjalin kerja sama dengan para bangsawan itu."
Ren mengangkat bahu dengan ekspresi skeptis. "Yah, anggap saja begitu."
"Kamu ini selalu skeptis, meragukan tindakan orang lain," kata Ralph dengan senyum lebar, menyadari sifat Ren yang satu ini.
"Begitukah sepengamatanmu?" Ren bertanya dengan nada penasaran.
Ralph mengangguk dengan serius. "Tapi ada yang aneh juga. Kalau tujuannya untuk membuka peluang kerja sama dengan Caelfall, kenapa mereka mulai membatasi wilayah? Firasatku bilang... tidak, aku yakin mereka berniat memisahkan pribumi dengan bangsawan."
Ren mendengarkan dengan seksama, ekspresinya serius saat ia mempertimbangkan kata-kata Ralph.
Tiba-tiba, suara gadis pemurung terdengar dari belakang, memecah kesunyian. "Ho? Jadi orang ini adalah Ren yang sering kamu bicarakan itu, Mbakyu?"
Ren dan Ralph menoleh bersamaan. Seorang gadis dengan pita di rambut kanannya berdiri di sana, tatapannya dingin dan tajam.
Ralph tersenyum lemah, terlihat agak canggung. "Oh, Reiyuu, kamu datang."
"...Oh Reiyuu?" Ren mengingat kembali tentang adik dari Ralph yang pernah diceritakan kepadanya.
Ralph mencoba memperkenalkan. "Reiyuu, ini Ren. Ren, ini adikku, Reiyuu."
Ren tersenyum ramah, mencoba menyeimbangkan suasana. "Hai, Reiyuu. Senang akhirnya bisa bertemu."
Reiyuu mengangkat alis, menatap Ren dengan skeptis. "Hmph. Jadi, Ren ya? Reiyuu dengar banyak tentang kamu dari mbakyu. Dan kamu datang ke sini untuk apa?"
Ren mencoba tetap tenang meskipun merasa sedikit tertekan oleh sikap Reiyuu. "Aku cuma lewat dan kebetulan bertemu Ralph di sini."
Reiyuu menyandarkan tangan di pinggang, ekspresi tidak senangnya jelas terlihat. "Oh, jadi cuma kebetulan? Reiyuu tidak tahu apa yang harus dipikirkan tentang kamu."
"Oh? Salahkah bagiku untuk menemui Ralph di sini?" Ren menyangkal perkataan Reiyuu.
Reiyuu, yang tampak agak defensif, mengangkat alis. "Mbakyu harus menjaga jarak dari orang ini. Reiyuu tidak suka jika ada yang mengganggu."
Ralph menggelengkan kepala dengan sabar. "Reiyuu, kamu jangan begitu. Ren adalah... teman baikku."
Reiyuu menatap Ren dengan tatapan waspada. "Hmph. Reiyuu tidak terlalu suka dengan orang yang baru dikenalnya. Apalagi jika mereka tidak bisa dipercaya."
Ren tersenyum tipis, menatap Reiyuu dengan sedikit canggung. "Tampaknya kita belum saling mengenal. Tapi aku akan menghormati permintaanmu, Reiyuu."
Ralph mencoba melerai, sambil mencoba menenangkan situasi. "Ayo, jangan bertengkar. Kita semua di sini hanya untuk memastikan semuanya baik-baik saja."
Reiyuu tidak merubah ekspresinya, tetap defensif. "Reiyuu hanya melindungi Mbakyu. Tidak ada yang salah dengan itu."
Suasana hanya terus menghening dengan kecanggungan yang ada.
"...."
Reiyuu menyandarkan tangan di pinggang dengan sikap menantang, seolah-olah siap untuk melawan jika diperlukan. "Jadi, Ren, ada apa lagi yang perlu dibicarakan? Reiyuu rasa sudah cukup."
Ralph menatap Reiyuu dengan mata yang penuh permohonan. "Reiyuu, kita sudah cukup di sini. Ayo pulang."
Reiyuu menghela napas panjang, menatap Ren dengan tatapan terakhir yang penuh waspada sebelum berbalik ke arah Ralph. "Baiklah. Tapi ingat, mbakyu, kalau ada yang terjadi, Reiyuu tidak akan tinggal diam."
Reiyuu menggenggam lengan Ralph dengan tegas, memaksanya untuk bergerak. "Ayo, mbakyu. Waktunya pulang."
Ralph menoleh ke arah Ren, dan meskipun ada sedikit rasa khawatir di matanya, ia tetap mencoba untuk menjaga sikapnya. "Ren, terima kasih sudah datang. Maafkan sikap adikku."
Ren mengangguk dengan penuh pengertian. "Aku mengerti. Aku akan berhati-hati."
Reiyuu menarik Ralph pergi, meninggalkan Ren dengan perasaan campur aduk.
Ralph menoleh sejenak ke arah Ren sebelum benar-benar diseret oleh Reiyuu. "Ren, tetaplah waspada, dengan bangsawan dan... Amour."
Ren hanya bisa melihat mereka pergi, merasa sedikit bingung oleh peringatan Ralph. Dalam keadaan yang semakin gelap, dia tidak bisa tidak merasa bahwa peringatan Ralph mungkin menandakan ancaman yang lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Saat Reiyuu dan Ralph menghilang dari pandangan, Ren memutuskan untuk tetap berada di situ sejenak, merenungkan pesan terakhir Ralph. Ia merasa bahwa ia harus lebih waspada dan siap menghadapi apapun yang mungkin akan datang. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang mengancam situasi saat ini.
Ren berbalik dan melangkah kembali, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Ren baru saja memutar tubuhnya, hendak melangkah pergi, ketika sebuah suara yang lembut menghentikannya di tempat. "Oh, Ren! Tepat sekali waktunya, aku sedang mencarimu." Suara itu berasal dari arah sinar redup yang semakin pudar seiring malam yang merambat.
Amour muncul dari bayangan.