Pagi-pagi buta, Ren hendak bergegas menuju alun-alun sekitar Caelfall seperti yang diminta oleh Amour. Sebelum itu Ren membawa pedang yang sebelumnya ia temui di gudang kamp pelatihan, yang sekarang selalu ia rawat dan simpan.
Udara pagi terasa dingin, dan embun masih menyelimuti jalanan berbatu. Langit masih gelap, hanya ada cahaya remang-remang dari lampu jalan yang menerangi langkah Ren.
Sesampainya di alun-alun, Ren melihat Amour sudah menunggu di sana, berdiri dengan santai di bawah lampu jalan. Amour menyapanya dengan senyum yang terlihat ramah, tetapi ada kilatan dingin di matanya.
Amour melambai dengan santai.
"Selamat pagi, Ren," kata Amour dengan suara tenang.
Ren menatapnya dengan tajam, menahan amarah yang mulai muncul. "Apa yang kau inginkan, Amour? Aku sudah datang sesuai perintahmu."
Amour tertawa kecil, menikmati reaksi Ren. "Oh, jangan tegang seperti itu. Aku hanya ingin mengobrol sedikit. Lagipula, kita sekarang satu tim, bukan? Divisi Ekspedisi tidak bisa berjalan tanpa koordinasi yang baik."
Ren tetap diam, menunggu Amour melanjutkan. Amour, yang menikmati permainan ini, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Kau tahu, Ren, aku sangat mengagumi keberanianmu kemarin. Berani sekali kau berdiri di depan semua orang dan menerima tantangan itu."
Lagipula aku sudah tahu, semua itu adalah jebakan. Kau telah merencanakannya."
"Begitukah menurutmu?"
Amour mengangguk pelan, seolah-olah memikirkan sesuatu. "Tetap saja, patut dihargai keberanianmu... bagus sekali, Ren. Aku suka semangatmu. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kau melihat sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat, bukan?"
Jantung Ren berdegup kencang, tapi ia berusaha tetap tenang. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Amour tertawa, kali ini lebih keras. "Ah, jangan bodoh, Ren. Aku tahu kau melihatku menyuntikkan cairan itu pada seseorang. Kau tahu apa artinya itu, bukan?"
Ren menggertakkan giginya, merasakan amarah semakin memuncak. "Apa yang kau lakukan pada orang itu, Amour? Apa yang ada dalam suntikan itu?"
Amour tersenyum licik. "Oh, itu hanya eksperimen kecil untuk kepentingan bangsawan. Tidak perlu khawatir. Tapi kau tahu, Ren, rahasia seperti ini bisa sangat berbahaya jika tersebar. Terutama bagi orang-orang yang tidak seharusnya mengetahuinya."
Ren menatap Amour dengan penuh kebencian. "Apa yang kau inginkan, Amour?"
Amour mendekatkan wajahnya ke arah Ren, suaranya menjadi lebih rendah namun tetap tajam. "Aku ingin memastikan kau tetap diam. Kau tahu, Ren, ada banyak cara untuk membuat seseorang bungkam. Salah satunya adalah dengan menyakiti orang yang mereka sayangi."
Ren merasa darahnya mendidih. "Apa maksudmu?"
Amour tersenyum lebar, menunjukkan gigi-giginya yang putih. "Rose dan kakekmu, mereka berdua sangat berharga, bukan? Akan sangat disayangkan jika sesuatu terjadi pada mereka."
Ren berdiri dengan marah, tapi Amour tetap duduk dengan tenang, menikmati reaksi Ren. "Jika kau menyentuh mereka, Amour, aku akan..."
"...Dan perlu kuperingati, namanya adalah Roze. Bukan Roze. Jangan seenaknya sendiri."
"Apa? Kau akan apa, Ren?" Amour memotong, suaranya penuh dengan nada mengejek. "Kau hanyalah seorang anak muda tanpa kekuatan. Aku adalah bangsawan, dan bangsawan memiliki cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan."
Ren merasakan kebencian yang luar biasa, tapi ia tahu bahwa melawan Amour secara langsung tidak akan membantu. Ia harus bermain dengan cerdas. "Apa yang kau inginkan agar kau tidak menyakiti mereka?"
Amour tersenyum puas, tahu bahwa ia telah menang. "Hanya satu hal, Ren. Tetaplah patuh dan lakukan apa yang aku katakan. Jangan coba-coba mengungkapkan apa yang kau lihat. Jika kau bisa melakukan itu, Roze dan kakekmu akan tetap aman."
Ren menatap Amour dengan tatapan penuh kebencian, tapi ia tahu bahwa untuk saat ini, ia tidak punya pilihan lain. "(Sialan.)"
Amour tertawa kecil dan menepuk bahu Ren. "Bagus sekali. Sekarang, ayo kita bersiap-siap. Divisi Ekspedisi menanti kita."
Setelah percakapan yang penuh ketegangan di alun-alun, Amour mulai memberikan instruksi kepada Ren tentang latihan pagi yang harus ia jalani. Amour menjelaskan bahwa sebagai anggota baru Divisi Ekspedisi, Ren harus menjalani serangkaian latihan untuk menguji ketahanan fisik dan mentalnya.
"Untuk hari ini," kata Amour dengan senyum sinis.
"Kau akan mulai latihan ringan. Aku ingin kau mendorong bongkahan batu besar di halaman belakang barak sejauh setidaknya 10 cm setiap pagi buta. Ini bukan jarak yang jauh, seseorang pendekar pedang pasti mampu," sindir Amour.
Ren menatap Amour dengan sedikit curiga, tapi ia tidak punya pilihan lain selain menerima tantangan itu. "Yaya... akan kulakukan."
"Kenapa begitu kebingungan? Halaman seluas ini sudah ada dari dulu kau tahu...," kata Amour dengan nada sinis.
"Aku mengerti, kau kan tukang bolos pelatihan khusus," lanjutnya sambil tersenyum mengejek.
"Atau aku salah? Maaf sepertinya aku salah kira, tidak mungkin bukan, orang berbakat sepertimu itu bolos pelatihan khusus di kamp pelatihan ini."
Ren hanya menghiraukan perkataan Amour. "Terserah padamu saja."
Amour tertawa kecil dan berbalik meninggalkan Ren. "Baiklah, selamat berlatih, Ren. Aku akan memeriksamu lagi nanti."
"...Oh iya, aku hampir lupa, sebagai tambahan kau tak perlu menghadiri pelatihan khusus di kamp pelatihan. Kalau begitu, sampai nanti."
"Yaya."
Ren mendekati batu besar itu dengan hati-hati, meletakkan kedua tangannya di permukaannya yang kasar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan. Dengan seluruh tenaganya, ia mulai mendorong. Batu itu tidak bergeming, bahkan tidak bergerak sedikit pun.
Ia menggertakkan giginya dan mendorong lebih keras lagi, otot-ototnya tegang dan napasnya semakin berat. Tetapi, batu itu tetap tidak bergerak.
Keringat mulai mengalir di dahinya, menetes ke tanah di bawahnya. Ren mengerahkan seluruh tenaganya, mencoba setiap sudut dan posisi yang mungkin, tetapi batu itu tetap tidak bergeser.
Ren berhenti sejenak, terengah-engah dan merasa frustrasi. "Kenapa batu ini tidak bergerak sama sekali?" pikirnya. Ia merasa kewalahan dan menyadari betapa lemahnya dirinya saat ini.
Tidak ingin menyerah, Ren mencoba lagi. Ia menarik napas dalam-dalam dan mendorong batu itu dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Otot-ototnya terasa terbakar, tetapi ia terus berusaha. Setiap dorongan membuatnya semakin lelah, tetapi ia tidak mau menyerah.
"Aku harus bisa... Aku harus buktikan bahwa aku bisa," gumam Ren pada dirinya sendiri.
Ia mengerahkan tenaga terakhirnya dalam satu dorongan kuat, otot-ototnya menegang hingga titik puncak. Akan tetapi, batu itu tetap tidak bergerak. Tiba-tiba, ia merasakan darah mengalir dari hidungnya. Ren terhuyung-huyung ke belakang, terengah-engah dan merasa pusing.
Ia menyentuh hidungnya dan melihat darah di tangannya. "Mimisan...," pikirnya dengan ngeri. Tubuhnya gemetar dan ia merasakan betapa kerasnya latihan ini.
Ren duduk di tanah, terengah-engah dan mencoba menghentikan pendarahan di hidungnya. "Aku harus lebih kuat...," bisiknya pada dirinya sendiri. Meskipun merasa kelelahan dan sakit, ia bertekad untuk tidak menyerah.
Ren menatap batu besar itu dengan tatapan penuh determinasi. "Aku tidak akan membiarkan ini menghentikanku," katanya dengan suara pelan akan tetapi penuh tekad. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan sulit, tetapi ia tidak akan mundur. Ren menyadari bahwa kekuatannya masih jauh dari cukup, tetapi tekadnya untuk membuktikan dirinya tidak pernah sekuat ini.
Dengan perlahan, Ren bangkit kembali, meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan sakit. Ia memutuskan untuk mencoba lagi keesokan harinya. Hari itu, Ren belajar satu hal penting: perjuangan sebenarnya baru saja dimulai, dan ia harus menemukan cara untuk mengatasi semua rintangan yang ada di hadapannya.
Ren pulang dengan langkah pelan, merenungkan apa yang harus ia lakukan untuk menjadi lebih kuat.
Tapi saat hendak pulang, Ren mengurungkan niatnya kembali. "Aku tidak akan pulang begitu saja... tidak sampai aku benar-benar lelah di sini..."
Ren menghantam bongkahan batu tersebut dengan penuh keyakinan.
"Sialan!"
"Keras sekali!"
"...Tunggu, kalau begitu bukan masalah jika sesekali mengayunkan pedang ini?"
Ia meraih pedangnya yang selalu ia bawa di pinggangnya, menariknya keluar dari sarung dengan gerakan cepat.
"Baiklah... ayunan pertama!"
Ren mengayunkan pedangnya pada bongkahan batu itu, justru dirinya malah terpelanting. Suara dentingan logam bertemu batu terdengar nyaring. Batu itu tetap kokoh.
"Sialannn, lagi-lagi... oh iya kuda-kuda, bagaimana bisa aku melupakan hal itu."
Ren meraih keseimbangannya lagi dan menggenggam dengan erat pedangnya.
"Ayunan kedua..." gumamnya, mengatur napas dan menyesuaikan pegangannya pada pedang.
Ren menarik napas dalam-dalam, mengatur kuda-kuda berpedangnya. Ia mengingat kembali ajaran-ajaran dasar yang pernah ia pelajari dari pelatihan dasar. Posisi kaki harus kuat, tubuh harus seimbang, dan fokus harus penuh pada target.
Dengan gerakan halus, Ren mengayunkan pedangnya ke berbagai arah, membayangkan bahwa ia sedang menghadapi musuh tak terlihat. Ia melangkah maju, mundur, bergerak ke samping dengan kecepatan dan ketepatan yang semakin meningkat. Setiap ayunan pedang membawa kekuatan dan keyakinan yang lebih besar.
Ren mulai merasakan aliran energi dalam tubuhnya. Otot-ototnya mengencang dan melemas dalam irama yang teratur, keringat mengalir deras di dahinya. Ia terus mengayunkan pedangnya, menghantam udara dengan kekuatan yang membuat suara berdesing di sekitar.
Ren terus hanyut dalam latihannya, setiap ayunan pedang membuatnya semakin tenggelam dalam dunia yang hanya berisi dirinya dan pedangnya.
Waktu berlalu dengan cepat, dan Ren tidak menyadari bahwa matahari sudah mulai bergerak ke barat. Ia hanya fokus pada latihannya, mengabaikan lelah yang mulai merayapi tubuhnya. Ia terus mengayunkan pedangnya, menghitung setiap gerakan dalam hatinya.
"Tarik nafas dalam-dalam..."
"Hufftt..."
"Jiaaakkhh!"
"Kuh!"
"Ayunan ke-287," gumamnya, menghentikan sejenak gerakannya untuk mengatur napas. Ia menatap langit yang mulai berwarna oranye, menyadari bahwa hari sudah menjelang sore.