Chereads / Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 6 - Itu Bukan Mimpi

Chapter 6 - Itu Bukan Mimpi

Aku terbangun saat merasakan sesuatu melingkar terlalu erat di pinggangku. Sudah kuduga itu memang Joo. Dia masih terlelap, membuatku bisa menatap wajah rupawan ini sepuas mungkin. Namun jika dia benar-benar Joo maka ….

… tadi siang bukan sekadar mimpi. Dia benar-benar menjadi imamku, hal yang kudambakan sejak dulu terlaksana. Terpaut dari rasa sedih yang ada dia telah memenuhi keinginanku saat kami masih kecil dulu. Sejak dulu aku memang selalu saja merengek dan memintanya menjadi imam untukku, namun Joo menolak dan beralasan bahwa dia bahkan tak hapal surat pendek.

Tapi … dia sudah berbeda sekarang ini. Dia suamiku, seharusnya jika hanya sekadar salat berjamaah saja Joo masih mau melakukannya untukku bukan? Untuk saat ini mari lupakan bahwa sebelum ini ada banyak peristiwa yang terjadi. Walau terdengar egois aku berharap benar-benar ada lembaran baru dalam hubungan kami.

Tok ... Tok ....

Ketukan pintu kamar membuatku reflek mengangkat alis. Sore-sore begini siapa yang menggangguku? Terlebih mama atau papa entah ada dimana. Para pelayan pun kupecat semua juga pengawal tak ada yang berani masuk kemari bukan? Mereka semua lebih sayang nyawa dari pada melindungiku yang tak lain adalah majikannya.

"Siapa ya?" batinku bertanya-tanya lantaran kebingungan.

Gegas aku menyingkirkan lengan Joo, berjalan sedikit terhuyung karena masih mengantuk lantas membuka pintu kamar. Cih, sosok yang tak kuharapkan hadirnya dan entah dengan tujuan apa dia kemari. Jika karena hal sepele besok-besok mungkin akan aku jatuhkan hukuman untuknya!

"Hai, boleh masuk?"

Tanpa bicara, sebisa mungkin aku menunjukkan wajah kesal padanya. Namun dia hanya tertawa sebagai responnya. Seakan-akan sisiku yang satu ini pun tak dapat membuatnya gentar dan nekat maju.

Aku keluar lebih dulu lalu berjalan menuju ke ruang tengah. Duduk dengan nyaman di sofa tanpa perlu susah payah mempersilahkan laki-laki ini. Dia tak membutuhkannya, kalau sudah waktunya duduk dan pegal berdiri mana mungkin si sialan bertahan dalam posisi ini?

"Penjaga di depan nggak guna banget," dumelku sambil menatap ... Doni.

Ya, dia yang tadi pagi kucari namun ujung-ujungnya Doni sendiri datang kemari. Ini bukan kali pertama dia muncul tiba, jadi tak perlu merasa terkejut atau apa. Meski aku lebih suka kalau mulai sekarang dia mengabari sebelum datang kemari lantaran statusku tak lajang lagi.

"Ya memang begitulah. Ah, lo ngeledek gue ya? Mentang-mentang udah ada suami masuk kamar buat ambil flashdisk aja nggak boleh," guraunya yang masih sempat mengedipkan mata.

Receh dasar. Sempat-sempatnya dia tertawa saat aku saja ingin mencakar wajahnya itu. ngomong-ngomong karena dia mengatakannya aku jadi tersadar bahwa tak hanya rumah ini tapi juga kamarku biasa dia masuki dengan sesuka hati.

"Joo masih tidur jadi kamu nggak bisa masuk sembarangan, flashdisk yang mana? Kalau yang merah bukannya ada di laci meja kantorku?" tanyaku saat sadar kalau benda yang dia butuhkan memang kusimpan.

Doni mengangkat bahu membuatku kebingungan. Apa jangan-jangan flashdisk yang dia katakan barusan hanya sebatas alasan? Tak mungkin bukan Doni datang kemari dengan niat lain? Selama ini, bertahun-tahun aku menjadi temannya Doni ialah tipe orang lurus dan tak memiliki motif lain seperti ayalnya rasa suka.

"Bukan itu tujuan gue datang setan," ujarnya nampak kesal. Lah? Rupanya dugaan barusan tak salah.

Doni memejamkan mata sesekali nafasnya berhembus kencang. Aku terkekeh geli, pasti gara-gara Hendri yang batal menikah denganku lah makanya dia bersikap seperti ini. Itu wajar mengingat posisinya pasti dia bingung, memang tak sampai harus memilih namun sepupu dan partner kerja bukankah kedudukannya sama?

Padahal walau sudah tahu akan berakhir demikian Doni tetap saja mengatakan bahwa dia ingin aku menjadi kakak iparnya. Sialan, aku suka panggilan itu daripada lo-gue. Sungguh rasanya tak nyaman. Apa mungkin karena sejauh ini yang aku jumpai hanya sisi bobrok dari si gila ini, ya? Agaknya demikian namun diriku sendiri pun tak dapat memastikan.

"Sorry, kamu sendiri juga tahu alasannya kan sekarang? Kakak kamu gimana keadaannya?" sahutku menanyakan kabar Hendri. Hanya sebatas basa-basi.

Karena hubungan kami tak sedalam itu namun cukup kuat untuk sekadar saling bertanya kabar. Lebih lagi dia sempat menemuiku beberapa saat lalu, jadi aku hanya merasa harus tahu keadaannya sebagai calon 'istri' yang tak baik kelakuannya. Di lain waktu aku jadi memikirkan secanggung apa hubungan kami, namun … bukannya Hendri tak akan menjadi iblis meski aku menikamnya dengan belati?

"Tauk ah, nyesel gue kenal sama lo," balas Doni. Dia hanya bercanda kok, sudah sering diriku mendengar kata-kata itu.

Aku benar-benar tertawa atas respon konyol darinya itu. Dasar anak ini, memang kadang usia bukan jaminan bahwa seseorang akan bersikap dewasa bukan? Untung saja wajahnya mendukung untuk bertingkah begitu. Jika tidak ya bisa saja aku merasa jijik, 'kan?

"Gue balik."

"Secepat itu?"

"Dari pada pulang tinggal nama? Joo di mata gue masih sama, berandalan yang mencoba menutupi jati diri lewat pakaian rapi dan berdasi. Pernikahan ini nggak gue restui," ujarnya lantas melengos pergi.

Sempat terlintas dalam benak untuk menahan Doni namun aku sadar bahwa dia memang tak pernah memiliki hubungan baik dengan Joo. Bahkan saat pertemuan pertama kami tulang hasta miliknya retak karena ulah Joo. Sosok 'suamiku' itu bukan manusia, bisa jadi dialah iblis yang sesungguhnya di kehidupan ini.

Ah kalau diingat-ingat aku kesal juga. Tendangan Joo bisa membuat seseorang patah tulang, wajar saja jika dia memang memiliki julukan berandalan. Namun sejujurnya dia tak seburuk itu, maksudku Joo nggak akan murka jika semua diam saja. Kalau tak ada yang memancingnya suamiku tak akan membuat masalah kok.

Untuk temanku ini, karena tak bisa menahannya aku hanya mengikuti langkah Doni saja. Semakin dia ditahan kian memburuk keadaan, bentakan Doni tak main-main soalnya.

"Gue benci sama dia," ujarnya lagi.

Merangkul lengannya lantas aku menyuguhkan senyuman barang kali marahnya bisa kuredakan. Aku sedikit takut jika Joo mendengarnya maka Doni akan dalam bahaya. Bisa gawat jika dia benar-benar pulang hanya tinggal namanya saja.

"Sst, maafin aku ya. Nasi udah jadi bubur, Don. Kalaupun kamu benci dia jangan pernah berubah ke aku, kita tetap temen bukan?" Aku memohon padanya. Mencoba mengedip-ngedipkan mata sok imut tentunya guna meluluhkan hati temanku itu.

Seumur hidup tak ada wanita yang bisa benar-benar menjadi sahabat untukku dan hadirnya Doni merupakan sebuah keajaiban. Aku menggembungkan pipi, bisa gawat kalau dia pergi dalam keadaan marah. Jangan sampai itu terjadi karena akan berefek buruk untuk hubungan kami kedepannya nanti.

-Bersambung ....