Chereads / Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 12 - Iya Begitu

Chapter 12 - Iya Begitu

"Canda, By. Aku nggak tega kali sama dia. Tapi capek aja kalau ngurus anak nantinya. Kamu harus kerja juga, 'kan? Aku nggak mau dia diasuh sama baby sitter, itu sama aja kayak dia nggak punya orang tua," tutur Joo. Dia bersikap seolah-olah bisa menerima bayi kami dengan baik ya saat ini?

Entah mengapa meski belum tentu akan seperti itu gelenyar hangat merambat dalam dada. Aish, rasanya aku tak akan bisa menahan perasaan berbunga-bunga ini lebih lama lagi. Dengan cara apa aku harus mengungkapkan kebahagiaan yang 'sepele' di mata kalian?

"Jadi, kalau kamu tetap mau kerja ya terserah lah. Aku nggak akan melarang selama kamu menjaga jarak dengan para berandalan itu. sesekali mungkin aku juga akan mengawasimu," imbuh Joo dengan senyum tipis. Dia … sedang mengancamku saat ini.

Sialan kau, Joo! Aish, apa susahnya sih dia menurunkan ego dan langsung mengatakan padaku kalau ingin agar istrinya ini diam saja. Tidak perlu ke kantor dan aku akan mencari uang sebanyak-banyaknya agar kamu bahagia, masalah hutangmu pada mama jangan memikirkannya pula. Bisakah Joo mengatakan kalimat ini saja, ya?

Namun meskipun dia sungguh-sungguh memintanya, aku tetap akan bekerja. Setidaknya meski tak hadir di kantor aku harus membantu Doni mengelolanya, 'kan? Juga seperti yang telah aku jelaskan bahwa hutangku menumpuk hingga rasanya butuh ratusan tahun demi bisa melunasinya hingga ke akar-akar. Cara simple, membunuh tapi aku memiliki hati selembut sutra maka singkirkan pemikiran bodoh barusan.

"Aku bisa rawat dia. Selama bapaknya nggak neko-neko, tetap sama mamaknya. Satu lagi, semoga bapaknya ingat anak, lupain mantan sekalian!" sindir ku terang-terangan.

Joo membelokkan mobilnya masuk ke dalam rumah. Dia memarkirkannya asal. Kami belum turun, masih setia di dalam mobil. Aku juga masih betah di dalam sini lantaran masuk rumah sama halnya dengan datang ke neraka yang tak lain adalah horor, pengap, dan menyesakkan dada. Bernafas di dalam sana tak akan senyaman kala kami di luar rumah begini.

Kala aku hendak membuka pintu, dia yang mengecup keningku membuat deru nafas menderu. Dia menjauh beberapa saat setelahnya lantas menggenggam erat tanganku sembari berkata,

"Diusahakan, bukan janji ya, By. Karena katanya usaha nggak akan mengkhianati hasil, udah ya? Jangan ke rumah Doni lagi. Sebagai gantinya aku bakalan di rumah aja kalau malam. Deal nggak, By?"

Ini bukan hanya menggiurkan namun juga sesuatu yang memang sangat kubutuhkan. Mari menutup mata, aku hanya perlu menatapnya baik-baik saat ini.

"Deal!" balasku.

Kami turun setelahnya. Masuk ke dalam rumah pukul sembilan kurang beberapa menit saja. Merasa mulas dan sedikit pusing membuatku gegas duduk. Sepertinya gejala kehamilan tak kurasakan selama beberapa bulan belakangan. Lalu mengapa rasanya begitu lelah?

Jangan mual-mual please, aku mohon tetap dalam keadaan normal. Aku benar-benar lelah fisik saat ini. Bahkan memeriksa dia pun belum sempat kulakukan.

Mulutku terkunci rapat sambil menatap Joo yang bolak-balik tak jelas. Dia bahkan sesekali menyapu. Tak mungkin manusia sepertinya berubah dalam waktu sekejap saja. Walau heran namun itulah yang ada di depan mata. Suami sempurna nan baik hati hingga siapa saja yang melihat Joo saat ini tak akan percaya keburukannya di lain hari.

Pasti ada sesuatu yang Joo rencanakan. Begitulah pikirku hingga sore hari.

Namun bahkan saat malam, dia terus saja menempel padaku hingga rasanya benar-benar risih. Senyum lebarnya mendadak terlihat menyeramkan.

"Hati-hati turun tangganya, By. Kamu mah nggak lihat-lihat dulu, tuh kan hampir kepeleset. Kalau mau ke kamar aku gendong aja ya?" Dia berkata dengan nada merdu.

Tersenyum masam diriku. Meskipun ini hanya akan terjadi sehari saja, namun moment-moment ini tak bisa kulewatkan. Setidaknya biarkan benak ini mengabadikannya dalam ingatan barang sebentar saja.

Dengan segera kurentangkan kedua tangan. "Nah, katanya mau gendong? Berat badanku naik kayaknya," tantangku.

Joo nampak gelagapan sesaat. Namun tak selang beberapa lama dia benar-benar membawaku dalam gendongannya. Sepertinya dia paham maksudku atau mungkin memang tak ingin aktingnya ketahuan dengan mudah.

"Beneran naik ya, By?" tanyanya membuatku tergelak.

"Ngeyel sih," balasku.

"By?"

"Hem?"

"Nggak jadi," ucapnya yang kini tak lagi menatapku.

Ah lagi-lagi dia membuatku kesal. Saat sudah di kamar, dia menurunkanku di pembaringan. Kuamati raut wajahnya yang sedikit gusar di balik senyuman itu. hendak bertanya namun mengapa susah sekali untuk mengutarakannya?

Entah apa yang tengah dia pikirkan. Aku hanya bisa berharap setidaknya dia tahu kalau menjalani hari-hari seperti tadi itu menyenangkan. Seperti suami-istri sungguhan, bukan suami-istri yang menikah hanya karena sebuah kecelakaan.

Hari ini terasa sejuk sekali, tak banyak perdebatan antara kami. Senyum dan sikap manisnya menggoda. Meskipun sisi marah dan gegabah itu membuatku resah. Tapi tak apa, untuk hari ini dia lebih banyak menunjukkan sifat manisnya jadi aku tak akan meragukan apa-apa.

"Nggak tidur?" tanyaku ketika melihat dia keluar kamar bukan malah berbaring di sebelahku.

"Ah, eum mau ngambil sesuatu di rumah. Kamu tidur duluan aja."

Dia keluar setelahnya. Namun detik setelahnya dia balik lagi, meninggalkan sebuah kecupan singkat di keningku sambil berbisik,

"Malam, By. Bukan aku nggak percaya tapi sikap kamu membuatku curiga. Untuk hari ini anggap sebagai bentuk apresiasi karena sekarang kamu sudah jadi istri. Maaf, By, rasa percaya yang aku punya nggak sebesar rasa curiga."

"Jangan marah ya? Kita masih teman bukan?"

Dar!

Hancur sudah harapanku mendengar kalimat terakhirnya itu. Sambil tertawa setengah mengejek diri sendiri dalam hati aku membalas ucapan Joo barusan.

"Hem, makasih buat hari ini. Kita kan memang teman ...." lirihku menahan rasa pilu yang kembali merambat ke dalam hatiku. Terlalu menyesakkan hingga bernafas saja diriku kesusahan.

***

Sudah seminggu berlalu semenjak dia mengatakan kalau kami hanyalah sebatas teman saja. Namun entah mengapa rasa sesaknya masih ada. Seakan Joo baru mengatakannya beberapa saat lalu bukan seminggu sebelumnya.

Karena bagi Joo, aku ini tak lebih dari teman, jadi tak membujuknya pun ya biarkan. Memang perasaan membuatku jadi bodoh hingga menginginkan hubungan yang lebih namun lebih. Tapi teman macam apa dia yang dengan tegas mengatakan bahwa perasaan ini hanya sebuah kesalahan saja?

Padahal sudah ku coba segala cara untuk membuatnya menyukaiku. Ah tentu saja minus dengan kecelakaan ini, otakku masih cukup normal untuk menyerahkan tubuhku. Tapi bukan berarti selama ini aku tak berusaha.

Mama dan Papa pergi untuk waktu yang cukup lama seakan mereka memang sengaja meminta kami untuk tinggal bersama di bawah satu atap. Kadang aku berpikir seperti ini, apa dia akan mencariku jika aku menghilang sejenak?

-Bersambung ....