Chereads / Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 18 - Mungkin ... Tak Akan Pernah

Chapter 18 - Mungkin ... Tak Akan Pernah

"AKHIRNYA SELESAI!" seruku bersemangat lantas menghambur dalam pelukan Doni.

Walaupun aku hanya mampu bekerja di belakang layar saja di luar secara keseluruhan dialah yang menghandle namun tetap saja, kami berhasil menyelesaikan proyek besar saat ini! Astaga, aku benar-benar tak tahan lagi untuk tidak berteriak begini.

Doni memang mampu melakukan segalanya dengan baik. Terkadang aku heran bagaimana bisa dia sekeren ini? Aduh duh, aku tak tahan jika terus seperti ini. Menggemaskan sekali rasanya memiliki teman yang bisa diandalkan dalam segala hal meski aku tahu bahwa tak ada hubungan tanpa timbal balik.

Yah, setidaknya tutup mata dan anggap bahwa segalanya akan baik-baik saja. Untuk saat ini aku enggan memikirkan hal-hal tak pasti.

"Jangan lompat-lompat, Yang! Astaga, kamu tuu lagu hamil jadi tolong untuk jaga sikap dengan baik ya?" tukas Doni sembari menahan diriku agar tak melompat-lompat lagi.

Aku cengengesan lantas mulai duduk di hadapannya. Ku angkat kaki meminta Doni untuk segera memijatnya. Keterlaluan memang, namun mengingat bahwa semua hasil kerja kerasku tak dapat kugunakan untuk spa jadi Doni menggantikannya.

Dia masih lajang di usia ini, sudah seharusnya laki-laki itu menikah. Namun, jika aku mendesaknya bagaimana nasibku di kantor ini nanti? Semua wanita pasti akan memiliki pemikiran yang sama seperti diriku. Singkat katanya mereka tak suka jika suaminya dekat-dekat dengan wanita lain.

"Bahagia banget, Bun?" ledek Doni yang memang selalu saja seenak jidat mengubah nama panggilan.

Aku sih tak masalah, namun mungkin jika Joo tak sengaja mendengarnya kala menjemputku bukankah dia akan dalam bahaya? Dibandingkan dengan mafia, Joo itu lebih cocok dipanggil preman. Hidupnya memiliki aturan sendiri, menerobos hukum saja bisa dilakukannya dengan mudah.

Meski mengungkapkannya dengan begitu baik, bukan berarti aku ... bangga padanya. Sikap Joo tak dapat dibenarkan.

"Bukan bahagia sih, cuman seneng aja," sanggahku membenarkan.

Doni geleng-geleng miris. Duh, salahku apa sih sampai dia bertingkah begitu?

"Sama aja, Mbak!" serunya membalas. "Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kamu tetap duduk di sini aja? Padahal ini sudah waktunya jam makan siang. Biasanya kamu selalu heboh minta dibeliin ini dan itu, mengapa sekarang tidak?"

Aku meringis pelan. Semalam setelah Joo mengetahui bahwa aku tak punya uang sebanyak harapannya bahkan bisa dibilang saldo juga dompetku kosong dia murka. Padahal saat aku merengek meminta banyak hal padanya dia tak curiga, baru setelah kami pulang Joo memeriksa semuanya.

"Eum ... mulai bulan depan, ah kayaknya bulan ini Joo ngasih aku uang bulanan. Jadi, selamat karena sekarang kamu nggak akan kekurangan tabungan lagi! Aduh, aku benar-benar seneng banget akhirnya kamu bisa fokus untuk pernikahan nanti!" seruku sok polos.

Aku tahu, sangattt tahu bahwa dia sedang menahan diri untuk tak memecahkan sesuatu saat ini. Entah sebagai sepupu Hendri, atau mungkin karena dirinya sendiri dia nampak tersenyum menunjukkan rasa kesalnya.

Memang untuk seseorang yang habis mencampakkan laki-laki lain, aku seharusnya tak boleh bahagia bukan?

Tok ... Tok ....

"Bu Jelita?"

Suara ketukan berbarengan dengan panggilan barusan membuatku gegas menurunkan kaki. Walaupun memang ini lumrah untukku dan Joo tetapi bukankah pada akhirnya tetap sama? Semua orang akan menganggapku 'murah' jika memperlakukan Doni semena-mena.

"Masuk," balasku setelah Doni melayangkan tatapan tajam.

Dia ... membuatku meminta maaf. Sungguh gara-gara ingin lekas menurunkan kaki tadi aku tak sadar kalau sampai menendang perutnya. Duh, masa sih dia harus marah dengan adiknya yang manis ini? Bercanda, hey!

Jangan mengira kalau aku gadis yang seperti itu sampai bertindak semaunya. Cukup paham bahwa ada batasan antara laki-laki lajang dan wanita yang sudah menikah.

"Eum ... ada tamu, Buk," ujar Siska ragu-ragu.

Dia kan asistennya Doni, mengapa berbicara padaku saja takut? Yah, mungkin karena aku galak dan sombong sampai tak mau mengangkat asisten.

"Siapa?" tanyaku kemudian.

Siska tak menjawab, namun dia menggeser tubuhnya hingga sosok 'tamu' itu datang. Aku tersenyum singkat mendapati Hendri yang datang dengan sterofoam di tangannya.

"Makan siang dulu, Taa. Bumil harus makan tepat waktu," katanya dengan wajah tak berdosa itu. Jika saja dia tahu bahwa aku tak mengharapkan kehadirannya karena takut Joo akan murka, maukah Hendri pergi?

Dia mendekat, menaruh makanan yang dibawanya. Ruangan kami yang semula ramai dan sama sekali tak pernah sepi pun mendadak senyap seketika. Aku meringis, tak tahan jika terus berada dalam keadaan yang seperti ini.

"Hen, kamu ... masih se-naif itu atau mencoba pura-pura nggak mengerti keadaan?" sarkasku membuat gerakan tangannya yang sedang menata makanan pun terhenti.

Doni mendengus dan menggeleng miris di depanku. Sedang Hendri, dia mendongak lantas tertawa kecil.

"Aku nggak paham kamu bahas apa. Dari SMA kita teman, apa hal semacam ini nggak bisa dilakukan antar teman walaupun kamu sudah menikah?" balasnya masih dengan senyum manis yang sedikit menjijikkan di mataku.

"Hen aku nggak-"

"Kalau mau tangan Lo patah lama-lamain aja di sini. Walaupun gue sepupu Lo bukan berarti posisi ini bisa dibela, Hen. Nggak ada gunanya ngejar dia, berapa kali gue harus jelasin?" ucap Doni tenang.

Senyum Hendri perlahan memudar, hal itu hanya berlangsung sejenak saja. Dia lantas melanjutkan kegiatannya untuk menata makan siang yang sebelumnya dijelaskan.

"Maaf, ya," ujarnya.

Hem? Aku yang terheran-heran pun jelas bertanya mengapa dia meminta maaf.

"Maaf karena aku nggak tahu kalau ada hantu di ruangan kamu. Pasti selama ini kamu kesusahan ya karena hantu gila satu itu, tapi nggak masalah karena kalau aku sering-sering datang dia juga muak dan lama-lama pergi juga," paparnya.

Kulirik Siska yang sedang merapikan dokumen di meja Doni. Agaknya dia benar-benar sudah terbiasa dengan situasi ini. Syukurlah karena gajinya yang jauh lebih banyak dari sebelum-sebelumnya maka Siska akan bungkam meski tak ku minta. Hanya saja entah mengapa situasi ini membuat lidahku ikut-ikutan kelu.

"Aish, sudah jam segini. Taa, aku pamit, ya? Kamu jangan lupa makan semuanya. Bumil harus sehat terus. Oh ya, kamu yang lagi beres-beres di sana ini masih sisa satu. Tadinya buat sepupuku, tapi kayaknya dia ... udah mati," gumam Hendri seolah-olah dia benar-benar tak melihat wajah Doni.

Siska menatapku dengan gugup. Tapi saat melihatku tersenyum dan mengangguk tak urung dia pun melakukan hal serupa pada Hendri. Laki-laki yang hampir saja menjadi suamiku itu mendekat, dia mengecup pipiku singkat lantas berpamitan.

Selepas kepergiannya Doni mengamuk, memintaku untuk tak memakan makanan yang Hendri bawa katanya takut diguna-guna. Aku sih jelas mengabaikannya, karena ... yang Hendri katakan benar. Bukankah bumil harus makan-makanan yang sehat?

Juga, kapan Joo akan memperlakukanku seperti itu?

-Bersambung ....