Hal yang baik akan menimbulkan efek yang baik pula. Begitulah cara kerja dunia menurutku. Tetapi Siska kali ini berpihak pada Joo ya ternyata, padahal aku sudah sayang betul loh padanya. Mengapa dia malah bertingkah seperti ini sih?
Aduh, aku kan jadi kesal jika begini jadinya. Ingin rasanya melempar tubuhnya saat ini tetapi aku memilih diam lantaran sedang kesusahan untuk sekadar berdiri. Perut yang semakin membesar ini jelas membuat siapa saja kesusahan untuk sekadar melangkah.
Lantas, dengan santainya dia membawaku. Hey! Berat badanku meningkat drastis, bahkan makan siang saja belum sempat kutelan dan masih tertahan di tenggorokan tetapi Joo sudah datang. Agaknya bukan hanya Siska namun beberapa orang di dalam sini, lebih lagi yang berperan penting mendapatkan suap dari Joo
Selagi ini hanya karena masalah pribadi, maka Doni pun tak akan ikut campur juga. Dia hanya menatapku cukup lama lantas berkata 'semoga segalanya baik-baik saja' melalui bahasa isyarat. Ukh, mana mungkin aku baik-baik saja kalau Joo saja tak mau menatapku padahal aku ada dalam dekapannya?
"Hendri cuman nganterin makan. Aku laper, ibu hamil nggak boleh telat makan. Kalau harus delivery pasti lama, ke kafeteria langsung jauhhh banget. Bukannya aku bakalan kelaparan kalau harus menunggu suamiku datang dan berinisiatif membawakan makanan untuk istrinya ini?"
Langkah Joo berhenti tepat ketika aku selesai mengatakannya. Dia memang paling mudah dipancing jika masalah hati. Akan tetapi aku juga gak berniat seperti ini, maksudku bisa saja bukannya selesai kesalahpahaman yang ada malah makin runyam saja.
Walaupun jika bisa jangan sampai hal itu terjadi. Ketar-ketir aku dibuatnya jika keadaan buruk terjadi begini. Aish, harus bagaimana saat ini? Joo ... dia mau melenyapkanku, kah? Tatapannya benar-benar membunuhku!
Walaupun ini masih tergolong biasa-biasa saja jika dibandingkan dengan yang lainnya akan tetapi tetap saja sama. Aish, harus dengan cara apa aku menjelaskannya pada Joo? Dari awal dengan detail atau langsung ke intinya saja, ya?
"Kalau ada tikus yang mau masuk pintunya itu ditutup saja. Jadi wanita harus pandai menjaga diri ya sayangku, tolong jangan bertingkah seakan kamu wanita lajang, paham?!"
Aku mengerjap beberapa kali guna mencoba memahami ucapan suamiku barusan. Bukannya tak paham, bukan pula karena ucapannya sukar dimengerti. Hanya saja ... seriusan Joo tak marah? Ini benar-benar di luar dugaanku.
Kukira Joo akan marah, setidaknya dia benar-benar akan membuatku terjungkal begitu saja. Nyatanya dia hanya sekadar menasehati saat ini. Haruskah aku menganggap bahwa hal ini adalah sebuah ... kemajuan? Rasanya air mataku bahkan sudah siap menetes.
Dia benar-benar seperti orang lain saat ini. Hatiku terombang-ambing di tengah lautan saat tak menemukan perahu mendadak ada pelampung yang datang. Itu Joo, dia seperti itu saat ini. Meskipun hiperbola kan demikian kenyataannya. Hiks, aku terharu.
"Malah nangis, aku nggak marah tapi hari ini kamu sudah terlalu sering bersama laki-laki lain. Jadi, sisa waktu hari ini untukku saja, ya?" tanya Joo dengan senyuman manis.
Aku mengangguk semangat. Mengalungkan kedua tangan jauh lebih erat. Dia benar-benar Joo bukan? Aku sungguh berharap bahwa ini bukan sekadar mimpi saja. Sekali pun ini mimpi maka besar harapan aku tak akan bangun.
"Hem, tapi ngomong-ngomong berat badanku nambah sepuluh kilo semenjak hamil. Jadi, apa kamu nggak merasa kalau aku ini berat, ya?" tanyaku pada Joo.
Dia tertawa. Padahal nggak ada yang lucu saat ini, entah bagaimana bisa tawanya terdengar benar-benar merdu hingga tak terasa bahwa kami sudah masuk ke dalam mobil saat ini.
"Kalaupun berat tinggal tambah bb-ku juga, By. Nggak ada alasan untukku malas-malasan saat istriku berjuang untuk menjaga anak kami sepenuh hati. Maaf ya karena sempat ragu?" tuturnya yang lagi-lagi membuat porak-poranda hatiku.
Senyum hangat Joo selalu saja membuat manusia resah begini. Pantas saja Astrid tetap diam-diam masih menginginkan suami orang. Mungkin, seumpama Joo lebih memilih menikah dengan Astrid maka hal bejat seperti itu juga akan kulakukan.
"Joo, aku mau nangis deh," candaku.
Dia meresponnya dengan gelak tawa. Sialan dasar anak ini.
Dua jam berlalu setelah kepergian kami dari kantor. Joo bilang aku tak perlu memasak karena ini ulang tahun bunda. Ya, aku tak lupa dan sudah menyiapkan kado walaupun harganya murah. Bagaimana tak murah jika saldoku saja zonk begini, ada sih uang dari Joo tapi menggunakannya seratus rupiah aku enggan apa lagi membeli barang-barang mewah.
Makanya, paling tidak demi menghormati mertuaku aku membelikan tas branded koleksi terbaru. Harganya lumayan mahal, namun tak apa selama aku membelinya dengan uangku sendiri.
"Bunda nggak tahu kalau kamu bakalan ingat, padahal ulang tahun ayahmu saja lupa," kekeh bunda.
Aku yang duduk di samping Joo dan berhadapan langsung dengan ayah hanya mampu meringis saja. Bagaimana bisa aku lupa ya waktu itu? Eum ... jika diingat-ingat hal yang wajar jika melupakannya.
Itu tak lain karena tepat di kala ayah berulang tahun aku malah pergi ke rumah Doni. Selanjutnya aku berselisih paham dengan Joo dan ... berakhirlah dengan seperti itu. Rasanya aku mual mengingat tatapan kesal ayah pagi itu, dia bilang ingin membuangku jika mengulang hal yang sama.
Meski dalam hati aku amat yakin bahwa ayah hanya sekadar bercanda saja. Tetapi kalau mendengarnya langsung kan ya ngeri juga, Bung!
"Hehe, tolong ayah jangan menatapku seperti itu dong. Walaupun aku memang lupa membawa kado waktu itu tapi doaku pasti akan dikabulkan!" ujarku riang.
Ayah membalasnya dengan dengusan. "Kau ini memang paling tahu caranya meredakan emosi seseorang, ya. Padahal ayah lebih suka melihatmu yang bertingkah judes begitu."
"Aku tak setuju, By. Jangan mengabulkan ucapan ayahku itu, kau jauhhh lebih manis jika bersikap seperti ini. Aku benar-benar tak suka jika wajahmu datar begitu," timpal Joo.
Kemudian pasangan ayah-anak itu beradu argument, malas mendengarkan aku dan bunda pun memilih untuk makan dengan segera saja. Memangnya apa yang bisa kulakukan jika bukan seperti ini? Maksudku mereka biasanya membutuhkan waktu lama jika sudah cek-cok.
Sejak kecil aku dan bunda sudah biasa terlibat dalam peristiwa seperti ini. Jika dipikir-pikir, bukankah aku selalu menganggap segalanya sebagai hal yang biasa-biasa saja, ya? Padahal seharusnya aku jauh lebih tahu bahwa butterfly effect bisa saja menyertainya.
Sebuah kejadian yang dianggap kecil dan hanya sebatas titik semu saja bisa menyiram atau bahkan ... menumpahkan segala harapan.
'Apa aku terlalu menyepelekan semua hal ini?'
'Apakah aku terlalu naif karena menerima segala perilaku baik dari suamiku sendiri? Haruskah aku mencurigainya? Tetapi, apakah ... aku bisa melakukannya?'
-Bersambung ....