Chereads / Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 20 - Bukan Desahan

Chapter 20 - Bukan Desahan

"Ngh, ah … Joo."

"Shhh … i-itu sakit," lenguhku.

"Ah, ini terlalu sempit, By," balas Joo dengan mata yang tak lepas dari bagian bawahku.

Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu, Joo hanya membantuku untuk melepaskan high heels sialan ini. Sungguh menyakitkan rasanya mengenakan benda ini di usia kehamilan lima bulan, sudah perut besar tetapi harus berjalan hati-hati.

Bukannya aku bebal karena tak menuruti ucapan Joo untuk menggunakan flat shoes, hanya saja dress mocca yang kukenakan saat ini sungguh tak cocok jika hanya disandingkan dengan flat shoes saja. Bukan salahku juga kan jika menginginkannya? Hanya saja, kalau tahu akan sakit begini mungkin saja aku akan berpikir ulang 'ntuk mengenakannya.

Baru kali ini aku merasa begini, sebuah perasaan dimana kalau seumpama aku menuruti ucapan suamiku maka keadaan bisa jauh lebih baik. Selepas dari ulang tahun bunda dua hari lalu, aku masih memiliki pemikiran yang sama 'apakah aku bisa mempercayai Joo seutuhnya?' begitulah. Namun, setelah malam pesta ulang tahun perusahaannya ini aku rasa …boleh.

Astrid tak datang, padahal aku sudah menyiapkan mental untuk jaga-jaga kalau seumpama gadis itu datag dan membuatku malu mala mini. Entah karena Joo dan dia sudah tak berhubungan lagi atau apa, yang jelas rasanya memang radak aneh mengingat bahwa kami … sudah tak bertemu lagi. Bisa saja sih Joo diam-diam menemuinya tanpa sepengetahuan dariku, tetapi sebagai istri sebisa mungkin aku akan berpikiran positif.

"Bagaimana, apa masih sakit? haruskah aku panggil tikus kesayanganmu itu untuk mengambilkan salep pereda rasa nyeri?" tanya Joo membuatku tertawa geli.

Joo dan Doni itu aneh, mereka benar-benar terlihat seperti tikus dan kucing. Akan tetapi saat ada masalah entah bagaimana bisa mereka berdua pun juga saling bahu-membahu memberikan bantuan, seperti halnya malam ini. Aktris yang diundang suamiku mendadak tak bisa datang karena mengalami kecelakaan. Dan Doni, dia tanpa ragu menghandle-nya, walau jika ditanya dia pasti akan menggunakan namaku sebagai alasan.

"Lumayan, tapi nggak papa deh kayaknya kalau di pakein salep. Mau aku atau kam—"

"Woy syalan!"

Aku menutup telinga karena teriakan Joo barusan. Meskipun ini memang acaranya, akan tetapi haruskah dia berbicara dengan suara yang cukup lantang begini? Aduh duh, aku benar-benar tak habis pikir dengannya saat ini. Lebih lagi Doni, mengapa dia malah mendekat hanya karena mendengarkan panggilan seperti itu. makin pusing saja kepalaku, walaupun semua orang yang menghadiri pesta justru menutup mata dan telinga seolah-olah mereka tak melihat kejadian apa-apa.

Eum … jika dipikirkan ulang ini hal bagus sih. Aku jadi tak begitu malu karena memang ini bukan sekali atau dua kali Joo juga Doni bertingkah seperti ini. Dan juga, melihat Doni yang mendekat dengan alis menukik tajam aku jelas tahu bahwa dia sedang bertanya apa tujuan Joo berteriak nggak jelas begitu.

"Ambilkan salep, kakiku—"

"Kan, ngeyelan banget bini orang. Bentar aku ambilin, tapi lain kali kalau ada apa-apa cukup telepon wa ya sayang?"

Bugh!

Joo menendang betis Doni, kalau mereka seperti ini aku kan jadi bingung harus menyalahkan siapa karena keduanya kan memang sudah sama-sama gila. Pada akhirnya aku pun memilih untuk bungkam saja, terserah lah mereka mau berbuat apa dan bagaimana yang penting saat ini suasana hatiku sedang baik. Melihat Doni yang walau menggerutu tetapi tetap melaksanakan perintah Joo entah mengapa senyum terbit begitu saja.

"Bahagia banget ya kalau lihat suami marah?" Joo berbicara dengan nada dingin.

Tapi, aku bisa memastikannya bahwa dia sama sekali tak marah. Joo hanya sedang kesal saja padaku saat ini, itu pun juga tak akan bertahan lama. Terbukti, saat Doni tiba tanpa bicara suamiku itu mengoleskan salep dengan lembut. Rasa-rasanya dia selalu saja berhasil membuatku melayang hanya karena kelakuannya ini. Bukan hendak mengelak atau bagaimana, namun … wanita mana pun juga akan luluh jika diperlakukan manis bukan?

"Mau pulang jam berapa?" tanya Joo selepas kami diam-diaman cukup lama.

Sejujurnya aku ingin menjawab terserah, namun bagaimana jika nanti Joo akan tambah marah? "Jam sebelas aja deh, aku udah nggak bisa kayak dulu lagi yang pulang dini hari," balasku kemudian.

Joo tersenyum tipis. "Hem itu pilihan yang tepat dan bagus juga, kita memang harus pulang lebih awal karena keadaannya sudah berbeda, ngomong-ngomong kamu terus minum sejak tadi. Sudah jam setengah sepuluh malam, mau makan apa, By?"

Jika boleh aku ingin mengatakan kalau sedang malas makan karena takut akan mual-mual dan menyusahkan Joo nantinya. Akan tetapi jujur saja saat ini pun aku merasa kelaparan, hiks. Maka dari itu aku pun akan menyebutkan makanan yang ada di sini, meski nanti tak bisa makan sebanyak biasanya tetapi demi anakku tetap harus dicoba. Toh hanya perlu makan bukan? Mengapa aku ribet sekali akhir-akhir ini, dasar anak nakal!

"Hem … dimsum ayam yang di sebelah sana sama kecap asin kayaknya enak. Minta itu aja boleh?" pintaku sembari memelas padanya.

Padahal jujur saja tanpa harus bertingkah laku seperti ini aku cukup tahu bahwa Joo akan mengambilkannya untukku. Lagi pula mana mungkin dia akan meminta istrinya yang sedang kesakitan 'ntuk mengambil makanan sendirian? Walau dia memang radak gila dan cukup nakal tetapi tak sampai setega itu ko—

Cup!

Aku mendelik kala Joo mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Sial! Pipiku memanas akibat ulahnya barusan, bukan apa-apa memang namun sungguh ini medebarkan sobat-! Lebih lagi selama ini dia jarang menciumku, dan saat ini Joo malah melakukannya di tempat umum?

Astaga! Sekali pun kami memang suami-istri yang sah di mata hukum tetapi Indonesia bukan Negara yang bisa menerima perilaku seperti ini dengan pikiran terbuka. Harusnya Joo bahkan jauh lebih tahu dari pada diriku, namun sepertinya memang jauh lebih nyaman jika menutup mata dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa barusan. Diam dan nikmati saja, karena tak hanya kecupan namun Joo mulai melumat bibirku.

Dia meraih tengkukku, memperdalam ciuman kami. Ah, nafasku hampir habis karena harus bertukar saliva dengannya. Tak sadar diriku bahwa dia mulai menyingkap dress yang kenakan, seketika aku pun bergegas menimpuk kepala bagian belakangnya sampai Joo meringis kesakitan. Siapa yang peduli dengan hal itu, hah!? Sudah tahu tempat umum malah berulah!

"Ini makan malam yang kamu sebutkan!?" sentakku yang Joo balas dengan tawa.

"Hem, nggak salah juga kalau istriku ini berpikir demikian, hehe," jawabnya riang membuatku geleng-geleng kepala.

"Pantas saja kamu nggak jawab waktu aku minta dimsum tadi, nakal ya sekarang?" kekehku dan Joo tertawa geli.

Jika seperti ini rasanya kami benar-benar seperti pasangan suami istri, ya?

-Bersambung ….