Chereads / Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 16 - Settingan Tuhan

Chapter 16 - Settingan Tuhan

Waktu yang berlalu secepat itu terkadang membuatku merasa kesulitan untuk bernafas. Bagaimana bisa keadaan jadi seperti ini? Mengapa aku mulai merasa lelah hanya karena berjalan beberapa langkah.

Padahal usia kandungan baru lima bulan, namun mungkin karena faktor perut yang jauh lebih buncit dari ibu-ibu lainnya aku jadi semudah itu kelelahan. Terkadang Doni harus rela begadang sendirian. Aku menyesal tak bisa membantu banyak.

Namun ya mau bagaimana lagi? Aku ingin mempertahankan anak kami, dokter menyarankan untuk tak banyak pikiran apa lagi sering begadang. Demi apapun itu aku benar-benar menyesalinya, Don. Jadi aku harap kau tak akan menaruh dendam padaku.

"Tapi mereka bilang orang yang begitu membencimu saat ini adalah mereka yang pernah mencintaimu dengan sepenuh hati," lirihku mengutarakan fakta.

Yah, kebenarannya adalah demikian. Aku takut Doni akan membenciku jika terus begini. Bahkan seperti malam ini. Klien penting besok akan meninjau hasil kerja kami selama tiga bulan. Tentunya memang aku yang mempersiapkan bahan presentasi, namun untuk mengutarakannya di depan klien bukan bagianku.

Meski kerap kali melakukannya Doni terkadang masih saja merasa gugup. Maka dari itu saat malam hari sebelum esoknya presentasi biasanya kami akan begadang bersama. Dengan aku yang meninjau bagaimana presentasi untuk esok hari.

Namun untuk kali ini meski tak ada diriku di sampingnya aku berharap bahwa laki-laki itu akan baik-baik saja. Dia bisa menyelesaikan masalah internal, jadi dengan sepenuh hati kuharap masalah eksternal dapat dia selesaikan juga.

"Maafkan aku, entah bagaimana bisa begini."

"Apanya?"

"Kyak-!" Aku berseru heboh kala Joo datang tiba-tiba.

Bukan tak mau melihat wajahnya, hanya saja dia keterlaluan sekali kali ini. Harusnya tak membuatku kaget. Bagaimana jika karena ulahnya anak kami mendadak keluar begitu saja? Astagfirullah! Dasar mulutku ini, mengapa selalu saja berbicara yang tidak-tidak sih?!

Ah, ini bukan salahku! Pokoknya yang seperti ini murni salah Joo yang terus saja berulah di depanku seperti saat ini. Huft ... menyebalkan sekali dia itu.

"Kaget banget, ya? Maaf," bisik Joo sembari mengusap-usap pelan rambutku.

Aku tersenyum tipis lantas mencubit pinggangnya membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Ahahaha, syukurin! Makanya jadi suami jangan jahat-jahat begitu sama istrinya!

"Makanya kamu jangan berulah terus, Joo!" bentakku dengan nada yang mungkin saja terdengar kalem.

Sejujurnya mana pernah aku membentaknya? Sejauh ini, selama kebersamaan kami jarang sekali aku melakukannya. Kecuali jika dia benar-benar bertingkah laku kelewat batas.

Ah, bukankah situasi kami kali ini terlihat begitu menggemaskan ya? Kami seperti pasangan suami-istri pada umumnya yang menikah atas dasar cinta.

"Maaf ayang," bisik Joo.

"Hmm," sahutku malas.

Bukan karena baik hati, tak juga keadaan kami yang membaik. Aku hanya sedang menutup mata dan bersikap layaknya manusia bodoh. Ya begitulah, Joo masih sering kali pergi dengan Astrid. Sekali dua kali aku pernah memergoki, hendak menjambak rambut wanita licik itu tapi dia berhasil membuat Joo-ku tertawa lepas.

Lantas diriku? Ahaha, hanya istri pajangan saja. Semangat yang susah payah ku pupuk menghilang tak bersisa. Astrid memiliki hati Joo sepenuhnya tak peduli jika aku mencoba untuk menggapainya dia pemilik sesungguhnya.

"Kamu udah makan?" tanyaku guna mengalihkan pikiran.

Tak mungkin jika aku terus begini, merengek-rengek padanya dan meminta Joo memberikan hatinya. Aku ... hanya perlu di sisinya. Selama dua puluh enam tahun hidup kan juga begini, jadi jangan serakah saat impianmu menjadi istrinya saja sudah terijaba.

"Belum, kamu nggak mau makan bareng sama aku? Aku aja deh yang masak, eh tapi bukannya kamu kalau buat sesuatu sekarang jadi lebih enak ya?" goda Joo sambil mengedipkan mata.

Aku tergelak. Selama berpura-pura tuna netra dan tuna rungu mungkin kehidupan pernikahan kami tak akan terserang bahaya. Kami akan baik-baik saja kedepannya. Hanya perlu memikirkan baiknya bagaimana.

"Aku paham kalau masakanku kadang keasinan atau bahkan manis bangetttt. Jadi tolong lah Joo, kamu nggak usah nyindir aku," celotehku.

Dia tertawa terbahak-bahak. "Mami kamu kalau ngambek lucu ya!"

Deg!

Tubuhku membeku saat merasa usapan pelan Joo di perutku. Dia bahkan menunduk, guna mensejajarkan wajahnya dengan perut ini. Rasanya seperti ada yang meletup-letup saat melihat bagaimana dia mengusap, mengecup hingga mengajak anak kami bicara.

"Baru jam segini, jalanan masih agak ramai. Gimana kalau kita ke depan bentar buat jalan-jalan dan nyari makan?" tawar Joo.

Aku mengangguk tanpa ragu. "Ayok! Tapi aku nggak mau ganti baju ya, pakai ini aja terus pinjem Hoodie kamu yang itu," pintaku sembari menunjuk Hoodie kumal milik Joo.

Meski memang kelihatannya sangat kumal namun saat pergi kemana-mana Joo selalu memakainya. Jadi bukankah alasan ini sudah lebih dari cukup untukku mengenakannya? Kami ... suami-istri bukan?

"Yang biru tua? Kenapa nggak merah aja, By. Lihat yang itu warna itu manis banget. Nggak begitu kedodoran kalau kamu pakai," rayu Joo.

Tapi aku sudah memantapkan hati. "Nggak mau deh, aku tuh pokoknya mau yang itu! Warna biru lebih comel dari pada merah. Anakmu yang minta."

Selama ini aku tak pernah mencoba untuk menggunakan jurus satu ini. Saat membicarakan kandungan saja aku selalu berhati-hati. Namun kali ini kan Joo sendiri lah yang memancingnya. Dia tadi ... mengajak bicara anak kami.

"Ahahaha, mamimu nyebelin, Dek. Lihat? Dia bahkan sekarang sudah berani memanfaatkanmu untuk mendapatkan sesuatu dari papi."

Benar-benar bahagia rasanya aku saat ini. Joo ... bagaimana bisa kamu membuat hatiku campur aduk seperti ini? Tak ku sangka bahwa dirimu benar-benar membuatku merasa jauh lebih baik.

"Cih, kan aku sama anakmu maunya itu. Ambilkan dong!" rengekku guna menutupi rasa gugup.

Joo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar bumil tukang perintah," ledeknya.

Meskipun demikian aku senang. Bukan hanya mengambilkan baju namun dia bahkan juga membuatku merasa lebih baik dengan membantuku memakai Hoodie ini. Setelah bertukar lelucon kami lekas pergi.

Sepanjang perjalanan Joo menggandeng tanganku. Rembulan yang bersinar terang seolah-olah sedang tersenyum dan memberikan semangat padaku. Sebelumnya kukira diriku sama halnya dengan punuk yang merindukan bulan. Namun rupanya tak demikian.

Karena pada dasarnya selagi bisa terbangun dari mimpi di siang bolong maka hal apapun bisa kita lakukan. Kedepannya aku akan bersikap lebih baik lagi. Aku akan melakukan lebih banyak hal yang bisa membuat Joo tak berpikir untuk pergi.

'Hati, untuk saat ini saja tolong jangan serakah dan cukup miliki tubuhnya. Masalah cinta walau tak mungkin kudapatkan selagi tangannya bisa aku genggam harusnya tak masalah,' lirihku memohon pada hati agar tak menuntut lebih dari ini.

Semoga aku benar-benar bisa menjadi istrinya, selamanya.

-Bersambung ....