"Ta-! Ah lo mah gini, jangan kek anak kucing njir gue nggak kuat!" ujarnya lantas buru-buru melepaskan tanganku yang melingkar di lengannya.
Kembali aku pada raut wajah tadi. Dia geleng-geleng, lantas beristighfar tak jelas. Sudah tahu tak bisa menahan keimutan wajahku namun dia justru sok-sokan ngambek begitu, dasar pria aneh ini-!
"Iya-iya, udah sana masuk aja terus mandi. Aku nggak akan marah, udah kan puas?" Meskipun dia terkesan terpaksa mengatakannya namun aku suka karena berhasil melakukannya, seperti biasa.
Tersenyum ala pepsodent lantas kulambaikan tangan saat dia pergi meninggalkan rumah angker ini. Hem, hanya ada aku dan Joo makanya jadi horor hawanya. Meski jika ada mama dan papa bisa dibilang jauh lebih horor lagi, mau mengelak seperti apapun juga kedua manusia itu pembuat onar terbaik sepanjang hidupku.
"Siapa tadi?"
Suara serak dengan penuh penekanan barusan membuatku menoleh. Joo datang dengan muka bantal dan rambut acak-acakan, rasanya aku masih tak terbiasa dengan paras tampan dan tingkah bajingannya.
"Doni," jawabku jujur.
Memangnya sejak kapan aku berbohong padanya? Ah, mungkin ada saat dimana aku berbohong, tak lain ialah rasa suka sejak SMP. Namun untuk hal yang lainnya rasa-rasanya aku tak pernah berbohong. Bagiku mendapatkan kepercayaan Joo dan menjadi gadis imut dan baik di depan matanya adalah hal utama dalam hidup.
"Ngapain lagi tu anak? Nggak cukup masuk rumah sakit dua kal—"
Joo diam, manik coklat miliknya menatap kosong ke arah pagar dengan ucapannya yang masih menggantung. Aku tahu kelanjutannya namun enggan bereaksi berlebihan karena memang tak ada gunanya. Doni juga malas saat aku membahas Joo, mereka seperti dua kutub magnet saja.
"Dia kemari bukan sama Hendri, 'kan?" tanyanya kemudian yang aku balas dengan gelengan.
"Oh," katanya lagi lantas berlalu pergi. Hanya begini, ya?
"Mau kemana?" tanyaku bak orang bodoh.
Bukankah sudah jelas alasan mengapa dia berjalan keluar bukannya masuk ke dalam kamar? Yah itu semua tak lain karena dia ingin kembali ke rumahnya. Suami istri bukan berarti kami benar-benar akan tinggal seatap selamanya. Angan-angan yang berlebihan hanya akan menambah kedengkian jika tak dapat terkabulkan.
"Ngambil baju, mau bantu?"
Eh? Aku mengerjap tak percaya mendengar jawaban darinya. Sesekali aku mengamati wajah Joo, mencari kebohongan di matanya akan tetapi yang terlihat hanya kesungguhan. Seakan-akan dia benar-benar akan tinggal denganku. Seperti layaknya pasangan suami-istri pada umumnya.
Apa dia tadi benar-benar menawarkan padaku untuk membantunya mengambil baju? Bukankah itu artinya dia akan tinggal seatap denganku? Atau … saat ini aku masih berada di alam mimpi hingga mendengar Joo menggumamkan kalimat aneh?
Entah apa ini namanya, namun sungguh aku merasa seakan-akan ada yang meletup-letup di dalam sana. Segera aku mengangguk. Tidak mungkin ini mimpi karena sebelumnya aku sempat berdebat dengan Doni. Ini benar-benar bukan mimpi! Rasanya bibirku terus saja berkedut tak tahan untuk mengukir sebuah senyuman.
"Mau tinggal sama aku, 'kan?" tanyaku riang. Rasanya bak anak kecil yang diberi permen oleh orang tuanya.
Dia mengacak-acak rambutku lantas menjawabnya dengan anggukan kepala. Makin senang diriku melihatnya bertingkah semanis itu, besar harapan ini akan bertahan lama bukan hanya sesaat saja seperti yang sebelumnya telah terjadi di antara kami.
Tiba di rumahnya kedua mertuaku menyambut hangat seakan-akan apa yang tejadi padaku dan putra mereka bukan hal yang baru. Seolah keduanya sudah menebak cepat atau lambat kami akan menikah. Mungkin ini juga alasan mengapa bahkan saat kami tak pulang seminggu mereka hanya mendiamkan saja. Bahkan satu pesan singkat tak dikirimkan untuk sekadar bertanya keadaan.
"Ta?"
Panggilan dari bunda barusan membuatku menolehkan kepala menatapnya. Wanita cantik yang kuangap seperti ibu kandungku, kasih sayang yang dia berikah lebih besar dari mama. Mungkin ini alasan aku menghormatinya meski kami tak memiliki hubungan apa-apa.
"Ya, Bun?" sahutku santai.
Joo sudah pergi ke atas, dia mungkin sekarang sedang memilah baju mana saja yang masih muat. Sejujurnya aku tak begitu yakin kalau dia akan membawa baju ke rumahku mengingat bahwa setiap hari kebiasaannya hanya mengoleksi baju-baju. Sekali pakai langsung buang.
Beda denganku yang gajinya akan ditahan oleh mama. Meski tinggal seatap dengan kedua orangtuanya Joo tetap memegang penuh kendali hidupnya serta tak ada yang berani mengusik. Manusia bersumbu pendek seperti Joo memangnya siapa yang berani mengusiknya?
"Jangan ke atas ya? Biarkan saja Joo melakukannya sendiri. Kamu lebih baik di sini aja, bunda mohon sama kamu, Ta," ujar bunda sungguh-sungguh.
Aku bisa melihatnya dengan jelas kalau bunda memang tak mau aku ke atas. Namun memang kenapa? Bukan kah sudah menjadi kebiasaan aku main kesana? Apa ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku? Jikalau iya, ekpresi Joo benar-benar baik dalam hal menipu.
Kesungguhan di matanya jelas tak akan membuat orang meragukan niat baik laki-laki itu. tetapi tingkah bunda membuatku sedikit penasaran mengenai apa yang sebetulnya terjadi.
"Kalau aku boleh tahu, memangnya kenapa bunda? Biasanya kan aku main ke kamar Joo," balasku yang enggan mengikuti permintaan mertuaku barusan.
Ayah tertawa merespon pertanyaan dariku barusan. "Duduk saja, Ta. Ayah nggak mau ada drama banting foto, sekian penjelasan ayah apa kamu paham apa maksudnya?"
Tepat saat ayah selesai mengatakannya aku bergabung dengan mereka yang duduk di sofa. Kupangku keripik kentang kesukaan bunda sambil mendengarkan tawa mereka, jelas aku yang ditertawakan. Sekarang setelah mereka menyebut kata 'foto' aku jadi tahu alasannya. Pasti di dalam sana ada banyak foto Astrid.
Menyedihkan rasanya jika benar Joo masih menyimpan foto-foto wanita lain. Tapi aku harus memakluminya bukan? Itu karena … kami menikah dadakan. Katakan saja kalau Joo belum sempat membuangnya.
"Udah ih, orang aku nggak ke atas loh," kataku malas.
"Ya makanya bunda ketawa, Ta. Lucu aja deh kamu ini, haha aduh bunda nggak nyangka kamu penurut sekarang." Itu jelas gurauan namun bagiku terdengar menyebalkan.
Merasa diejek aku menggembungkan pipi. Memakan lebih cepat dari yang tadi guna meredam baik-baik emosi yang akan meluap saat ini.
"Kalian makan malam dimana nanti?"
Eh?
Pagi tadi kami tak sarapan bersama, dan aku juga belum pernah memasak untuknya. Walau malas mengakui masakanku tak enak. Doni hampir saja keracunan karena memakan masakanku kala kami masih di Berlin dulu.
Sambil memeluk lengan bunda, aku cengengesan lantas berkata, "kalau numpang dulu nggak papa kan bunda? Kami masih pengantin baru dan aku nggak ada pelayan loh sekarang. Apa boleh kami numpang makannya sama bunda aja biar hemat?"
-Bersambung ....