Chereads / Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 11 - Haruskah Aku Percaya?

Chapter 11 - Haruskah Aku Percaya?

"Nggak," ujar Joo.

Kami saling tatap. Tapi enggan rasanya aku mengatakan sesuatu padanya. Pertanyaannya barusan benar-benar menggores hatiku terlalu dalam hingga tak yakin apakah bisa aku menyuguhkan senyum setelah ini.

Dia juga sepertinya malas mengajakku—

"Kamu mulai kerja besok aja," katanya tanpa menatapku sama sekali.

Sepertinya ini hanya sekadar angan-anganku saja, namun Joo kelihatan sedang mengalihkan pandangan. Atau dia malu saat menatapku, ya? Ah sepertinya begitu tapi tolong jangan banyak berpikir dan tunggu sejenak biarkan dia bertingkah seperti keinginan hatinya.

Tapi … jika dia terus diam seperti mana mungkin aku tahan padanya? Meski hendak mengelak juga aku bukan tipe wanita sabaran jika menyangkut masalah suasana canggung mengesalkan. Beda lagi dengan hal perasaan, dalam hal itu aku masih bisa bertahan meski harus tahun-tahunan.

"Kenapa? Apa alasannya, aku nggak akan patuh kalau—"

"Kamu hamil, Ta. Bisa nggak sih nurut sama suami? Jangan ngaco ngajak pisah juga aku cuman tanya. Kamu jauh lebih tahu alasannya, jadi anak broken home menyenangkan ya sampai ngajak pisah?" potong Joo dengan nada tinggi.

Aku tertawa hingga rasanya sudut mataku berair. "Nggak usah sok bijak, jangan jadiin aku pelaku saat dirimu sendiri juga salah. Sejak semalam, kamu dari mana aja?!"

Dia mendengus lantas memalingkan muka ke arah jok belakang. Entah apa yang dia ambil dari belakang hingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Kesal begini dengan bodohnya aku tetap menunggu Joo mengatakan sesuatu padaku lagi dari pada saling bermusuhan seperti ini.

"Nih," ujar Joo sambil menyerahkan totebag padaku.

Tak ada alasan untuk menolaknya. Aku pun menerimanya walau merasa sedikit enggan.

Dia yang tersenyum tipis kelihatan begitu manis. Entah mungkin efek bayi atau apa namun rasa-rasanya aku ingin terus menempel padanya. Berpisah pun enggan. Tapi, mana bisa aku bersikap konyol saat sedang pura-pura merajuk padanya?

Ah sudahlah. Tak ada gunanya mendumel seperti ini. Aku harus bisa menyadarkan diri akan posisi rumit saat ini. Menyerah di awal bukan hal yang buruk juga kok, maka dari itu lebih banyak lah tersenyum seakan semua ini memang bukan apa-apa.

Kubuka tote bag darinya. Samar-samar aku mencoba mengingat sesuatu. Ah, dua bulan lalu ya?

"Aku minta ini dua bulan lalu. Bisa nggak sih Joo kalau aku minta sesuatu kamu langsung beliin aja? Kenapa harus nunggu aku ngambek dulu?!" kataku yang merasa kesal padanya. Padahal tadi sudah ada niatan untuk memaafkannya meski sedikit saja.

Uh, sungguh dia ini menyebalkan sekali. Bisa-bisanya dia bersikap seperti ini padaku? Ah, aku tak tahu lagi harus mengatakan apa padanya agar dia bisa lebih sadar. Tak perlu masalah hati setidaknya jika aku meminta hal sepele bisakah dia menuruti tanpa pikir panjang lagi?

"Maaf, By. Bukan aku nggak mau, tapi lupa," katanya yang kelihatan tulus.

Namun kenyataannya? Jelas tidak. Mana mungkin Joo mengatakan sesuatu dengan serius dan tulus padaku. Dia kan hanya suka bermain-main saja. Tak hanya itu, meski dia pandai mencari uang akan tetapi Joo jauh lebih hebat dalam hal acting semacam ini. Dialah jagonya bahkan mungkin jika debut maka tak butuh waktu lama hingga khalayak umum mengenalnya dengan lebih baik.

"Serah deh," balasku dengan hati dongkol.

"Pulang ya?" tawarnya lagi, seharusnya ini paksaan. Hanya saja aku memang tak akan bisa berpisah darinya untuk waktu yang lama.

Tiap kali Joo berbuat baik, aku selalu saja merasa ketakutan. Dia bukan Joo yang biasanya. Saat dia berbuat baik pasti akan ada sesuatu yang terjadi. Entah apa itu yang jelas 'suamiku' ini sudah pasti menyembunyikan sesuatu. Sialnya aku bukanlah anak indihome dimana bisa membaca isi hatinya dengan mudah.

Mengapa bisa aku seyakin ini? Karena yang beginian bukan kali pertama Joo lakukan. Sejak dulu pun dia begini, setelah membuatku melayang dia agak menjatuhkanku. Terkadang demi bisa bersamanya sesaat dengan tawa, kubiarkan sayap ini patah begitu saja. Lalu ada suatu masa dimana ketika bosan melandanya sayapku tak hanya patah, namun dia lepaskan.

Joo itu baik saat ada maunya saja. Sebagai seseorang yang mencintainya diam-diam selama ini, walau mulutku terus mengatakan tidak tapi aku ingin menetap. Hanya dia, aku maunya cuman dia. Tidak bisa yang lainnya, untuk beberapa waktu lalu sebelum dia datang ke kamarku dengan pengaruh tinggi vodka dan mengacaukan semuanya.

Bodoh ya? Memang, haha.

"Iya," balasku singkat.

"Nanti aku masak ya, By. Kamu udah lama nggak makan masakan aku, 'kan?" bujuk Joo dan dia masih sempa-sempatnya mengusap lembut rambutku.

Kontras sekali ya? Siapa yang sepuluh menit lalu bertanya aku tengah hamil anak siapa namun sekarang dia justru bersikap seolah yang tadi bukan apa-apa. Tak ada yang perlu dipikirkan, kedepannya hidup akan serumit ini hingga menutup mata adalah solusi terhebat yang aku buat.

Sekali lagi, dia memang begitu. Mood-nya gampang berubah, pikirannya sulit ditebak, tingkah lakunya pun aneh. Setelah ku pikirkan lagi, mungkin ini alasan Astrid tak mau menerimanya. Tapi bukankah Joo cukup kaya? Harusnya untuk sosok wanita semacam Astrid uang lebih dari segalanya bukan?

Tapi baguslah, dengan begitu dia hanya milikku. Sekarang Joo suamiku, maka dari itu jika ada gadis lain yang berpotensi merusak hubungan kami aku harus menyingkirkannya segera saja lantas setelahnya selesai sudah masalah yang ada. Tak perlu risau, selama masih ada Doni paling tidak aku masih sanggup membayar pembunuh bayaran.

"Mau mangga muda, nggak?" Joo benar-benar pandai merayu, ya?

"Nggak," balasku.

"Kalau dia lahir, boleh tes DNA?"

Lagi-lagi cara pikirnya membuatku ingin menjambak rambut klimis itu. TERSERAH! RASA SABAR MANUSIA ITU ADA BATASNYA JUGA ANJIR!

Astagfirullah, sikap childisnya ini kapan hilang sih? Aku benar-benar tak tahan. Namun enggan meninggalkan. Cita-citaku bersamanya hingga tua. Jadi mana bisa aku melepasnya? Dia bahka meragukan anak ini, apa Joo kira aku memang benar-benar kenari malam hingga melakukan hal seperti itu dengan laki-laki manapun yang dijumpai?

"Hem," balasku singkat.

"By, kalau dia bukan anak aku buang aja ya?"

Plak!

Kutabok lengannya. Bukan kesakitan dia malah cengengesan. Jika responnya seperti ini aku jadi merasa bahwa sepertinya kami kembali ke hari-hari sebelumnya. Sebagai seorang sahabat yang memang kerap kali membagi tawa dan cerita, meski terkadang aku lebih banyak mengeluh dan menangis dalam pelukannya. Bisa jadi alasan terbesar mengapa aku ingin disampingnya ialah karena kami telah bergandengan tangan sejak lama.

"Canda, By. Aku nggak tega kali sama dia. Tapi capek aja kalau ngurus anak nantinya. Kamu harus kerja juga, 'kan? Aku nggak mau dia diasuh sama baby sitter, itu sama aja kayak dia nggak punya orang tua," tutur Joo. Dia bersikap seolah-olah bisa menerima bayi kami dengan baik ya saat ini?

-Bersambung ....