Jelas saja, kembali aku ditertawakan. Mending begini dari pada Joo akan keracunan nanti.
Ah, menyebalkan sekali. Atau apa aku satu-satunya istri yang tak bisa memasak? Tidak begini, 'kan? Di luar sana pasti ada banyak wanita yang tak bisa memasak sama seperti diriku ini. Makanya ayo positif thinking karena mertuaku juga tak akan keberatan.
'Setidaknya aku harus bersyuku karena memiliki mertua yang sebaik ini.'
***
"Mau kemana lagi?" tanyaku pada Joo.
Padahal kami baru saja selesai makan malam dan dia menaruh baju-bajunya di kamarku- em maksudku kamar kami. Tapi sekarang dia sudah berniat mau pergi lagi ya? Ah menyebalkan sekali. Andai aku berani merantai tangannya dan mengikatnya di ranjang mungkin keadaan bisa jauh lebih baik.
Dia yang hanya mengangkat bahu membuatku ingin menjambak rambutnya. Lagi-lagi itu hanya wacana yang tak akan terlaksana.
"Hati-hati," tambahku dengan nada pasrah. Dia tak akan menjawab meski ribuan kali diriku bertanya, maka dari itu lebih baik relakan saja untuk malam ini.
Lebih dari itu rasa-rasanya tak berguna juga jika aku mau melarangnya. Dia kan memang bebas, toh kami tak punya hak membatasi kehidupan satu sama lain bahkan setelah menikah bukan? Ada yang namanya kehidupan privasi. Lebih baik tak melewati batas ini.
Melihat Joo yang melenggang pergi begitu saja membuatku hatiku bergemuruh. Lagi-lagi dia seperti itu. Ah sudahlah, ini sudah larut malam lebih baik aku tidur ketimbang harus memikirkan akan kemana dia.
Tapi kenyataannya ... AKU TAK BISA TIDUR!
Dengan wajah kesal aku keluar kamar. Mendial nomor Doni, menunggu beberapa saat hingga bocah itu mengangkat panggilan dariku. Jika dia tak mau mengangkatnya maka lebih baik langsung datang ke rumahnya saja. Dia masih lajang seharusnya tak akan ada yang melarang.
["Hem? Ngapain sih bini orang malem-malem telepon?"]
Belum sempat aku membuka percakapan, dia lebih dulu menyela. Aish dasar bocah sialan, dia itu menyebalkan sekali, huh! Tapi hanya dia satu-satunya yang bisa mmebuatku tak lagi merasa bosan seperti saat ini.
"Heh kamu sudah tidur? Main yuk, Don. Sorry ngilang terus, main yak?" ajakku padanya dengan suara memelas.
["Ogah! Malam-malam ngapain main sih anjir. Udah pegel-pegel ini badan, mau remuk malahan, lo sebagai temen mau menambah beban hidup gue?!"] sungut Doni. Meski hanya terdengar suaranya saja namun aku sangat yakin kalau dia memang benar-benar marah.
Uh aku takut sekali haha. Bercanda, mana mungkin aku takut pada kunyuk ini? Lagian dia habis ngapain coba. Tak mungkin bekerja seharian bisa membuatnya kelelahan. Lebih lagi karyawan kami tak hanya ada satu atau dua saja, dan bukankah hanya dia yang memiliki asisten di kantor saat ini?
Padahal saat aku sedang bertengkar dengan Joo, dulu sebelum menikah, dia juga bisa mengurus semuanya. Lalu mengapa baru sekarang mengeluhkan tugas dan kewajibannya ini?
"Main bentar lah, Don," pintaku lagi.
Terdengar hembusan nafas dari seberang sana. Dia jelas malas meladeni diriku ini, namun di rumah sendirian padahal masih 'pengantin baru' jauh lebih menyeramkan ketimbang marahnya Doni.
["Di rumah gue?"]
"Gas!" seruku bersemangat.
Gegas aku mematikan sambungan. Malas bawa mobil sendiri alhasil aku lebih memilih menggunakan taksi. Jarang rumah kami agak jauh, namun tak sampai memakan waktu satu jam kok. Jadi aku bisa bolak-balik sesuka hati. Sesungguhnya Doni rumahnya tak disitu, sebelumnya dia satu atap dengan Hendri namun entah karena alasan apa si sialan ini menabung dan membeli rumah sendiri.
Tiba di depan kawasan perumahannya, tanpa pemberitahuan aku masuk. Sandi pintu unit aparteen in sudah kuhapal sejak lama. Kami teman, 'kan? Mengetahui ukuran CD masing-masing saja bukan hal yang mengejutkan apa lagi jika hanya sandi begini.
"Njir ketuk pintu dulu kek, kebiasaan!" seru Doni saat melihatku masuk.
"Kamu masak?" tanyaku mengabaikan seruan barusan.
"Bukannya kalau mau main biasanya lo belum makan? Jangan bilang Joo merawat istrinya ini dengan baik?" tanya Doni dengan ekpresi jijiknya.
Aku terbahak-bahak lantas melemparkan diri ke sofa. Eum nggak juga menurutku, walau Joo tak menampar atau melakukan kekerasan fisik namun dia juga nggak memperlakukanku dengan baik. Hidupku sekarang jauh lebih semu ketimbang sebelumnya.
Lebih lagi kali ini tebakannya salah besar. Aku tak datang kemari dalam keadaan kelaparan alias sudah makan malam sebelumnya. Harusnya Doni tak perlu repot-repot tapi mencium bau masakannya perutku berseru lapar lagi. Apa mungkin ini karena bayi?
"Udah makan di rumah mertua, tapi karena jaga image aku nggak nambah," kataku jujur. Jujur bahwa mulai merasa lapar lagi, hehe.
Ekpresi jijik Doni mendadak berubah jadi tawa renyah. Aish, sudah kuduga dia itu memang gila! Mana ada orang yang bahagia saat sahabatnya menderita? Meski aku tak sebegitu menderita. Tawa Doni berhasil membuat mood baikku kembali lagi.
"Bagus lah, lo biar sadar diri kalau dia emang berandalan. Lagian baka banget sih lo, kalaupun mau serahin diri seenggaknya pakai pengaman."
Plak!
Aku berdiri secepat kilat lantas menampar pipi Doni. "Kecelakaan, Sat!" makiku yang dia balas dengan tawa.
Walaupun bertingkah imut adalah kewajiban tapi karena tinggal di Negara liberal aku terbiasa mengumpat entah dengan bahasa apa. Umpatan seolah telah menjadi makanan sehari-hari untuk kami di masa lalu maupun saat ini.
"Makan gih, abis ini main nggak usah pulang!"
Memang biasanya aku tak pulang. Hanya ini satu-satunya tempat dimana aku bisa merasakan kebebasan. Saat mama atau papa sedang murka, atau ketika mereka ketahuan selingkuh satu sama lainnya apartemen Doni tempat yang akan aku tuju. Dua-duanya memang begitu munafik. Sejauh ini mereka bertahan agar aset yang aku miliki tak terbagi-bagi.
Untuk Doni … kami biasa membagi tempat. Ya aku tahu memang ada kemungkinan laki-laki ini jatuh hati padaku. Ah, bukan kemungkinan lagi. Dia pernah melamarku saat tahu kalau aku hamil. Namun kala itu pilihanku jatuh pada Hendri. Di mataku Doni hanya merasa kasihan dan sebagai sahabat aku tak mau terus menjadi beban.
Apa hubungan kami merenggang? Sesaat iya, namun sekarang sudah tak canggung. Kami kembali pada titik semula tanpa adanya penjelasan dan kejelasan. Bukan aku saja yang menginginkannya namun Doni juga.
"Aku pakai kamar utama ya," pintaku padanya sambil menikmati ramyeon yang dia buatkan.
Tak sehat? Bodo amat. Lagian saat kami benar-benar dikejar deadline pernah makan mie ini selama tiga hari berturut-turut dan berakhir tumbang. Jika diingat kembali aku ingin menertawakannya, Doni yang pertama tumbang karena kami tak tidur selama 72 jam mana makanan utama hanya mie dan penghantar pun segelas kopi. Meski saat ini tak akan seperti itu lagi.
-Bersambung ....