Reyna masih terjaga dari tidurnya, dia merasa gelisah mengingat bahunya yang di sentuh oleh makhluk yang Reyna yakini hantu pemilik rumah tua itu. Reyna tidak pernah sekalipun melihat sesosok yang dia sendiri tidak ingin melihatnya secara langsung. Reyna penakut, walau dia sendiri penyuka film genre horror.
Aneh memang.
Angin semilir mengayunkan gorden yang diam tenang. Reyna melirik terkejut, tenggorokannya terasa kering, dia susah payah menelan ludahnya. Malam yang begitu mencekam, Reyna baru pertama kali merasakan merinding. Cewek itu menahan napas, dia terlalu parno sendiri karena terus mengingat kejadiannya saat di rumah tua sore tadi.
Keadaan rumahnya sunyi sepi, mengingat sudah pukul satu dini hari pasti kedua orangtuanya juga sudah terlelap. Reyna menjadi takut tidur sendiri, dia memeluk lututnya erat.
Jendela yang sedikit terbuka tertutup rapat oleh dorongan angin yang kencang, Reyna tersentak. Namun setelahnya dia tidak bisa lagi menahan kantuk, matanya terlalu berat untuk terus melek. Reyna membaringkan tubuhnya, sungguh dia ingin tidur nyenyak dan melupakan kejadian yang sempat meresahkannya.
Paginya, Reyna terbangun karena ada suara ketukan dari pintu kamarnya. Dia menggeliat, tangannya mengucek kedua mata.
"Reyna, kamu belum bangun?" suara Dini berseru, Reyna beringsut duduk mengumpulkan nyawa.
Dini mendorong pintu itu, dia menatap Reyna yang masih memejamkan matanya sambil terduduk. Mama Reyna berjalan membuka gorden yang masih tertutup, mentari pagi yang lumayan cerah masuk menelusuri seisi ruangan kamar.
Reyna mengucek matanya lagi, dia melihat Dini yang duduk di sisi ranjangnnya.
"Ayo, mandi. Kamu hari ini masih kerja, kan?" ucapnya.
Reyna mengangguk lemas, dia masih merasa ngantuk. Tidur malamnya terganggu karena angin yang selalu mengejutkannya.
"Mama buat sarapan, kamu mandi, ya." Lanjut Dini yang berdiri dan berjalan keluar.
Dengan malas, Reyna menyibak selimutnya dan bergegas untuk mandi, takut terlambat bekerja juga.
Lagi-lagi Reyna mendengar lontaran pedas dari tetangganya yang sedang membeli sayur—mayur dari tukang sayur dorong.
"Reyna sok-sok kerja, padahal dia anaknya pemalas." Kata Ibu yang mengambil cabai ijo.
Ibu di sampingnya menimpal, "Kalo anak jaman sekarang namainnya itu, pansos."
Mereka tidak tahu kalau Reyna sudah berada di belakangnya.
Ibu ketiga menyahut bingung, "Pansos itu apa?"
Ibu-ibu tukang rumpi saling melirik, bertanya satu sama lain.
Reyna berjalan pelan mendekat, lalu menjawab, "Kalau gatau artinya mending diem aja! Dasar ibu-ibu kudet." Dia langsung pergi dengan langkah cepat. Ibu-ibu itu mendumal dan mengumpat, tapi, mereka juga tidak tahu kepanjangan—kudet.
Reyna cemberut sepanjang jalan, hari-harinya selalu saja di bicarakan. Memangnya apa yang salah dari diri Reyna? Apa Reyna pernah membuat ibu-ibu itu kesusahan? Atau di buat jengkel oleh Reyna?
Cewek itu sama sekali tidak pernah membuat susah orang lain, mungkin saja mereka..iri.
Reyna tidak peduli lagi, harusnya dia lebih semangat untuk bekerja hari ini.
Cewek itu tersenyum saat dia melihat Citra yang saat ini di tempat kasir.
"Halo, Reyna." Sapanya.
"Halo juga, Kak. Semangat banget hari ini." Komentar Reyna.
Citra mengulas senyum manis, "Tiap hari bukannya semangat, ya?" ucapnya membenarkan.
Reyna tertawa kecil, "Hehe, iya deh yang selalu semangat."
Citra menggeleng dua kali, Reyna pasti selalu membuat Citra gemas. Cewek itu mengelap meja yang dirasanya ada debu, Citra memang rajin. Berbanding terbalik dengan Reyna, yang terlalu malas untuk melakukannya.
"Kak, aku pamit ke belakang 'ya, tadi ada yang pesan roti buat acara pengajian katanya." Ucap Reyna.
Citra mengangguk, "Oke, kamu juga semangat, ya. Kalo banyak banget kamu minta bantuan Reno aja." Jawab Citra.
Reyna melenggang pergi setelah jempolnya terapung.
Bantuan Reno, ya?
Kakak senior di kerjaannya itu pasti akan terus mengumpat, Reyna juga pasti akan menjadi bahan pembicaraan, dikira cewek itu manja atau tidak bisa berkeja.
Sudah cukup dengan tetangganya yang bermulut pedas yang setiap hari harus Reyna dengar, jangan sampai dia di bicarakan tidak mampu lagi oleh pegawai seniornya disana. Reyna harus mandiri.
>>>>>
Musim hujan memang tidak bisa di pungkiri lagi, semua orang berlalu lalang mencari perlindungan agar tidak terkena guyuran air. Sialnya tidak ada tempat lagi untuk Reyna berteduh, satu-satunya tempat hanyalah yang kemarin dia simpangi. Rumah tua di pinggiran kota yang padat. Reyna dengan terpaksa melangkah kesana. Wajahnya menegang tanda dia masih ketakutan, tapi mau bagaimana lagi, daripada nanti Reyna demam terkena air hujan.
Tangannya memeluk bahu sambil di usap, Reyna mengulum bibir sambil memerhatikan hujan yang lumayan deras.
Tiba-tiba Reyna teringat Kakak kelasnya yang bernama, Mario.
Cowok yang kemarin menyapanya di toko.
Reyna tersenyum malu, pipinya merona saat otaknya terputar wajah Mario saat cowok itu masih berada di halaman sekolahannya dulu. Wajahnya terasa panas sekali, Reyna tersadar saat kakinya tak sengaja bergeser dan menemukan botol minuman yang masih di segel.
"Punya siapa, nih?" gumam Reyna sambil menimang botor air mineral itu.
"Itu punya saya."
Reyna melotot terkejut. Siapa yang bicara? Di depannya tidak ada siapapun, kecuali dari arah belakang yang Reyna belum menolehkan kepalanya.
"Bisakah kamu kembalikan?"
Reyna dengan tangan bergetar menyodorkan ke arah sampingnya tanpa melirik.
"Saya ada di belakang kamu, bukan di samping kamu."
Dengan susah payah Reyna menelan ludah, dia berbalik dengan tubuh yang tremor abis, keringat dingin mulai bercucuran, mata Reyna tertutup masih khawatir jikalau itu bukanlah…. "Kamu takut sama orang ganteng macem aku?"
Reyna tersentak. Seluruh tubuhnya menegang. Apa dia bertemu dengan hantu yang percaya diri? Atau sok kegantengan padahal wajahnya hancur.
"Kamu buka mata kamu, lihat kaki aku."
Ucapan tegas itu membuat kepala Reyna menunduk, membuka matanya pelan-pelan.
Kaki dengan alas mickey mouse membuat Reyna melotot. Kepala Reyna tersentak menatap seorang lelaki yang lebih tinggi darinya ada di depan.
Alis itu di naik turunkan, membuat Reyna tersenyum gugup.
"Kamu pikir aku hantu?" bibir itu di mainkan ke kiri ke kanan. Reyna merasa salah paham, tapi dia juga masih merasa takut.
"Sini minuman aku."
Botol itu masih di tangan Reyna, cewek itu berucap, "Maaf."
"Lain kali kalo mau cari tempat berteduh bilang, jangan pikir runah ini terlihat kumuh terus ga ada pemiliknya."
Lelaki itu marah, Reyna sedikit menunduk dia sama sekali tidak ingin bermaksud lain.
"Maaf, saya cuma…parno." ucap Reyna tak enak.
Helaan napas terdengar halus, "Aku yang pegang pundak kamu kemarin, niatnya mau nawarin masuk, tapi malah pergi tanpa pamit."
Laki-laki itu masuk kedalam tanpa membalas ucapan Reyna lagi. Apakah Reyna sudah membuat lelaki itu tersinggung?
Jika sudah begitu memangnya mau menyalahkan siapa?
Hujan?
Keadaan?
Entahlah Reyna bingung, mungkin itu kesalahannya karena takut terlalu menggerogoti keberaniannya.
Reyna sendiri juga masih bingung tentang sosok lelaki itu.
Dia itu manusia biasa sepertinya atau.., hantu penunggu rumah yang menyamar?