Reyna mengerutkan alisnya bingung. Dia sedang di suapi bubur oleh sang Mama.
"Kak Citra, Kak Cipto." Sapanya.
Dua orang itu tersenyum dan menghampiri Reyna. Wajah Citra sudah panik dan semakin cemas saat melihat luka yang di perban.
"Reyna, kamu kenapa bisa jadi seperti ini?" Citra langsung saja menyambar, padahal Dini sudah menatap bingung dua orang yang tidak di kenalnya.
"Maaf, tante. Teman saya asal nyerobot aja. Kita teman kerja, Reyna. Nama saya, Cipto." Cowok itu tidak enak saat tatapannya bertemu Dini. Citra memang membuat malu saja.
"Iya, Ma. Mereka senior di tempat kerja, Reyna." Reyna ikut menjelaskan.
"Reyna, aku tadi malem sampe ke rumah kamu. Tapi ternyata ga ada satu orang pun di sana, makanya kita ijin sebentar ke sini untuk menjenguk kamu." Ujar Citra tidak memperdulikan Cipto yang kini menyenggol lengannya pelan.
"Dahi kamu kenapa di perban? Kamu juga ga ada kabar dua hari kemarin, sebenarnya kemana? Kita semua khawatir banget." Citra memang tidak main-main dengan kecemasannya sejak Reyna menghilang tidak ada kabar. Dia yang paling sibuk memikirkan bagaimana keadaan salah satu juniornya itu.
"Saat saya pulang dari butik, dia sudah terbaring di depan pintu. Saya juga tidak tahu kenapa dan siapa pelaku yang sudah melakukan itu pada anak saya." Dini menerangkan terjadinya Reyna kemarin. Tangannya menyimpan mangkuk bubur yang tadi sempat di makan beberapa suap untuk puterinya.
"Maaf, tante. Saya jadi tidak sopan." Citra kini menatap Dini, dia meringis pelan, "Saya, Citra. Reyna, sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri. Maaf sekali tadi saya tidak sopan karena tidak mengetuk pintu lebih dulu."
Dini tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Saya pikir tadi kalian mau apa. Soalnya tergesa banget."
"Tapi bagaimana keadaannya, tante? Reyna, baik-baik saja 'kan?" Citra bertanya memastikan.
Dini sedikit ragu untuk menjawab, pasalnya dia maupun Bas belum mengerti dengan perkataan dokter kemarin pada mereka berdua.
"Reyna, baik. Dokter bilang tidak ada yang serius dari luka di dahinya."
Citra bernapas lega. Setidaknya tidak ada yang perlu di buat cemas lagi, Reyna sudah mendapatkan pertolongan. Ternyata pikiran buruk itu memang benar, namun Citra bersyukur karena saat ini dia sudah bisa bertemu dan melihat keadaan Reyna.
"Tapi, siapa yang kasih tau kalian?"
Cipto segera menjawab dengan lantang, "Kayaknya tetangga kamu, Reyna. Soalnya belum jauh dari pekarangan rumah kamu aku hampir aja nabrak orang."
Dini menautkan alis. "Walau rumah kami di perkomplekan, tetapi mereka tidak pernah peduli pada anak saya. Apalagi ingin ikut campur masalah kami, jadi ga akan mungkin ada yang peduli atau tahu anak saya di rawat."
Cipto merasa bingung. Citra hanya melirik Cipto yang kini mengusap leher belakangnya.
"Emang cirinya gimana, Kak?" Tanya Reyna yang penasaran.
"Anak lelaki yang kayaknya seumuran kamu. Wajahnya ga terlalu putih juga, tapi bersih. Muka dia pucet, sih." Jelas Citra.
Reyna dan Dini saling menoleh pada Cipto yang sekarang mulai ketakutan.
Kenapa dia menjadi sorotan mata anak dan Ibu itu?, Pikirnya.
"Ma."
"Tapi ..., sepertinya orang itu bukan tetangga kami."
"Terus kenapa dia tahu, ya?"
"Padahal saya sama sekali ga bilang apapun kalau sedang mencari orang atau tanya keberadaan, Reyna. Anak itu yang langsung memberitahunya."
******
Cipto bergidik ngeri. Pikirannya berkecamuk memikirkan makhluk apa yang sudah di temuinya malam kemarin. Kenapa dia menjadi parnoan? Padahal mungkin saja orang tersebut hanya sekedar ingin lewat dan mengenal keluarga Reyna atau sekedar tahu rumahnya juga. Bukankah tidak semua orang harus mengenal satu sama lain? Bahkan Cipto juga mengetahui bagaimana ada orang yang hanya mengenal tanpa orang yang di kenal juga mengetahui keberadannya.
Tidak perlu di buat takut, bukan? Citra saja tidak sampai berpikir jika itu adalah .., hantu?
"Kenapa lo?" Reno melihat raut Cipto yang seperti sedang di awasi. Dia sengaja bertanya karena memang tidak ingin jika satu teman kerjanya sampai tidak fokus bekerja.
"Gue masih kebayangan hal mistis kemaren." Curhat Cipto yang membuat Reno tersenyum miring.
Si halu, pikirnya.
Cipto memang seringkali di panggil cowok halu. Bukan sekali dua kali dia selalu bilang kalau penyanyi tersohor akan menjadi istrinya kelak. Jelas mengundang tawa selain menjadi bahan julid. Cipto tidak pernah mempersalahkan hal itu, bahkan cibiran apapun Cipto anggap itu hanya candaan semata. Baginya sebuah kehaluannya itu cukup bisa menghibur selama dia hidup. Cipto juga tahu diri sebenarnya.
"Lo ga tau, sih! Ga usah senyum, tambah merinding gue liatnya."sarkas Cipto.
Reno menggeleng heran, rasanya Cipto semakin aneh saja di pandangannya.
"Lo liat setan emang? Sampe keliatan parno gitu." Walau Reno terkesan cuek dan galak, tetapi dia masih bisa berbaur dengan sesama cowok. Walau juga hanya dengan Cipto dia bisa berbicara seperti saat ini.
Terkadang Reno seringkali mendapat isue dan rumor dari para rumpi, kalau dirinya tidakk normal. Banyak yang bilang jika Reno menyukai sesama jenis, atau gay. Selama ini Reno memang tidak pernah dekat dengan lawan jenis, paling hanya menyuruh untuk bekerja di lain tempat di sana, tidak lebih dari berbincang apalagi sampai membuang waktunya.
"Hooh! Gue kemaren itu niatnya mau bantu si, Citra. Itu cewek khawatir banget ampe pulang aja harus cari juniornya yang kaga ada kabar." Cipto serius bercerita, menjeda kerjaannya yang harus menata roti-roti baru di kotak besar.
Reno sedikit tertarik mendengarkan. Dia sudah tahu siapa yang Cipto maksudkan juniornya. Sudah pasti Reyna yang begitu Citra khawatirkan. Lagipula Reno sendiri yang memberikan alamat rumah Reyna, jadi dia tidak perlu untuk bertanya kembali.
"Lo tau? Waktu ke rumah si junior emang sepi banget ga ada orang pokonya di sana. Rumah-rumah di sekitarnya juga pada sepi, kaga ada yang masih di luaran. Nah, udah deh gue ajak si, Citra, buat pulang duluan aja. Awalnya dia nolak, tapi pas itu gue lirik jam tangan udah hampir jam sebelas malem. Dia akhirnya mau pulang." Cipto benar-benar cerita bagimana kronologisnya. Namun Reno sempat bingung, di mana letak seram atau kejadian yang bisa membuat Cipto parno?
"Mana waktu itu jalanan juga mendadak horror. Gue udah kayak lagi main syuting film setan, tau!?" Cipto sudah gemas sendiri, padahal Reno tidak mendapati kesan seram di dalamnya.
"Jadi?"
"Oh, iya!" Cipto mengangetkan. Dia menatap Reno dengan mata melotot. "Ini yang paling terngiang sampai sekarang."
Reno menghela napas sebelum kembali mendengarkan hal yang buruk sekali menurutnya. Mana ada jalanan sepi menjadikan takut dan jadi trauma? Bahkan Reno sejak masuk kerja di sana saja sudah terbiasa pulang dengan keadaan jalan sangat sepi, nyaris tidak ada kendaraan lain selain dia yang menyetir motor sendirian tanpa tumpangan juga.
"Nyokap si junior bilang kalo dia ga punya tetangga orang yang sebelumnya gue hampir tabrak! Orang itu yang ngasih tau gue sama, Citra, kalo junior itu ada di rumah sakit terdekat dari sana. Pas inget ucapan nyokapnya sama muka orang itu pucet banget, mungkin bener itu namanya.., makhluk halus!!?"