Hari ini Reyna di bolehkan untuk pulang, keadaannya mulai membaik. Dini dan Bas sudah bersiap untuk membawanya pulang, namun Reyna terlihat masih duduk di atas ranjang pasien.
"Sayang, ayok kita pulang. Semua barang kamu sudah di rapihkan, tidak ada yang tertinggal 'kan?" Bas bersuara, dia bertanya menatap Reyna.
"Kaki, Reyna..., ga bisa lama berdiri, Pa." jawabnya lirih.
Bas tersenyum kecil, "Papa, bawa kursi roda kalau begitu."
Reyna hanya mengangguk.
"Itu akibat kamu makan sedikit." Dini menyambar, menatap Reyna sinis.
Anak itu hanya tersenyum kecut. Dini selalu memaksa untuk terus menghabiskan bubur dari rumah sakit tersebut, namun anak itu hanya memakannya sedikit lebih tersisa banyak di banding masuk ke dalam mulut Reyna. Walau begitu Dini merasa lega, setidaknya Reyna ada sedikit masuk makanan dari pada tidak sama sekali.
"Mama, ngomel terus. Reyna, masih sakit tau." Dia cemberut, sedikit membuat Bas tertawa kecil.
"Reyna. Mama, kamu ada benarnya juga. Setelah pulang nanti, kamu harus makan banyak pokoknya. Mama, melakukan itu karena sayang banget sama kamu, nak." Bas sama saja, Reyna tidak suka dengan omelan hanya karena makannya yang lebih sedikit dari biasanya.
"Reyna, mau pizza." rengeknya.
"Kita pulang dulu saja. Mama, akan masak sayur untuk kamu, jangan dulu makanan dari luar." Dini memang tidak pernah membiarkan Reyna untuk terus di manja, sesekali Dini menegur dan memeringati anak itu agar tidak selalu memesan junkfood.
Terlihat wajah Reyna yang mulai di tekuk, dia tidak begitu menyukai sayuran. Reyna mulai muak dengan sakitnya. Kenapa ada orang yang ingin membuat Reyna sengsara seperti saat ini? Di temukan dengan bubur dan akan di masakkan sayur? Oh tidak! Orang itu akan Reyna tinju dengan jurusnya jika bertemu nanti.
"Terserah deh."
Selang beberapa waktu meninggalkan rumah sakit, Reyna berada di dalam mobil tepat di belakang sang Mama. Dia senang juga karena bisa melihat dunia luar lagi setelah beberapa hari di dalam ruangan yang membosankan. Reyna seketika ingat tempat kerjanya. Dia merindukan suasana yang ramai di kunjungi pelanggan. Reyna juga merindukan seniornya, Citra. Bagaimana kabar Citra? Reyna ingin sekali mengebari jika dia sudah kembali ke rumahnya.
"Pa, apa boleh mampir ke tempat kerja dulu? Reyna, ingin membeli roti juga sekalian bertemu, Bos."
Bas sedang bergulat dengan pikirannya, antara mengijinkan atau tidak. Bagimana pun juga Reyna masih sakit. Bagaimana jika Bos Reyna memarahi karena tidak ada alasan masuk selama hari-hari kemarin? Bagaimana kalau kepala Reyna tiba-tiba sakit dan pusing? Apa Bas bisa memberi jawaban kalau Reyna baru saja pulang dari rumah sakit dan belum sempat ke rumahnya. Bos itu apa akan percaya?
"Pa. Reyna, mohon banget." pinta Reyna memohon menatap sang Papa.
Bas menghela napas. "Oke, tapi hanya sebentar."
Reyna mengulas senyum, tubuhnya mencondong untuk mencium pipi kiri Bas. "Makasih, Papa."
****
Citra memandang seseorang yang baru saja melewatinya dengan sedikit menunduk. Kenapa rasanya begitu aneh?
Sejak kapan Reno terlihat gugup jika tidak sengaja menatap Citra? Padahal Citra tidak pernah bilang apapun yang membuat cowok itu menjadi berubah. Rasanya sangat aneh. Reno malu, begitu? Memangnya apa yang membuat cowok itu malu? Atau Citra yang hari ini terlihat menakutkan? Makannya Reno jadi menuduk walau tidak begitu nunduk.
"Aneh banget," gumam Citra sambil melihat kemasan roti di tangan kanannya.
Cipto menghampiri Citra dengan senyuman merekahnya, seperti biasanya.
"Hai, Cit. Gimana keadaan kamu kali ini?" Tanyanya penuh perhatian. Cipto memang selalu baik pada semua teman kerjanya, berbanding terbalik dengan Reno. Reno dekat juga dengan Cipto mungkin karena Cipto memang masuk kerja bersama dengannya. Mereka juga saling mengenal. Ternyata Reno pernah satu sekolah dasar dengan Cipto, satu alasan Reno yang juga bisa bergaul dengan orang lain walaupun hanya satu orang saja.
Citra menghela napas. "Kayaknya pulang kerja nanti aku akan ke rumah sakit, menjenguknya."
Cipto meneguk ludah susah payah. "Cit, kamu yakin?" bukan karena apa, Cipto masih agak merinding kalau harus melewati jalan seram dari belokan perempatan. Masalahnya hanya jalan itu untuk melintasi hingga bisa sampai ke rumah sakit terdekat rumah Reyna.
"Kenapa? Kamu takut?" Balasan Citra membuat Cipto merasa tertantang, bagaimana bisa cowok itu menjadi penakut? Bahkan Cipto tinggal sendiri di rumah kostan, sampai lumayan lamanya. Kenapa bisa hanya melewati jalan sepi Cipto menjadi ciut? Citra saja tidak pernah memikirkan kejadian yang sudah lewat. Walau mungkin itu hantu, yang terpenting Citra sudah bisa menemukan Reyna.
"Bukan gitu, Cit." Cipto menampik.
"Terus? Aku bisa kok pergi sendiri, kamu pulang duluan aja nanti." Citra seakan bisa menebak pikiran Cipto, "jangan khawatir, aku bisa tanpa kamu temani."
Jika sudah begitu, apakah Cipto bisa untuk kembali membujuk?
"Engga! Aku akan tetap anterin kamu!"
Citra tersenyum jahil, "Yakin? Katanya takut hantu cowok yang pernah ketemu itu."
Cipto mulai tergagap, namun dia menyingkirkan hal yang membuatnya tidak bisa tidur pulas akhir-akhir ini. "Engga, lah! Apaan cowok pucet doang, itu anak albino kali, makanya muka dia pucet banget..., mirip bule."
"Tapi kayaknya aku pulang jam sebelas. Mau bantu si, Reno, buat masukin roti yang ada di luar." ujar Citra membuat mata Cipto melebar.
"WHAT?"
Citra ingin sekali tertawa kencang melihat ekspresi Cipto sekarang. Anak itu kenapa bisa takut dengan orang yang sudah jelas Citra yakini manusia juga, sama seperti mereka. Padahal saat mereka berdua meninggalkan jalanan itu, anak yang seumuran dengan Reyna masih menatap hingga Cipto berbelok dan tidak bisa Citra lihat lagi dari kaca spion motornya.
"Udah, udah. Mending kamu pulang duluan aja, dari pada maksa ikut terus ga akan tenang selama di perjalanan. Kamu nanti nabrak beneran, gimana?" Citra lagi-lagi menggoda Cipto yang mulai ketakutan. Kenapa sekarang Citra menjadi anak yang sedikit keterlaluan? Membuat anak orang menjadi semakin parno dan gemetaran?
"Lho, kamu kenapa jadi nakutin? Kalau nabrak lagian itu motor kamu. Ya, jangan salahin aku kalau orang yang ke tabrak malah ga liat ada motor lewat!" Cipto membela diri, dia menghilangkan rasa horror di dalam otaknya saat ini.
"Hahaha..., Cipto, kamu kenapa jadi seorang penakut gini? Bukannya kamu pernah menjaga toko ini sampai para karyawan masuk bekerja saat penjaga jatuh sakit?" Citra mengingat saat Bos nya yang pening mencari penjaga baru, namun Cipto segera menyarankan agar dirinya saja sendiri yang menjaga.
"Ya, emang ga ada apa-apa. Kemaren itu beda banget hawanya, Cit!!!" Cipto sedikit meninggikan suaranya sampai temannya yang tak jauh dari mereka menatap sambil menggeleng heran.
Padahal sudah biasa kalau Cipto seringkali, ngegas.
"Biar gue yang anterin, Citra."