Reyna masih berkeja di toko roti. Kali ini dia begitu semangat dan ceria membantu para senior kerjanya di sana. Citra yang memang aslinya baik juga selalu mengajarkan Reyna di saat gadis itu tidak bisa melakukan. Selama Reyna bekerja di sana memang hanya Citra saja yang mau untuk membantu dan monolong Reyna. Mungkin karena pegawainya lebih banyak anak laki – laki di banding perempuan.
Kebetulan juga Reyna dekat dengan Citra sejak awal bertemu. Citra bahkan yang mengajak Reyna berkenalan pertama, bukan dari Reyna, yang menjadi pegawai baru di sana.
"Kak, kayaknya hari ini lebih ringan dari pada hari kemarennya." Ujar Reyna sambil melirik Citra di sampingnya.
Cewek itu tersenyum lebar seperti biasanya. "Iya, Na. Aku juga ga terlalu lelah hari ini, biasanya baru setengah hari pinggang udah kayak mau membelah dua aja." Selorohnya yang membuat Reyna tertawa pelan.
"Kakak, bener banget emang." Reyna menata roti yang tidak enak di lihat, alias berantakan karena pasti pengunjung tidak ingin salah teliti dengan tekstur atau kualitas barunya, jelas mereka ingin yang masih baru keluar dari dapurnya. Kebetulan juga bangunan toko itu masih menyambung dengan dapur, walau sedikit harus berjalan juga untuk ke arah dapur.
Mereka berdua semakin dekat. Terlihat layaknya Kakak beradik, dengan umur yang hanya berselisih empat tahun. Reyna merasa seperti mempunyai saudara, Citra selalu memperlakukannya dengan baik tanpa risih karena Reyna yang terkadang sering lemot.
Citra yang memang hanya hidup sendiri 'pun sudah menganggap Reyna sebagai adiknya sendiri. Tidak heran juga jika mereka dekat, karena keduanya tidak memiliki saudara atau orang yang dekat juga. Reyna senang, setidaknya dia tidak lagi sendiri dan merasa kesepian di tempat kerjanya. Reyna pikir saat dia melamar kerja di sana, para karyawan lama akan memusuhi atau tidak ada yang akan menyukai bahkan sampai mau mendekatinya. Namun semua itu hanya pikiran negatif saja, buktinya ada satu orang yang justru sudah mau dekat dengannya.
"Heh, ngapain ngobrol di sini lo pada? Sono ke depan, ga tau apa lagi pada antri." Reno lagi – lagi mengacaukan ketenangan Reyna. Seniornya itu sepertinya tidak akan membiarkan pekerja di sana untuk beristirahat walau sedetik saja.
"Iya, No. Makasih, ya." Ucap Citra yang tidak pernah sekalipun merasa kesal, padahal Reyna sudah mulai sebal saja pada cowok itu.
"Reyna, ayo kita ke depan. Pelayan lain pasti sebagian ke dapur, makannya ga bisa langsung di layani mengakibatkan antri." Jelas Citra yang segera menarik lengan Reyna untuk menuju depan toko.
"Reyna, kamu tolongin aku lagi di kasir, ya." Citra tersenyum saat kepala Reyna mengangguk, mengiyakan pintaan seniornya.
"Reyna, ga mau kalo, Kak Citra, sampe kecapekan kayak waktu itu. Jadi apapun kerjaan yang di alihkan ke, Kakak. Reyna, pasti mau buat bantuin." Ujar Reyna.
Citra tersenyum manis. "Makasih banyak, ya. Kamu walau pun junior tapi peduli banget sama aku."
Reyna tersenyum tipis. "Kakak, ternyata emang ga pernah nyadar? Padahal dari awal yang duluan peduli itu, Kak Citra. Aku gimana dari orang sekitar aja, Kak. Kalau itu baik, masa bales jahat." Cewek itu memang membuat Citra gemas. Entah kenapa Reyna semakin ingin Citra cubit pipinya yang sedikit gembul itu. Tetapi jika Citra melakukannya dia masih takut dan tidak ingin membuat Reyna risih apa lagi sampai tidak suka. Citra tidak mungkin juga mendadak jadi sok dekat.
"Reyna, kamu kalo pulang sama siapa?" Citra bertanya saat sudah melayani pembeli yang bayar.
Reyna melirik sekejap. "Sendiri aja, Kak. Emangnya kenapa?"
"Terima kasih sudah berkunjung." Citra sedikit membungkuk sopan pada pelanggan, dia tersenyum dan menjawab, "mau aku ajak bareng aja. Kasian kalo kamu sendiri, pasti ga bawa kendaraan juga 'kan?" Citra begitu peduli, dia tidak tega saat melihat juniornya berjalan sendiri dan menunggu angkutan untuk mengantarkannya pulang.
"Engga, Kak. Rumah kita juga ga satu arah. Reyna, ga mau kalau selalu repotin." Dia menolak. Reyna memang sudah sangat bersyukur walau hanya di bantu di tempat kerjanya saja, tidak mengharapkan lebih sampai harus di antarkan segala.
"Loh, ga pa-pa. Aku bakal seneng kalo kamu bisa pulang dengan selamat." Citra masih sedikit memaksa Reyna agar menerima tawarannya.
Namun seberapa Citra bersikukuh pun, Reyna tetap saja akan menolaknya.
"Kak. Reyna, nolak karena rumah kita yang beda jalur, terus kalo anterin aku. Yang ada, Kakak, juga nanti buat aku khawatir." Terang Reyna, dia juga tahu aturan. Citra yang harus menerobos jalanan lebih dari lima kilo karena mengantarkan dulu Reyna, jelas cewek itu akan menolaknya. Citra harus menempuh lebih satu jam, tidak terhitung kalau ada macet di tengah jalan perkotaan.
"Yakin, kamu ga pa-pa?" Tanya Citra lagi.
Reyna mengangguk sambil tersenyum. "Yakin, dong."
****
Dini merasa cemas saat sedang menunggu puteri sulungnya yang tak kunjung datang. Dia berjalan menghampiri Suaminya yang sedang menonton acara di televisi, Dini duduk di sebelahnya.
"Bas, anak kamu belum juga pulang. Aku khawatir banget." Ucap Dini yang sudah risau sejak satu jam lalu.
"Kamu sudah pastikan di kamarnya?" Suaminya berbalik tanya.
Dini menghela napas gusar. "Untuk apa aku cemas kalau dia sudah di kamarnya? Kamu bisa jemput dia di tempat kerjanya, kan?"
Suaminya tersenyum sambil mengelus kepala Dini sekejap. "Iya, sayang. Kalau gitu aku jemput dia dulu, ya. Kamu tunggu aja di rumah."
"Engga." Dini menyanggah segera, "aku mau ikut juga. Aku khawatir banget sama dia, Bas! Tolong ngertiin aku."
"Sayang." Kedua tangan suaminya memegang pundak Dini, dia berimbuh, "kalau dia pulang terus ga ada salah satu dari kita pasti bingung juga. Reyna, yang nantinya repot cari kita 'kan?"
Baskara, ucapan suami Dini ada benarnya juga. Mama Reyna terlalu khawatir dengan keadaan puteri satu – satunya itu, dia tidak ingin terjadi apa – apa pada anaknya. Reyna salah satu kekuatan yang Dini miliki, Reyna adalah hidupnya sampai kapanpun.
Dini akhirnya mengangguk. "Yaudah, kamu hati – hati. Cepat kabarin aku kalo kamu udah ketemu sama anak kita." Dia percaya dengan suaminya yang pasti akan menemukan Reyna di luaran. Dini tidak bisa tenang, kekhawatiran saat puterinya masih berada di luar saat malam justru tidak pernah kejadian. Reyna tidak pernah sekalipun Dini biarkan keluar malam, Mama itu tidak ingin Reyna berkeliaran dan mendapatkan bebas pergaulan. Di zaman yang sekarang pasti akan semakin banyak saja kejahatan tidak terduga.
"Iya. Pasti aku langsung kabarin. Kamu jangan terlalu cemas, aku akan berusaha juga kalau belum bertemu, aku mungkin ga akan pulang kalau belum ketemu. Kamu juga hati – hati di rumah, ya." Bas mencium kening Dini sebelum akhirnya melongos pergi.