Reyna mengambil uang dari sakunya saat akan hendak membayar angkutannya. Namun baru saja menyodorkan uang mobil itu kembali di lajukan, membuat Reyna bingung dan berteriak histeris.
"BANG SAYA BELUM BAYAR!!!" Percuma juga jika Reyna mengejar, mobil tersebut sudah tidak lagi terlihat oleh pandangan Reyna, cewek itu merasa heran. Apa supir angkutan itu tidak membutuhkan uang? Padahal Reyna penumpang yang sudah di antarkan hingga selamat sampai tujuan.
"Apa karena udah malem jadi ngerasa capek dan mikir kalo udah bayar sebelum naik kali, ya?" Reyna bergumam sendirian di halte, dia memang masih harus berjalan untuk memasuki komplek menuju rumahnya. Reyna menggeleng cepat untuk tidak terlalu di pikirkan, dia lebih baik pulang ke rumahnya. Kedua orang tuanya pasti sedang merisaukan karena pulang terlalu lambat.
Reyna di suruh Reno untuk jangan dulu pulang saat bagian dari seniornya sudah menuju rumahnya masing - masing, begitu pun dengan Citra yang juga pamit sebelumnya. Terpaksa juga Reyna harus menurut untuk membantu Reno merapikan roti dari dapurnya. Padahal cewek itu sudah siap – siap untuk pulang.
"Loh, Ma. Kenapa belum tidur? Mama, abis nangis?" Reyna mendapati Dini yang sedang duduk di sofa tengah sambil memeluk dirinya.
"Sayang!" Mama itu segera menghamburkan tubuhnya untuk merengkuh Reyna. "Mama, khawatir sama kamu. Kenapa kamu pulang larut malam? Apa pekerjaan kamu di tambah? Biasanya pukul delapan juga sudah berada di rumah. Kamu sebenernya dari mana, nak?" Dini masih saja cemas, Reyna belum menjawab karena raut Mama nya yang sudah pasti di pikirkan sebelum dia pulang.
"Maaf, Ma. Reyna, selalu buat khawatir. Mama, belum tidur karena terus nunggu, ya?" Reyna merasa tidak enak hati, walau sudah mengetahui kecemasan sang Mama padanya, namun Reyna pasti akan selalu membuat risau jika dirinya masih bekerja di sana.
"Iya, sayang. Papa, juga keluar untuk cari kamu ke tempat kerja." Terang Dini.
Alis Reyna mengernyit. "Loh, kalau gitu harus telfon, Papa. Reyna, takut nanti dia kebingungan. Papa, ga pernah ke tempat kerja juga, apa ga akan nyasar?" Sekarang justru dia yang menghkawatirkan Baskara, Reyna segera mengambil handphone dari saku dan segera menghubungi Papa nya.
Dini menelan ludahnya saat raut wajah Reyna yang mulai pucat pasi, dia merasa kembali cemas dan berpikir aneh tentang suaminya di luar sana. Reyna terlihat masih sibuk dengan ponsel di genggamannya. Dini masih menunggu ada apa dengan semuanya.
"Ma ..., Papa, ga bisa di hubungin. Hp dia mati." Jelas Reyna masih menatap benda pipih itu.
Dini menganga sambil tangannya yang menutup mulutnya. "Terus bagaimana? Mama, apa harus mengejar? Kita cari biar, Mama, yang menyetir mobil." Dini menarik tangan Reyna untuk mengikutinya menuju garasi. Beruntung dia juga memiliki mobil yang berbeda warna saja dengan mobil suaminya. Dini tidak mungkin membiarkan Baskara jika bukan Reyna yang belum sampai hingga rumahnya.
"Reyna, sambil kita mencari kamu jangan putus buat terus telfon ke nomor, Papa, kamu." Peringat Dini, jelas Reyna angguki segera, dia juga mengerti dan mencemaskan sang Papa.
Dalam perjalanan Reyna maupun Dini tidak ada pembicaraan karena terus saja fokus pada pencarian Baskara. Papa Reyna sebetulnya memang tidak pernah mengetahui tempat kerja puterinya. Karena memang Reyna hanya berbicara jika anak itu di terima lamaran kerjanya di salah satu toko roti. Dini maupun Bas juga tidak sampai bertanya lokasi maupun jelasnya di mana. Saat Bas yang ingin mengantarkan Reyna untuk ke tempat kerjanya, justru dia selalu menolak. Tidak ingin mengganggu waktu sang Papa karena memang bekerja juga di perkantoran perusahaan Kakak kandungnya.
"Ma! Nomor, Papa, udah bisa di hubungi!!"
******
Bas masih mengendarai mobilnya membelah kota Jakarta. Dia melirik ke kiri dan ke kanan saat masih banyak orang berkeliaran di luaran kota itu. Sesekali Bas menghela napas kasar karena tidak ada tanda melihat puteri sulungnya itu. Bas sudah berkunjung ke dua toko roti yang akan tutup juga, dia masih saja fokus pada pencariannya.
"Reyna, kamu ada di mana, nak?" Dia bergumam cemas masih memandang ke arah luar yang sudah di lampaui mobilnya. Bas memakirkan mobilnya saat kembali melihat toko roti yang masih buka dari arah utara, dia membuka mobil dan akan bertanya pada orang di sana.
"Permisi, Mas." Ujar Bas saat melihat ada karyawan lelaki di luar toko.
"Iya, ada yang saya bantu?" Balas pegawai di sana.
"Eum, saya mau cari puteri saya yang berkeja di sini mungkin. Namanya ..., Reyna." Bas langsung saja berucap apa tujuannya. Lelaki di depannya terlihat menautkan alis seperti bingung.
"Maaf, Mas. Tapi sepertinya pegawai di sini tidak ada yang bernama, Reyna." Ucapnya.
Bas sedikit mengeluh. Dia akhirnya tersenyum samar dan berucap, "Oh, begitu. Terima kasih, ya. Kalau begitu saya permisi." Pamitnya.
Bas sedikit memijit pangkal hidungnya karena mulai prustasi. Kali ke tiga belum ada juga nampak sosok puterinya, Reyna. Kemana lagi Bas harus mencari anak itu? Dimana lagi toko roti yang masih buka? Sepertinya paling lambat itu pukul sembilan malam. Atau mungkin ada juga yang nonstop, Bas harus kembali mencari sebelum Dini akan terus memikirkan hal aneh.
Tangannya membanting stir saat ada lampu merah. Dia melirik jam tangannya saat waktu telah menunjukkan setengah sebelas larut malam. Apa dia akan berhasil menemui Reyna? Kenapa Bas merasa ragu? Bas kurang berusaha untuk menemukan Reyna di tempat kerjanya. Bodohnya Bas tidak pernah bertanya tokonya buka non stop atau tutup karena sesuai peraturan? Dia juga tidak sempat untuk menanyakan lokasi tempatnya. Sebut saja Bas terlalu sibuk dengan pekerjaan di kantornya sampai melupakan hal itu pada Reyna.
Ada penyesalan dalam dirinya, Bas seharusnya memang bertanya semua tentang perkejaan dari puterinya tersebut. Kenapa waktunya selalu memikirkan pekerjaan kantor saja? Padahal Reyna paling utama di sini di banding dengan yang lainnya. Anaknya perempuan. Masih berumur delapan belas tahun dan belum pernah keluar sendiri tengah malam seperti itu. Bas memang Ayah yang sangat keterlaluan. Membiarkan puterinya untuk bekerja dengan dirinya yang masih mampu membelikan apapun untuk anaknya.
"Reyna. Setelah ini, Papa, akan dengan tegas memeringati kamu." Bas masih bergumam, dia meracau sendirian di dalam mobilnya masih di perjalanan mengunjungi toko roti yang masuh buka.
"Papa, tidak akan lagi membiarkan kamu bekerja." Saat ucapan itu terlontar Bas menginjak pedal rem mendadak.
Dia hampir saja menabrak orang yang tidak hati – hati akan menyebrang. Bas akhirnya keluar dan melihat anak lelaki yang sepertinya masih seumuran dengan puterinya.
"Nak, kamu ga pa-pa?" Tanya Bas melihat tubuh anak cowok itu dari atas sampai bawah.
"Om, ini lagi cari seseorang 'kan? Dia udah pulang dengan selamat. Pergi dari sini dan temui mereka sebelum ada kejadian yang aneh."