Chapter 3 - Two

Sagi ingin meluapkan segala kekesalannya, telah banyak waktu yang di korbankan untuk mengejar cinta seniornya tapi pada akhirnya inikah yang dia dapatkan? Sagi ingin menangis tapi dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki yang di cintainya. Kenapa sangat sakit? Bukankah jatuh cinta itu indah dan menyenangkan?

Senior itu berkata dengan nada datar "Bahkan jika aku menolak kau akan terus memberikannya dan memaksaku untuk menerimanya. Kau harus tahu selama setengah tahun ini, kehadiranmu sangat menggangguku, kau terlalu berisik, dan aku sudah tidak tahan dengan beberapa gosip tentang ini. Jadi demi kebaikanmu sendiri aku mengingatkanmu untuk terakhir kalinya. Berhenti bersikap baik padaku, dan berhenti mengantarkan makanan untukku, apa kau tidak punya hal yang bermanfaat selain melakukan itu. Aku bahkan sudah muak dengan tingkah lakumu dan muak melihatmu! Sagi, menjauh dari pandanganku jangan sampai aku melihatmu lagi. Jika kau melihatku segera menghindar."

Kotak bekal yang baru saja di beli Sagi terjatuh ke tanah, gadis itu meskipun di luar terlihat keras dan cuek tetap saja ia memiliki hati yang lembut dan mudah terluka apa lagi setelah mendengar kata-kata kasar seperti langsung di depan wajahnya. Senior itu pun berlalu pergi meninggalkan Sagi yang masih berdiri kaku menatap kotak bekal yang di belinya, isinya sudah tumpah di tanah.

Sagi membayangkan berapa banyak waktu yang telah ia habiskan, bisik-bisikkan yang di dengarnya sebelumnya ketika di kelas benar. Ini semua sia-sia bahkan jika ia harus menghabiskan seumur hidupnya senior tidak akan pernah meliriknya. Sagi yang terlalu memaksa.

Mungkin ia memang harus berhenti sampai di sini saja. Setengah tahun ini ia sudah memasukkan senior ke dalam dunianya, kini tidak akan ada lagi senior dalam dunianya. Tidak ada lagi. Sagi mengambil kotak bekal di atas tanah, tangannya gemetar, ia berjalan kembali ke kelas mengambil tas dan pergi, hari ini ia tidak ingin berada di tempat yang sama dengan seniornya lagi. Perlahan air mata Sagi pun jatuh membasahi pipinya. Sampainya di gerbang sekolah sebuah mobil yang sudah di hafal Sagi menunggunya, bagaimana dengan mobil itu sampai di sana tanyakan pada Erin yang diam-diam selalu menjaganya. Erin selalu tahu apa yang di rasanya. Tanpa mengatakan apa pun Sagi masuk ke dalam mobil dengan perasaan hancur.

***

Di rumah Sagi duduk di ruang tamu, kepalanya tertunduk tangannya masih memegang kotak bekal. Rumah sepi bukan karena tidak ada orang tapi karena mereka sengaja menjauh dan membiarkannya untuk menyendiri menenangkan diri. Sagi harus bersyukur karena memiliki keluarga yang penuh kasih sayang. Sagi tahu kalau ia bukanlah anak kandung ayah dan ibunya. Tapi hanya anak angkat. Sagi juga memiliki dua orang kakak laki-laki yang tampan dan menyayanginya. Dan sagi tahu mereka pasti sedang mengintipnya dari suatu tempat tersembunyi.

Sagi menarik napas terbayang lagi kata-kata seniornya yang benar-benar menyakiti hatinya. Sagi berdiri dan langsung melempar kotak bekal ke lantai sambil berteriak "Cinta sialan! Siapa yang butuh cinta! Huh!" kotak bekal itu terpelanting beberapa kali sampai melompat ke dalam tong sampah. Sagi mengangguk "Benar! Seharusnya cinta itu masuk tong sampah! Tidak pantas di perjuangkan! Kau memintaku untuk tidak menampakkan diri di depanmu baik! Akan aku turuti."

Sagi berjalan ke ruang tengah dan memanggil ibunya tapi bukan hanya ibunya yang muncul tapi kedua kakaknya juga muncul.

"Mama! Kakak! Aku ingin pindah sekolah!" teriak Sagi menggebu-gebu dengan dada naik turun karena marah.

Ibu Sagi ingin mengatakan sesuatu tapi di halangi oleh kakaknya dengan galengan kepala "Baiklah. Besok kakakmu akan ke sekolah mengurus surat pindahmu. Sekarang kau pergilah mandi dan tidur jangan biarkan amarah membuatmu tidak manis lagi.."

Sagi mengangguk dan berjalan ke arah kamarnya di lantai dua sayup-sayup dia mendengar ibu dan kedua kakaknya bicara.

Ibu "Apa yang terjadi padanya?"

Kakak pertama "Sstt.. pelan-pelan, dia sedang patah hati ibu. Kalau tidak Erin yang memintaku ke sekolah hari ini aku juga tidak akan tahu?"

Ibu "Aih, putriku yang malang.. padahal sudah setengah tahun tapi tetap tidak berhasil.."

Kakak kedua "Ah, jadi karena itukah dia selalu menghancurkan dapur karena ingin membuat cowok incarannya terkesan, siapa dia? Aku akan menghajarnya!"

Kakak pertama "Berhenti membuat masalah, sudah cukup membuat Sagi sedih jangan tambah lagi, besok aku akan ke sekolah mengurus surat pindahnya.."

Sagi yang menguping di balik pintu menghela napas. Ibunya yang berhati lembut, kakak pertamanya yang pengertian dan kakak kedua yang selalu membelanya serta seorang ayah yang selalu mendukungnya. Sagi harusnya tidak merasakan sedih lagi, karena ada keluarga yang sangat peduli padanya, menyayangi dan mencintainya tanpa imbalan apa pun.

***

Ke esokkan paginya kakak pertama benar-benar pergi ke sekolah mengurus surat pindahnya tidak banyak yang tahu, hanya kepala sekolah dan wali kelas saja serta Erin. Setelah mendapatkan surat pindah itu kakak pertama langsung pergi. Sagi tidak ikut turun dia hanya menunggu di dalam mobil menatap senior yang berdiri di gerbang. Sagi sedikit heran bel hampir berbunyi kenapa senior masih berdiri di sana, apakah dia sedang menunggu seseorang? Sagi menghela napas dan bersandar di kursi. Saat itu kakaknya datang membawa map berisi surat pindah.

"Sagi, kau tidak ingin berpamitan pada teman-temanmu? Atau wali kelasmu?" tanya kakak pertama.

"Aku tidak punya teman. Wali kelas juga hanya mengomeliku dia akan senang jika tahu aku pindah sekolah, Erin juga sudah tahu jadi untuk apa lagi." Sagi terdengar sedih.

Kakak pertama mengangguk "Baiklah, sekarang kakak akan mengantarmu ke sekolahmu yang baru, di sana kau harus menjaga diri. Kau di tempat orang jauh dari keluarga rajin-rajin menelepon kembali, kau dengar itu."

"Mmm.."

Mobil perlahan bergerak meninggalkan kompleks sekolahnya, Sagi masih bisa melihat bayangan senior di gerbang berdiri seperti menunggu. Kali ini Sagi memilih sekolah yang jauh berada di luar kota mungkin dia akan tinggal di kos, tidak ada lagi ibu yang akan membangunkannya, tidak ada lagi kakak pertama yang pengertian, tidak ada lagi kakak kedua yang akan membelanya jika dia memuat masalah, dan tidak ada ayah yang akan mendukungnya tapi Sagi tahu mereka semua peduli padanya.

Kepala Sagi bersandar di kaca jendela mobil. Ya. Pada akhirnya tidak masalah apa yang ia lakukan. Ia tidak akan pernah bisa mendapatkan senyuman darinya. Meskipun senior selalu bersikap dingin tapi Sagi selalu yakin akan ada kehangatan untuknya. Setengah tahun ini ia benar-benar telah menyia-nyia kan waktunya. Tapi.. hari ini ia memutuskan, hatinya yang selalu berdetak telah mati.