"Untuk apa kau mengajak ku kesini." Tanya Citra.
Wisnu menatap Citra datar senyum di bibirnya menghilang dia berkata "Apakah aku mengajakmu! Bukan kah kau sendiri yang mengikutiku!"
Citra tertegun, ini adalah sakit yang kesekian kalinya yang telah di torehkan oleh Wisnu. Laki-laki itu pergi menaiki bukit dengan penuh semangat. Citra berdiri dii kaki bukit menatapnya sedih, saat itulah Citra melihat seorang gadis bergaun putih datang sambil melebarkan tangannya menyambut Wisnu dengan senyum lebar.
Jantung citra berdegup kencang.
Dump..dump..dump..
Sakit. Ini sangat sakit. Pelukan itu tidak akan pernah menjadi miliknya, jangankan pelukan senyum nya saja sangat sulit untuk ia dapatkan. Citra berbalik pergi wajahnya basah dengan hati yang sudah hancur berkeping-keping.
Mati. Hatinya sudah mati rasa, ia tidak akan mencintai orang yang sama lagi untuk kedua kalinya.
"Citraaa... hei! Citra! Kau mendengarku! Apa yang sedang kau pikirkan?"
Citra menoleh ke arah Mia yang menatapnya khawatir "Hei, kau baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu dengan kakak kedua mu?" Citra merengut.
"Sebenarnya kau itu khawatir padaku atau pada kakak kedua ku!"
Mia tersenyum lebar "Hmm.. kakak kedua mu nomor satu dan kau nomor dua!"
"Sialan! Pergi jauh-jauh jangan coba-coba menggoda kakak ku! Atau kau akan merasakan akibatnya!" ancam citra.
"Kenapa kau melamun lagi! Aku memanggil-manggil mu tapi kau tidak menjawab. Apa kau masih memikir kan laki-laki itu?"
Citra menyesal bercerita pada Mia seolah masa lalunya dongeng yang harus di bacakan berulang-ulang kali sebelum tidur, lihat hasilnya sekarang. Meskipun Mia tidak tahu siapa laki-laki itu tapi sepertinya dia membencinya melebihi dirinya sendiri. Ini aneh. Jika Mia bertemu dengannya apa kah mungkin perasaan benci itu akan hilang?
Citra mengambil buku di hadapannya "Siapa yang memikirkan dia!"
"Eh! Kenapa ribut-ribut! Apakah perpustakaan sudah berubah menjadi kantin?" tanya Mia sambil melongok ke arah luar. "Wow! Jika pemandangannya seperti ini siapa yang tidak akan histeris aku sendiri saja hampir pingsan melihatnya. Mia mencubit lengan Citra tidak tertarik "Citraaaa... lihat siapa yang datang!"
"Miaaa! Sakit tahu! Cubit tanganmu sendiri!" Citra mengabaikan dan terus membaca buku di hadapannya serius. Citra berpikir menjadi mahasiswa baru akan menyenangkan seperti yang ia lihat selama ini tapi ternyata. Ekspetasi dan kenyataan berbanding terbalik. Siapa yang akan suka di minggu ke ke empat mereka akan di kubur dalam tumpukan tugas. Setiap dosen yang mengajar kelasnya harus memberikan satu atau dua tugas.
"Citraaa.. lihat siapa yang datang?!"
"Siapa pun itu selama bukan hantu aku tidak peduli!"
"Ck!" Mia bergerak mendekati Citra dan memegang kepala sahabatnya itu lalu memutarnya "Lihat! Bukankah dia sangat tampan! Aku pernah mendengar tentangnya tapi ini adalah pertama kalinya aku melihatnya langsung!" ujar Mia antusias.
Tapi tidak dengan Citra, wajahnya datar namun jantungnya berdetak kencang.
Badump! badump! badump!
"Kenapa dia di sini?" bisik Citra tanpa mengubah ekspresinya sedikit pun.
Mia tidak memperhatikan perubahan pada emosi sahabatnya dia terlalu larut dalam kesenangan matanya yang sedang menatap keindahan. "Dia senior kita tentu saja!"
tiga tahun berlalu, kenapa mereka harus bertemu begitu cepat. Citra menatap laki-laki itu datar. ada rasa rindu dan sakit di matanya. tapi perasaan yang telah ia bunuh sebelumnya tidak akan ia biarkan tumbuh lagi.
...Ini tidak mungkin, bukankah dia kuliah keluar negeri, kenapa ada di sini? Tidak bukankah Mia menyebutkan 'Senior kita' itu artinya. Citra dengan cepat berbalik ia tidak ingin melihat mata itu lagi. Mata yang dulu ia kagumi tapi mata itu juga yang melukainya. Citra segera menutup bukunya tergesa-gesa memasukkan ke dalam ransel tapi suara yang selalu hadir dalam mimpinya kini terdengar nyata di sampingnya.
"Hai, apa aku mengganggumu? Kenapa kau buru-buru sekali!" laki-laki itu menahan buku yang akan di masukkan citra ke dalam ranselnya.
"Lepaskan!"
Laki-laki itu tersenyum "Duduk lah! Dan lanjutkan tugasmu aku tidak akan mengganggu. Aku juga sama sepertimu sedang mencari beberapa buku."
Citra diam dan menarik ranselnya supaya terlepas dari pegangan laki-laki itu. Ia juga kembali duduk menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan suara keras dan kembali melanjutkan mengerjakan tugasnya. Kali ini ia benar-benar tidak ingin berhubungan lagi dengan masa lalunya.
"Hai.. senior!" sapa Mia ramah, Citra melotot tajam pada sahabatnya. Tapi Mia mengabaikannya.
Laki-laki itu berbalik dan menatap Mia ramah mengulurkan tangan "Tidak perlu formal! Cukup Wisnu saja."
"Kalau begitu cukup Mia saja.." balas Mia tidak kalah ramah lengkap dengan senyum lebarnya. Citra yang melihat perkembangan dua orang itu tang sangat cepat hanya mendengus.
"Baiklah Mia. Apa kau juga sedang mengerjakan tugas pertama?" Mia mengangguk.
"Tapi aku terlalu malas untuk mencatatnya sekarang, aku hanya akan meminjam buku dan mengerjakannya di rumah."
Pandangan Wisnu jatuh pada Citra yang sejak tadi tidak menatapnya, mata laki-laki itu penuh kerinduan seolah pertemuan ini adalah hal yang sangat ia inginkan. Mia melihatnya juga segera ia mengerti kalau Wisnu menyukai Citra. Tapi tidak dengan sahabatnya. Sepertinya Citra sangat membenci Wisnu, apakah mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
"Citra.. sapalah dulu Wisnu.. lihat dia sangat ramah.." bisik Mia.
" .... "
Menoleh saja tidak! Citra hanya fokus pada pekerjaannya, dengan begitu Mia merasa tebakannya benar. "Kalian berdua apakah saling mengenal?"
"Ya!"
"Tidak!"
Dua jawaban berbeda Wisnu mengatakan 'ya' sedangkan Citra mengatakan 'tidak'. Mia menatap mereka silih berganti. Apa ini? Apakah ini yang di namakan Benci bilang cinta atau cinta bilang benci? Ah tapi kedua kata itu masih memiliki arti yang sama, yang menjadi pertanyaannya adalah kapan mereka bertemu? Dan apa yang sudah Wisnu lakukan hingga Citra begitu membencinya.
Mia masih memperhatikan dua orang itu. Dan saat itulah ia mengingat sesuatu. Mia menatap Citra penuh kejutan "Tidak! Jangan bilang dongeng yang kau ceritakan sebelum kita tidur itu benar-benar nyata!" teriaknya tidak percaya. Karena ia baru ingat kalau nama Wisnu terlalu familiar untuk di dengar.
Citra tidak memberikan reaksi besar tapi melihat kepalanya yang mengangguk kecil dan sudut bibirnya yang sedikit terangkat sinis. Mia akhirnya mengerti ini adalah kebencian dari cinta yang bertepuk sebelah tangan. Mia menghela napas panjang berharap Wisnu di lindungi. Berharap laki-laki itu bisa bertahan dengan balasan yang akan di lakukan sahabatnya. Mia sangat mengenal Citra.
Dia bisa membenci, tapi tidak akan membalas tapi jika ada kesempatan untuk membalas maka dia akan mengambil kesempatan itu dan memanfaatkannya dengan sangat baik.
Wisnu yang mendengar kata-kata Mia tertegun. Apakah Citra masih mengingatnya hingga dia bahkan menceritakannya sebelum mereka tidur. Senyum di sudut bibir Wisnu mekar. Tidak dengan Citra ia segera mengumpulkan buku miliknya yang berserakan dan memasukkan nya ke dalam ransel berdiri menatap Mia.
****