Sagi, begitu panggilnya ketika ia berusia enam belas tahun, rambut pendek sedikit keriting, penampilan seperti laki-laki, di saat anak perempuan memakai rok ia akan memakai celana dan selalu membuat masalah serta ceroboh. Tapi Sagi tiba-tiba merubah sifatnya dari ceroboh menjadi penguntit gila. Setiap pagi Sagi akan bangun pagi-pagi sekali dengan bantuan alarm dengan volume keras, kadang dia sedikit terlambat bangun dan mulai menghancurkan dapur milik ibunya hingga mengeluarkan asap hitam serta bau gosong.
Meskipun Sagi selalu menghancurkan dapur tapi hasil akhir dari masakannya masih bisa di terima dan di telan. Itu adalah salah satu rutinitas pagi selama setengah tahunnya di sana, sebenarnya Sagi bahkan tidak suka bangun pagi dan tidak pandai memasak. Tapi ada alasan mengapa ia melakukan semua itu.
Itu karena ia jatuh cinta pada seniornya, Sagi memperbaiki penampilannya dan membawa kotak bekal berisi masakannya dengan hati-hati. Pada laki-laki yang berdiri di gerbang sekolah. Sagi berteriak riang sambil melambaikan tangannya.
"Senior!" laki-laki itu menoleh, wajahnya datar, tatapan matanya dingin namun jelas ia sangat tampan. "Selamat pagi, senior! Aku bangun agak terlambat hari ini.. tapi aku masih sempat membuatnya." Sagi menyerahkan kotak bekalnya dengan senyum cemerlang.
Laki-laki tampan itu mengambilnya tanpa mengucapkan satu kalimat pun, lalu berlalu pergi. Sagi ingin mengatakan sesuatu tapi laki-laki itu sudah menghilang. Sagi mengejar langkahnya tapi tetap tidak bisa hingga membuat jarak yang sangat jauh, di tambah luasnya lapangan sekolah. Jarak antara gerbang dan gedung belajar membutuhkan waktu berjalan sekitar lima menit.
Tapi meskipun begitu, bangun pagi, memasakkannya sarapan dan berjalan menuju kelas seperti ini juga menjadi bagian dari rutinitas hariannya selama setengah tahun. Meskipun itu berarti ia harus mengurangi jatah tidurnya dan rela luka ketika memegang pisau di dapur dan berjalan memutar sebelum sampai di kelasnya hingga membuatnya selalu terlambat. Tapi kebahagiaan di hatinya terlalu besar menolak untuk berhenti dan tetap bersikap masa bodoh. Sagi sudah tidak bisa berhenti lagi bahkan jika dia mau. Sampainya di depan kelas Sagi tersenyum lebar pada senior yang berjalan melewatinya. Sagi tidak bisa pergi bersamanya karena mereka berada di tingkat yang berbeda.
"Senior! Sampai jumpa lagi. Aku akan menemuimu saat makan siang."
Laki-laki itu dengan wajah datar berkata "Terserah!"
Sagi terus menatap punggung senior itu sampai menghilang di balik pintu kelas, entah kenapa hanya memandangnya saja sudah cukup membuatnya bahagia. Sagi ingin sekali menghentikan waktu dan menatap laki-laki itu sepanjang waktu.
"Sagi! Kau tidak akan bergerak dari sana! Kau sudah terlambat!" sagi tersentak mendengar teriakan itu. Dan melihat Erin melambaikan tangan mendesaknya untuk bergerak cepat. Sagi tertegun sesaat kemudian tersentak.
"Oh! Sial! Tidak! Aku sudah sangat terlambat..!" teriaknya histeris dan berlari menuju kelasnya, ketika melewati Erin gadis itu pun melotot dan menyalahkannya karena tidak mengingatkannya lebih cepat. Lorong kelas sudah sepi Sagi berlari kencang hingga menimbulkan bunyi yang keras di lantai. Ketika Sagi masuk guru sudah menjelaskan materi pembelajaran dan melotot padanya. Seisi kelas sunyi.
Sagi pun memohon maaf sedikit menunduk "Maaf buk! Aku.. aku ketiduran.."
Guru "Ketiduran? Saya melihatmu mengambil jalan memutar ke kelas tiga setengah jam lalu. Apakah itu yang kau sebut dengan ketiduran atau kau sedang tidur sambil berjalan? Saya tidak peduli apa pun yang kau lakukan, tapi setidaknya kau harus lebih peduli pada pendidikan mu sendiri tidak hanya sekedar memikirkan untuk berkencan saja. Apa yang akan di katakana orang tua mu jika mereka tahu kau menyia-nyiakan waktu mu di sini seperti ini, kau masih muda, dan penampilanmu cobalah untuk mengubahnya tidak ada gadis yang akan memakai celana ke sekolah sepertimu. Saya harap kau berubah ke depannya. Jika itu terjadi lagi jangan berharap masuk pada jam pelajaran saya. Cepat dan duduk . kau selalu saja mengganggu siswa yang lain.
Sagi berjalan dengan kepala tertunduk menuju tempat duduknya. Mengabaikan beberapa bisikan bernada ejekan yang tertuju padanya.
"Kau lihat wajah putus asa itu?"
"Mengejar orang yang di cintai memang harus mengeluarkan banyak usaha dan waktu.."
"..Dia mungkin menikmatinya. Karena itu dia tidak peduli dengan pendidikannya sendiri."
"..Bahkan jika dia melakukan semuanya untuk merebut hati senior itu, hanya akan membuang waktunya seumur hidup, apakah tidak melihat perbedaan mereka seperti langit dan bumi."
"Sstt… jangan mengatakannya begitu jelas.."
Sagi duduk di kursi kedua tangan di sisi badannya terkepal erat menahan emosi. Dia tidak peduli apa pun yang di katakan orang padanya. Yang penting dia suka dan menikmatinya.
****
Jam makan siang. Sagi sudah membeli makanan kesukaan senior dan harus menyerahkannya secepatnya. ".. Guru itu, selalu mengambil jatah istirahat tiga menit, membuatku terlambat saja untuk mengantarkan makan siang.." Sagi menggerutu.
Beruntung ketika Sagi sampai di kelas seniornya itu ia masih sempat "Senior.. aku.." gerakan Sagi terhenti saat melihat senior itu tersenyum sepertinya sedang bicara melalui telepon. Sesaat jantung Sagi seperti berhenti berdetak . sagi juga terkejut karena selama ini seniornya itu tidak pernah tersenyum padanya bahkan terkesan mengabaikannya meskipun semua makanan yang ia bawa selalu di ambilnya. Senior menoleh pada Sagi namun seketika senyum itu menghilang. "Se-.." lagi-lagi kalimat Sagi terpotong.
Senior berbalik dan lanjut menelepon dan tersenyum lebar. Senyum lembut yang hangat.
"Kau datang ke tempatku? Kenapa tidak mengatakannya dari awal aku bisa menjemputmu.. baiklah kau bisa menungguku di rumah, hari ini aku akan pulang lebih cepat.."
Wajah Sagi berubah mendung, tangannya bergetar kenapa rasanya sakit di dada kirinya seperti ada benda tajam yang menusuknya. Ya, aku harusnya tahu. Senyum itu selamanya tidak akan pernah menjadi milikku. Apa yang aku harapkan. Kenapa aku sangat keras kepala dan menutup mata di saat aku tahu kalau dia sudah memiliki kekasih.
Sagi berjalan mendekati senior itu dan berdiri di belakangnya, Sagi merasakan hatinya tercabik ketika mendengar suara senior yang sangat perhatian itu. Panggilan telepon berakhir senior berbalik dan melihat Sagi yang berdiri tepat di belakang punggungnya. Wajah Sagi datar tidak ada lagi senyum hangat dan ceria di sana. Seolah beku dalam satu detik.
"Kenapa kau di sini?"
"Bisakah kau tersenyum sedikit saja padaku?"
Senior "Apa?"
"Kau selalu tersenyum pada semua orang tapi kenapa kau tidak bisa memberiku senyum yang sama. Kenapa kau tidak pernah tersenyum padaku? Apakah benar-benar tidak ada tempat untuk ku di hatimu?"
Senior "Aku tidak pernah menyukaimu. Kau lah yang terus mengejar-ngejarku!"
Sagi "Jika kau tidak menyukaiku, kenapa kau masih mau menerima pemberianku. Kenapa kau tidak menolaknya saja, bukankah dengan menerimanya kau akan membuatku berharap pada mu?"