Anaesha tercengang melihat pemandangan yang ada di hadapannya, apa lagi kalau bukan tubuh
bagian atas milik Theodore, yang tidak tertutup apa-apa. Apalagi ia tadi sudah menikmati rasanya
menabrak tubuh indah itu. Baru kali ini Anaesha melihat seorang pria dengan pandangan minat.
Sejak dulu ia sama sekali tak berminat dengan pria, karena hidupnya di dedikasikan untuk perang
dan juga berjuang mempertahankan kerajaan ayahnya. Padahal di medan perang juga banyak pria
yang memiliki tubuh seindah milik Theodore, tapi bagi Anaesha batu kali ini ia terpesona dengan
keindahan ciptaan yang maha kuasa itu.
"Hm!"
Suara deheman membuyarkan lamunan Anaesha, pipinya memerah menyadari bahwa ia tengah
mengagumi sosok Theodore.
Anaesha segera memalingkan wajahnya karena malu tengah kedapatan melihat tubuh Theodore.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja menabrakmu," ucap Anaesha.
"Perhatikan jalanmu, sebentar lagi kita sampai," ucap Theodore.
Mathew memperhatikan dua orang yang tengah berinteraksi itu dengan memicingkan matanya,
pasalnya tingkah Theodore juga sangat berbeda dari biasanya, tapi Mathew tak begitu
mempedulikan hal itu, baginya Theodore itu pria yang sangat kaku dalam urusan wanita.
"Ayo lanjutkan jalannya," ucap Theodore.
Mereka pun melanjutkan perjalanan yang sebenarnya sudah sampai di desa hanya saja masih belum sampai di rumah kepala desa.
Setelah sampai di rumah kepala desa Theodore memperkenalkan
kepala desa kepada para rombongan Anaesha, begitu juga sebaliknya Kepala desa menyambut
rombongan Anaesha dengan ramah, mereka semua tidak tahu jika Anaesha adalah seorang putri raja, yang mereka tahu Anaesha hanya orang kepercayaan Raja Antonio.
"Selamat datang di desa kami semoga kalian betah," ucap kepala desa.
"Terima kasih namaku Ana, aku adalah wakil utama utusan Raja Antonio," ucap Anaesha.
"Ya, kami sudah tahu, sebaiknya kalian beristirahat dulu, kalian pasti lelah setelah dua hari melakukan perjalanan jauh. Silakan ikuti Theodore untuk beristirahat," ucap kepala Desa.
Theodore pun mengantar rombongan Anaesha menuju rumah yang telah di sediakan oleh kepala desa.
Saat berjalan mengikuti Theodore, mata Anaesha tak henti-hentinya melirik Theodore.
Mathew memicingkan matanya melihat Anaesha yang mencuri-curi pandang pada Theodore.
"Theo, lihatlah wanita itu terus saja melirik dirimu," ucap Mathew.
"Aku tak peduli, lagi pula dia kan punya mata, jadi pantas saja jika dia melirikku," jawab Theodore acuh.
"Kau ini, sepertinya dia menyukaimu."
"Aku tak peduli," jawab Theodore.
"Tapi–"
"Kita sudah sampai sekarang. Silakan kalian tentukan sendiri tempat tidurnya, di sini akan ada
penjaga dan juga pelayan yang akan memenuhi kebutuhan kalian selama di sini," ucap Theodore.
Anaesha dan yang lainnya hanya mengangguk mendengar penjelasan Theodore. Bagi Anaesha, Theodore itu pria yang dingin tak tersentuh, atau hanya bodoh dalam urusan wanita.
Namun dalam hatinya ia berjanji akan membuat Theodore bertekuk lutut padanya. Meski dunia menentangnya ia
akan melakukan hal itu.
Bagi Anaesha ini pertama kalinya ia merasakan sebuah getaran di hatinya saat melihat pria.
**
"Apa dia sudah sampai?"
"Sudah Yang Mulia. Rombongan mereka di sambut baik oleh para penduduk di sana."
"Bagus, pergilah."
"Baik Yang Mulia."
Senyum Anesta mengembang saat mengetahui sang adik sampai dengan selamat di desa tersebut.
Awalnya ia khawatir akan terjadi hal buruk pada adiknya, tapi setelah mendapatkan laporan dari
pengawalnya, yang mengatakan jika Anaesha baik-baik saja, ia merasa lega. Esok hari Anesta akan kembali kerajaan miliknya, kunjungannya ke mari hanya ingin melihat sang ayah dan juga Anaesha.
Ya meskipun sikap Anaesha sangat menjengkelkan baginya, tapi hal itu tidak jadi masalah, yang terpenting adiknya itu mau menuruti perintah ayahnya mendatangi desa yang akan di buat istana untuknya nanti.
"Apa kamu jadi pulang esok hari, Ane?" tanya raja Antonio saat mendekati Anesta yang kini berada di taman istana.
"Iya, Ayah. Istana ku juga membutuhkanku, sudah empat hari aku meninggalkannya," ucap Anesta.
"Kau harus menjadi Ratu yang bijaksana dan juga bisa melindungi rakyatmu. Carilah istana besar lainnya untuk melebarkan keamanan dan wilayah," ucap Raja Antonio.
"Saat ini sudah cukup, Ayah. Bagiku, istana seluas milikku, lebih dari cukup untukku," ucap Anesta.
"Maksud Ayah. Kau harus menikah, agar kau tidak kesepian."
"Aku akan menikah jika sudah tiba waktunya Ayah," ucap Anesta seraya tersenyum.
"Bagaimana jika kau ayah jodohkan?" tanya Raja Antonio.
Anesta tersenyum mendengar ucapan sang Ayah, ini bukan kali pertamanya ia mendengar
permintaan sang ayah untuk menikah. Bukannya tidak mau menikah, tapi Anesta belum menemukan pria yang cocok untuk dijadikan Raja di kerajaannya dan juga raja di hatinya.
Saat ini yang ada dipikiran Anesta hanya menjaga kerajaannya dan juga menjaga ayahnya. Soal Anaesha tidak perlu diragukan lagi adiknya itu sudah bisa menjaga dirinya sendiri.
"Kenapa kamu malah melamun?" tanya Raja Antonio.
"Ayah selalu ingin menjodohkanku. Apa aku segitu gak lakunya, Yah?"
"Bukan begitu, Ane. Usiamu sudah matang untuk menikah, dan kamu juga seorang Ratu. Jadi kamu
wajib punya keturunan untuk meneruskan takhta mu nanti," ucap Raja Antonio.
"Biarkan aku memilih sendiri, pria yang akan aku jadikan Rajaku, Ayah. Aku mohon jangan ikut campur dalam hal ini," ucap Anesta.
Raja Antonio menghela napasnya, anak sulungnya ini mirip seperti mendiang istrinya, kalem dan anggun dalam menyembunyikan sifat keras kepalanya. Sebenarnya Raja Antonio tidak masalah jika Anesta belum mau menikah, tapi ia khawatir jika sang putri tidak ada niatan untuk menikah.
Pasalnya, setiap seorang pangeran mendekatinya, anaknya itu selalu saja punya alasan untuk menolak pria yang mendekatinya. Namun meskipun begitu raja Antonio bangga pada Anesta.
Diusianya yang masih muda, sudah bisa memimpin sebuah kerajaannya sendiri.
Malam kian larut, kini Anesta pergi ke kamarnya, ia ingin istirahat sebelum besok melakukan perjalanan pulang ke kerajaannya.
Berbeda dengan Anaesha yang akan menyiapkan sendiri segala keperluan jika ingin melakukan perjalanan, Anesta hanya tinggal bicara saja, semua pelayannya akan
menyiapkan segala keperluannya. Seayah dan seibu, tak membuat Anaesha dan Anesta akur.
Bagi Anaesha Anesta sangat menyebalkan sedangkan bagi Anesta Anaesha sangat mandiri.
Namun entah apa yang terjadi Anaesha seolah membangun benteng tinggi untuk Anesta.
Anesta sendiri tak tahu apa penyebabnya, setahu Anesta, sikap Anaesha terjadi setelah kematian sang Ratu, yaitu ibu mereka.
Awalnya Anesta takut akan perubahan sikap Anaesha, tapi lama kelamaan ia sudah terbiasa akan sikap sang adik yang semakin hari semakin menjauh darinya.
Setelah sibuk dengan berbagai pikirannya tentang Anaesha, mata Anesta tak kunjung terpejam.
Pikirannya nyalang, menjadi seorang ratu bukanlah hal mudah baginya, mempertahankan kerajaan yang di bangun sang ayah untuknya, tidaklah mudah. Sewaktu-waktu pasti akan ada orang-orang yang akan menjatuhkannya jika ia tak berhati-hati dalam bertindak.
Helaan napas terdengar dari mulutnya, sejak menjadi Ratu Anesta belum pernah tidur dengan baik.
Setiap hari ia selalu waspada, terkadang ia memikirkan ucapan sang ayah tentang pernikahan, demi membuatnya aman.
Namun sekali lagi ini soal hati, ia tak mungkin menikah tanpa cinta, baginya pernikahan bukan hanya menyatukan dua kerajaan, tapi juga menyatukan dua hati. Entahlah kapan Anesta akan menemukan pria yang ingin dia nikahi.