Kini semua sudah siap untuk melakukan perjalanan ke sebuah hutan yang akan di bangun sebuah istana oleh raja Antonio.
Para pengawal Anaesha sudah bersiap dengan berbagai persiapan, sementara Mathew dan Theodore sudah siap dengan senjatanya.
Kini semuanya tengah berkumpul di rumah kepala desa, untuk meminta ijin berangkat menuju hutan.
Meskipun sebenarnya tidak perlu meminta ijin, kepala desa sudah pasti menginginkan mereka.
Namun bagi Anaesha sangatlah tidak sopan jika mereka melakukan hal sesuka hati, meskipun sebenarnya Anaesha memiliki kuasa atas apa saja pada desa ini.
Setelah mendapatkan ijin, kini para rombongan, Anaesha berangkat menuju hutan, begitu juga dengan Theodore dan Mathew mereka berdua adalah pemandu menuju hutan.
"Apa kalian tidak keberatan jika ayahku membangun kerajaan di hutan sini?" tanya Anaesha pada Theodore.
"Kami hanya rakyat kecil, bisa apa selain menyetujui apa saja yang di inginkan oleh raja Antonio. Lagi pula, tanpa beliau mungkin kami sudah tinggal nama," ucap Theodore.
"Maksudmu?" tanya Anaesha tak paham.
"Kata kedua orang tuaku. Dulunya seluruh warga desa sini adalah prajurit dari musuh kerajaan yang selamat waktu perang, karena kebaikan hati Raja terdahulu. Kami tidak di adili dan di tempatkan di desa sini hingga sekarang," ucap Theodore.
Anaesha mengangguk paham akan ucapan Theodore, ternyata kakeknya adalah raja yang baik. Pantas saja jika istananya berada di mana-mana.
Mendengar cerita Theodore, Anaesha jadi tahu jika kebaikan dan kemurahan hati sang kakek bukanlah isapan jempol belaka.
Ia ingin menjadi seperti sang kakek nantinya setelah istananya jadi. Memikirkan hal itu Anaesha jadi bingung, sebenarnya ia tak ingin menjadi Ratu.
Pasalnya menjadi ratu itu sangatlah ribet, banyak aturan-aturan yang harus ia patuhi, dan juga banyak tugas-tugas yang akan membuatnya bosan.
Karena Anaesha adalah tipe wanita yang tidak suka berada dalam suatu tekanan beberapa aturan. Namun jika nanti istananya sudah jadi, mau tak mau ia harus mau menjadi Ratu di istananya sendiri.
"Kenapa dengan raut wajahmu itu?" tanya Theodore.
"Tidak apa-apa," jawab Anaesha.
Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan. Sesekali Anaesha berhenti untuk mengambil bunga atau apa saja yang membuatnya tertarik, hal itu membuat para pengawal nya sedikit heran, pasalnya Anaesha yang biasanya tak akan peduli dengan hal-hal seperti itu.
Namun kali ini sang putri terlihat begitu peduli dengan bunga-bunga yang ada di desa ini. Terlihat juga wajah Anaesha yang begitu bahagia daripada biasanya, para pengawalnya juga bisa melihat hal itu.
"Ana?" tanya salah satu pengawalnya.
"Ya."
"Tumben sekali kau peduli akan bunga-bunga di jalan seperti ini? Biasanya kau tak akan peduli dengan hal kecil begini."
"Apa kau tahu? Sepertinya aku tempat ini memang di takdirkan untuk diriku. Aku merasa ada sesuatu yang sangat menarik di sini, dan bunga-bunga ini membuatku merasa nyaman," ucap Anaesha.
"Tempat ini atau pria yang ada di sini?" goda salah satu pengawalnya.
"Jangan kurang ajar kamu," ucap Anaesha.
"Maafkan aku, Ana. Namun itulah yang aku lihat di matamu," ucap pengawalnya.
"Kau sangat menyebalkan. Untung saja kau ini, pengawal yang sangat handal, jika tidak maka aku akan memenggal kepalamu sekarang juga," ucap Anaesha.
Pengawal itu langsung diam, tak berani berkata lagi. Terkadang ucapan Anaesha akan menjadi kenyataan jika benar-benar merasa marah, jadi pengawal yang tadi menggodanya langsung diam tak berani berkata-kata lagi, dan memilih berjalan kembali tanpa mempedulikan apa yang dilakukan oleh Anaesha.
Sementara itu, setiap gerakan Anaesha tak luput dari pandangan Theodore, tingkah seorang putri mahkota, yang biasanya lemah lembut dan juga anggun, sangat jauh berbeda dengan Anaesha.
Di mata Theodore, gadis itu tampak seperti seorang petarung daripada seorang putri. Kegesitan nya, dan juga keahlian dalam menghunjamkan anak panah membuatnya, tampak seperti bukan putri mahkota. Siapa pun yang tak mengetahui siapa Anaesha sebenarnya, mereka akan tertipu dengan jati diri Anaesha.
"Tunggu sebentar!" teriak Anaesha, dan hal itu berhasil membuat semua orang berhenti.
"Ada apa, Ana?" tanya pengawalnya.
"Apa di hutan nanti ada sungai yang mengalir?" tanya Anaesha.
"Tentu saja, bahkan tanah di sana sangat subur," jawab Theodore.
"Apa tidak masalah jika nanti di bangun istana di sana? Maksudku, apa airnya akan tetap mengalir ke desa kalian nantinya?"
"Itu sebabnya kita harus melihat tempat itu dulu, jika kami tahu kita tidak perlu repot-repot datang ke sana," ucap Mathew.
"Ah, kau benar. Baiklah mari lanjutkan perjalanan," ucap Anaesha. Hal itu membuat Mathew mencibir akan sikap Anaesha. Yang menurutnya sangat menyebalkan.
Di sepanjang perjalanan Anaesha benar-benar terpesona oleh tempat ini, meskipun hanya sebuah desa, bagai Anaesha tempat ini seperti sebuah surga yang tersembunyi.
Selama ini ia sering bepergian ke hutan belantara, tapi baru kali ini ia terpesona dengan sebuah hutan. Senyumannya tak pernah pudar dari bibirnya saat rombongannya mulai memasuki kawasan hutan, meskipun terlihat jarang di jamah manusia, hutan ini sama sekali tidak menyeramkan bagi Anaesha.
"Silakan melihat-lihat tempat ini," ucapan Theodore menyadarkan Anaesha dari rasa kagumnya.
"Apa ini tempat yang di bangun istana?" tanya Anaesha.
"Tergantung pada pengamatan kalian," ucap Theodore.
"Baiklah kami akan melihat-lihat dulu," ucap Anaesha.
Anaesha mulai mengamati struktur tanah dan juga yang lainnya. Baginya sebuah istana harus dibangun diatas tanah yang bagus, dan harus dekat dengan pengairan. Kini Anaesha berjalan ke tepi sungai, dengan jurang yang begitu dalam, ia bertanya pada pengawalnya tentang tempat ini.
Helaan napas terdengar dari mulutnya, pasalnya mereka belum menemukan tempat yang pas untuk membangun sebuah istana. Hingga saat waktu sudah sore, Theodore mengajak rombongan istana menuju sebuah tempat tepat di bawah sebuah bukit. Mata Anaesha berbinar melihat tempat itu. Sebuah bukit besar dengan sedikit pohon, dan lebih banyak ditumbuhi oleh tanaman hias.
"Sepetinya tempat ini bagus, Ana," ucap pengawal Anaesha.
"Kau benar," ucap Anaesha.
"Bagaimana jika kita naik ke sana untuk melihat bukit itu?" tanya Anaesha pada Theodore.
"Sebaiknya besok saja, sekarang hampir petang, itu sangat berbahaya," ucap Theodore.
"Baiklah terserah kalian," ucap Anaesha.
"Kita bangun tenda di sini untuk beristirahat, sebelum hari semakin gelap," ucap Theodore.
Anaesha menatap Theodore dengan tatapan kecewa. Ia sangat ingin pergi ke bukit itu saat ini juga, tapi Theodore melarang, sungguh menyebalkan.
"Ada apa dengan tatapanmu itu?" tanya Theodore pada Anaesha. Semua orang yang ada di sana pun menoleh ke arah Anaesha.
"Apa kalian lihat-lihat?" tanya Anaesha saat ia jadi pusat perhatian. Semua orang pun kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.
"Jika kau ingin kesana, tunggu nanti malam saat semua orang terlelap, agar aku bisa menciummu lagi," bisik Theodore pada Anaesha.
Bulu kuduk Anaesha meremang mendengar bisikan Theodore, apalagi pria itu membahas ciuman, yang benar saja.
"Kenapa? Bukannya kau ingin ke sana, Ana?" bisik Theodore lagi.
"Tidak jadi! Jika yang ada di otakmu itu hanya sebuah ciuman," ucap Anaesha ketus.
"Akan ku pastikan nanti malam kau akan berada dalam kendaliku, Sayang."