Anaesha mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Theodore, tapi ada benarnya juga. Sebenarnya ia juga menginginkan ciuman Theodore lagi. Bagaikan candu saat bibir Theodore menyesap dan mengobrak-abrik mulutnya, dengan permainan lidah yang membuat setiap sarafnya mati rasa. Anaesha memalingkan wajahnya saat sadar Theodore tengah menatapnya dengan sebuah seringai yang menggoda bagi Anaesha. Jika saja ia memiliki sebuah kekuatan untuk menghentikan waktu, maka Anaesha akan melakukan hal itu dan segera berlari ke arah Theodore dan mencium bibir pria itu. Namun sayang, ia tak punya kekuatan itu. Kini Anaesha hanya bisa menunggu malam hari dan menantikan ucapan Theodore itu.
** **
Di tempat lain tempatnya di sebuah istana milik Anesta, kini Anesta telah sampai di istananya dengan selamat. Baru juga sampai, Anesta sudah di suguhkan dengan pekerjaan yang lumayan memusingkan. Menjadi seorang Ratu tak membuat hidup Anesta benar-benar bahagia, semakin luas dan semakin kuat istananya, semakin banyak aturan dan juga pekerjaan yang harus ia pikul di pundaknya.
"Pantas Anaesha, tak mau menjadi Ratu. Pekerjaan Ratu memang tidaklah mudah," gerutu Anesta.
"Apa Yang Mulia, membutuhkan sesuatu?" tanya dayangnya.
"Aku ingin berendam untuk menyegarkan pikiranku, sebelum semua laporan ini membuatku semakin gila," ucap Anesta.
"Baik, Yang Mulia. Kami akan menyiapkannya untuk, Anda."
"Jangan lupa, perbanyak aroma mawarnya," ucap Anesta.
Dayangnya pun pergi menyiapkan kebutuhan berendam nya. Kepala Anesta sedikit pusing, ia benar-benar membutuhkan sebuah ketenangan untuk meredakan rasa pusing di kepalanya itu. Setelah semuanya siap kini Anesta, mulai berendam dan mencoba menenangkan pikirannya. Namun niatnya yang ingin menenangkan pikirannya tiba-tiba saja–
Byuuurrr!
"Yang Mulia! Anda tidak apa-apa?" tanya dayangnya yang melihat Anesta tiba-tiba saja tenggelam dalam bak mandinya.
Dengan di tolong oleh para dayang, Anesta mencoba mengatus napasnya yang tersengal-sengal. Jantungnya berpacu dengan cepat, seolah ingin keluar dari dadanya. Saat ia memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya, sebuah wajah tiba-tiba terlintas di pikirannya. Wajah seorang wanita yang tengah sekarat yang mencoba meminta ampunan padanya, wajah yang selama ini selalu membuatnya tidak tenang, sebuah kesalahan besar pernah ia lakukan, tanpa sepengetahuan orang lain. Hal itu membuat hidupnya semakin berantakan, bukan hidupnya tepatnya kehidupannya. Setiap saat wajah itu muncul di pikirannya, seolah meminta pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan dahulu. Hal itulah yang membuatnya kaget dan hampir tenggelam di bak mandi. Dan hal itu bukan yang pertama kalinya.
"Apa Anda tidak apa-apa, Yang Mulia?"
"Aku baik-baik saja, tolong antar aku ke kamar," ucap Anesta.
Anesta pun pergi ke kamarnya dengan di antarkan oleh dayangnya, napasnya masih tersengal-sengal. Deru jantungnya pun masih tak karuan, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Wajahnya memucat tubuhnya mengigil.
"Ibu, apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku?" ucap Anesta seraya menangis.
Ia menyesal, sangat menyesal atas sebuah dosa yang dulu ia lakukan. Ia tahu dosa itu tak akan termaafkan, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Seolah dosa itu tengah menghukumnya seumur hidup, di setiap langkahnya wajah itu selalu menghantuinya. Tak ada yang tahu ketakutannya, deritanya, penyesalannya, bahkan kesepiannya. Anesta mencoba mengubur rapat-rapat semua itu dalam dirinya, yang akhirnya membuat dirinya hidup dengan ketakutan yang tak berkesudahan.
Benar kata pepatah, sebuah penyesalan akan datang saat manusia ketakutan dan kehilangan. Dan saat itu terjadi semua penyesalan itu tak ada gunanya lagi, dan tak akan bisa mengembalikan apa yang telah hilang dalam hidup. Bahkan dosa pun tak mau lepas dari sebuah kehidupan, menyasar setiap waktu bahkan setiap detiknya. Menggerogoti hati dan pikiran, hingga membuah sebuah hati menjadi gelisah dan ketakutan. Dan hal itu yang dirasakan oleh Anesta disetiap harinya. Hidup dalam penyesalan yang mendalam dan tiada akhir. Membuat Anesta bertahan ditengah megahnya sebuah istana, dan juga takhta yang tinggi. Anesta menanggung semua dosa yang ia lakukan sendiri. Entah sampai kapan ia akan lepas dari dosa ini.
"Yang Mulia. Badan Anda sangat panas, apa yang terjadi pada Anda?" tanya dayangnya.
"Aku hanya demam saja," jawab Anesta.
"Tabib istana akan segera datang, sebelum itu minumlah teh ini, agar anda merasa baikan."
Dengan tangan yang bergetar, Anesta meminum tehnya. Entah mengapa rasa teh yang biasanya membuatnya nyaman, kini terasa seperti segumpal duri tengah melewati tenggorokannya. Bibirnya kembali menggigil menahan air mata agar tidak keluar di hadapan pada bawahannya. Seorang Ratu, di larang mengeluarkan air matanya di hadapan bawahannya, karena hal itu bisa membawa pengaruh buruk, jadi sebisa mungkin Anesta menahannya dengan menggigit bibirnya. Hingga tabib istana datang dan memeriksa Anesta, setelah tabib selesai memeriksanya, Anesta meminta semua orang pergi dan menyisakan dayang kepercayaan nya saja.
"Apa Anda, membutuhkan sesuatu, Yang Mulia?" tanya dayangnya.
"Berapa lama kau mengabdi pada keluargaku?" tanya Anesta.
"Hamba sudah mengabdi semenjak, Anda masih bayi," jawab dayang itu.
"Apa dulu kau, selaku mengikutiku ke mana pun aku pergi?" tanya Anesta.
"Iya, Yang Mulia."
"Apa kau bersamaku saat ibuku tiada?"
"Maafkan hamba Yang Mulia. Saat kejadian itu, hamba tengah berada di dapur istana karena putri Anaesha tengah berada di sana, jadi–"
"Apa saat itu kau benar-benar bersama Anaesha?" tanya Anesta memotong ucapan dayangnya.
"Benar Yang Mulia," jawab dayangnya.
"Apa kau tak tahu, ibuku meninggal dengan cara apa?" tanya Anesta.
Sang dayang pun merasa aneh akan semua pertanyaan Anesta. Pasalnya tidak ada yang tahu bagaimana sang Ratu meninggal, karena penyebab kematiannya ditutup dari khalayak umum.
"Kenapa kau hanya diam?" tanya Anesta.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Tapi hamba benar-benar tidak tahu, yang hamba tahu, Yang Mulia Ratu tengah demam saat itu. Dan lagi putri Anaesha merengek meminta sesuatu pada Ratu, karena tidak mendapatkan apa yang di inginkan, putri Anaesha berlari meninggalkan Ratu menuju dapur. Dan hamba di minta mengejar beliau oleh Ratu, dan saat hamba kembali, Ratu sudah di bawa ke kamarnya dalam keadaan sudah meninggal," ucap dayang itu.
Anesta memejamkan matanya, ia sedikit lega karena Anaesha tak melihat ibunya meregang nyawa. Hanya dirinya lah yang tahu bagaimana sang ibu meregang nyawa, tapi karena tidak ada yang tahu lagi Anesta segera berlari meninggalkan sang ibu yang tengah sekarat meminta bantuannya. Hingga beberapa saat kemudian ibunya di bawa ke kamar dengan keadaan tak bernyawa. Sejak saat itu semua berubah, hidupnya berubah sikap Anaesha padanya pun berubah, awalnya ia takut jika sikap Anaesha berubah karena adiknya itu tahu bagaimana sang ibu meregang nyawa. Namun seiring berjalannya waktu, Anesta sadar sikap Anaesha berubah karena merasa kehilangan ibunya. Hal itu membuat hati Anesta lega.
"Apa yang terjadi pada Anaesha saat ibu meninggal?" Anesta kembali mengintrogasi dayangnya.
"Putri Anaesha menangis dan mencari Anda."
"Apa kau bilang? Mencariku? Untuk apa?" tanya Anesta.
"Beliau khawatir kepada Anda," jawab dayangnya.
Anesta kembali menghela napasnya mendengar jawaban dayangnya itu. Perasaannya kembali lega, meskipun kelegaan itu hanya berlaku sebentar. Selanjutnya Anesta akan kembali terpuruk dalam lembah dosa dan penyesalan.