Chereads / The Palace of Heart / Chapter 6 - Sebuah Pujian

Chapter 6 - Sebuah Pujian

Anaesha tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Theodore yang tomat matang. Anaesha tak menyangka jika Theodore hanya diam saja saat ia mendekati wajah Theodore.

Sebenarnya jantung Anaesha juga ingin meledak saat ia mendekati Theodore, bibir pria itu sangat menggoda untuk di cium, tapi Anaesha masih waras, ia seorang gadis mana mungkin mencium pria lebih dulu.

"Hei, hentikan tawa berisikmu itu!" teriak Theodore.

"Ha ha ha ha!"

Bukannya berhenti tertawa mendengar ucapan Theodore, Anaesha semakin kencang tertawa, baginya Theodore sangatlah lucu.

"Aduh perutku sakit!" ucap Anaesha seraya mencoba menghentikan tawanya.

"Dasar gadis gila," cibir Theodore.

"Apa kau mengikuti ku, karena khawatir padaku?" tanya Anaesha.

"Tidak!" jawab Theodore ketus.

"Benarkah? Kalau begitu kembalilah ke tempatmu, aku mau melanjutkan acara mandiku yang tertunda gara-gara dirimu," ucap Anaesha.

"Hei, ini sudah malam dan hawanya juga dingin, bagaimana jika nanti kau sakit? Bisa-bisa kami yang akan di salahkan oleh pihak kerajaan," ucap Theodore.

"Apa pedulimu? Aku mati di sini pun tak akan ada yang mencari diriku," ucap Anaesha seraya berjalan ke arah sungai.

"Akkhhh! Turunkan aku! Apa yang kau lakukan?" teriak Anaesha saat Theodore tiba-tiba menggendong tubuhnya.

"Kau bisa mandi besok siang," ucap Theodore seraya berjalan menjauhi sungai.

"Baju dan busurku!" teriak Anaesha.

"Benda itu akan sampai sebelum kita di tempatnya," ucap Theodore.

"Baiklah-baiklah. Tolong turunkan aku, aku ingin berjalan," ucap Anaesha memohon.

Theodore pun menurunkan tubuh Anaesha.

"Kenapa kau melarang ku mandi, padahal aku belum mandi sejak berangkat ke mari, badanku lengket semua, dan ini hanya rambut ku saja yang aku basahi," ucap Anaesha.

Bukannya menjawab pertanyaan Anaesha, Theodore malah memegang tangan Anaesha dan menariknya untuk berjalan.

Dengan terseok-seok Anaesha mencoba mengimbangi langkah lebar Theodore, pergelangan tangannya mulai nyeri akibat cengkeraman tangan Theodore.

"Masuklah, aku akan menyiapkan sesuatu untukmu," ucap Theodore.

Anaesha hanya mengikuti ucapan Theodore yang memintanya masuk ke dalam sebuah rumah yang sederhana.

Setelah memasuki rumah itu, Anaesha terpesona oleh tatanan rumah yang sangat rapi dan juga bersih, tampak sebuah kursi yang terbuat dari bambu dan juga meja yang terdapat sebuah vas kecil yang terbuat dati tanah liat dengan bunga asli berwarna ungu yang tampak baru mekar.

Anaesha menelisik setiap inci ruangan di sana. Terdapat juga sebuah gerabah yang sangat cantik, meskipun penerangan di sana sangat minim, tapi Anaesha bisa merasakan betapa nyamannya rumah ini.

"Gunakan ini untuk mengompres pergelangan tanganmu, dan maaf atas sikapku tadi," ucap Theodore seraya menyerahkan air hangat kepada Anaesha.

"Terima kasih," ucap Anaesha.

"Kau bisa melakukan itu sendiri, kan?" tanya Theodore dan Anaesha pun mengangguk.

"Baiklah aku akan menyiapkan sesuatu, jangan pergi ke mana-mana sebelum aku menyuruhmu," ucap Theodore. Anaesha hanya mengangguk saja.

Sebelum pergi meninggalkan Anaesha, Theodore menyalakan satu obor lagi untuk menerangi ruangannya itu.

Sementara Anaesha, ia mengompres pergelangan tangannya yang nyeri akibat ulah Theodore yang seenaknya menariknya tadi.

Sesekali Anaesha menggigit bibirnya, bukan karena sakit di pergelangan tangannya, tapi ia menggigit bibirnya untuk meredakan debaran jantungnya yang hampir meledak karena berdekatan dengan Theodore.

Setelah di rasa cukup Anaesha menaruh kain bekas kompresan kedalam wadah.

"Silakan mandi dulu, aku sudah menyiapkan air hangat untuk dirimu," ucap Theodore.

"Hah?" Anaesha melongo, tak paham dengan ucapan Theodore. Bukan tak paham, tapi otaknya tengah tidak fokus.

"Kau bilang, kau belum mandi sejak datang kemari, daripada kau sakit karena air sungai yang dingin, lebih baik kau mandi air hangat yang sudah aku siapkan," ucap Theodore.

"Ba–baiklah, di mana tempat mandinya?" tanya Anaesha.

"Di sebelah ruangan ini, pakaian mu tadi juga sudah ada di sana beserta busurmu juga," ucap Theodore.

"Kapan kau membawanya? Perasaan tadi kau tidak membawa semua itu?" tanya Anaesha heran.

"Tidak usah banyak bicara, mandilah sebelum air itu dingin," ucap Theodore.

Dengan kesal, Anaesha berjalan menuju kamar mandi yang di maksud oleh Theodore tadi.

Mata Anaesha membelalak saat mendapati semua peralatan mandi yang ia tinggalkan di sungai tadi.

"Apa dia punya sebuah kekuatan seperti Ayah?" monolog Anaesha.

"Sudahlah, sebaiknya aku segera mandi," ucap Anaesha, lalu ia mulai memasuki bak mandi yang berisi air hangat itu.

Rasa hangat dan nyaman menyeruak ke tubuh Anaesha, di tambah lagi aroma mawar dari air hangat itu membuat Anaesha menjadi tenang dan juga nyaman. Dengan perlahan ia mulai menggosok tubuhnya.

Sementara Anaesha mandi, kini Theodore tengah menyiapkan makanan untuk Anaesha. Theodore yakin jika gadis itu belum makan, pasalnya para pelayan yang melayani rombongan istana mengatakan jika gadis itu tidak makan sejak tiba di tempat ini.

"Aroma masakan ini sangat enak. Dari mana asalnya?" monolog Anaesha seraya menggunakan pakaiannya.

"Rupanya kau sudah selesai, aku kira kau tertidur di dalam sana," ucap Theodore.

"Maaf jika aku lama, airnya sangat nyaman," ucap Anaesha.

"Makanlah, kau belum makan setelah sampai di sini?" tanya Theodore.

"Darimana kau tahu?" tanya Anaesha heran.

"Apa sudah jadi kebiasaan mu, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?"

"Sudahlah, apa aku boleh makan sekarang?" tanya Anaesha.

"Iya," jawab Theodore.

Anaesha pun mulai mengambil makanan yang ada di depannya lalu mulai menikmatinya.

"Apa kau yang memasak ini?" tanya Anaesha Theodore hanya mengangguk.

"Rasanya enak. Terima kasih atas semua ini," ucap Anaesha seraya kembali menikmati makanannya. Sementara Theodore memilih meninggalkan Anaesha sendiri menikmati makanannya.

Setelah selesai makan, Anaesha mencoba mencari keberadaan Theodore. Ternyata pria itu tengah tertidur di kursi ruang tamu.

Dengan perlahan Anaesha mendekati Theodore. Ia mengamati wajah Theodore yang damai dalam tidurnya, wajah tampan dengan rahang yang tegas, hidung mancung dan jangan lupakan bibir seksi Theodore yang menggoda hati Anaesha dan ingin sekali mencicipi bagaimana rasa kenyalnya bibir itu.

"Aku memang tampan, jadi usap air liurmu itu," ucap Theodore.

Anaesha gelagapan saat ia kedapatan tengah menikmati keindahan wajah Theodore.

"Ma–maafkan, ak–aku," ucap Anaesha terbata.

Theodore tersenyum melihat Anaesha yang salah tingkah karena kedapatan memperhatikan dirinya.

"Apa kau barusan tersenyum?" tanya Anaesha.

Theodore segera merubah raut wajahnya kembali datar saat Anaesha menyadari dirinya tengah tersenyum.

"Kau salah lihat," ucap Theodore.

"Sebenarnya kau sangat tampan saat tersenyum, tapi sayang kau sangat pelit akan hal itu," ucap Anaesha.

Theodore berdehem mendengar ucapan Anaesha yang memujinya, ia merasa gugup seolah ribuan kupu-kupu tengah terbang di perutnya.

"Oh iya, namaku, Ana. Jangan memanggilku dengan sebutan 'Kau' karena namaku Ana," ucap Anaesha.

"Apa kau tidak mengantuk? Ini sudah larut malam, dan aku juga harus kembali berjaga di dekat tempat rombonganmu," ucap Theodore.

"Kau benar. Baiklah ayo kita pergi bersama," ucap Anaesha.

Mereka berdua pun pergi menuju tempat rombongan istana, kali ini mereka berjalan dengan santai, tak seperti saat mereka dari sungai tadi

"Apa pergelangan tanganmu baik-baik saja?" tanya Theodore.

"Ya, sudah lebih baik," ucap Anaesha.

"Maafkan aku," ucap Theodore.

"Tak masalah, lagi pula kau sudah menjamu ku dengan baik tadi, aku yang seharusnya berterima kasih padamu," ucap Anaesha.

Theodore tersenyum mendengar ucapan Anaesha, karena suasana gelap Anaesha tak bisa melihat senyuman Theodore.

"Ah, busur tertinggal di rumahmu," ucap Anaesha.

"Ini," ucap Theodore seraya memberikan busur pada Anaesha.

"Ba–bagaimana bisa?" tanya Anaesha.

"Sudahlah, jangan banyak tanya, dan ingat jangan beri tahu siapa pun tentang hal ini," ucap Theodore.

"Aku tidak bisa menjamin hal it–hhhpppmmm!"