Chereads / The Palace of Heart / Chapter 7 - Desiran Hangat

Chapter 7 - Desiran Hangat

Mata Anaesha membelalakkan matanya saat Theodore tiba-tiba menciumnya. Seluruh sarafnya seolah mati tersengat ribuan lebah, perutnya seolah ada kupu-kupu yang terbang.

Awalnya Theodore hanya menempelkan bibirnya saja, tapi perlahan Theodore, mulai menggerakkan bibirnya, menyesap bibir Anaesha dengan perlahan dan lembut. Ibarat sebuah madu yang manis, Theodore mulai kehilangan kendali, ia memperdalam ciumannya seraya memeluk tubuh Anaesha agar ia lebih leluasa menjangkau seluruh mulut Anaesha.

Berbeda dengan Anaesha, entah mendapatkan bisikan dari mana ia membalas ciuman Theodore, sementara tangannya memeluk leher pria itu.

Hingga tanpa di sadari Anaesha mulai kehabisan napasnya dan akhirnya jatuh pingsan.

"Kuharap, kau akan melupakan apa yang terjadi malam ini, Ana," bisik Theodore di telinga Anaesha.

Setelah membisikan hal itu, Theodore mencium bibir Anaesha lagi dengan singkat. Kemudian Theodore menggendong tubuh Anaesha dan membawanya menuju rumah penginapan para rombongan istana.

Selama berjalan, pandangan Theodore, tak luput dari wajah Anaesha. Wajah yang damai dan tenang, serta kecantikan Anaesha yang terlihat alami, membuat Theodore terpesona sejak pertama kali melihatnya.

Ini pertama kalinya, Theodore merasa tertarik pada seorang wanita, sedari dulu ia tak pernah merasakan apa-apa saat berada di dekat wanita, bahkan. Tidak munafik juga, Theodore juga sering menikmati indahnya bercinta dengan banyak wanita, dengan berbagai rupa. Namun baru kali ini ia merasa aneh saat melihat Anaesha.

"Apa yang terjadi dengan Ana?" tanya salah satu pengawal Anaesha.

"Tadi aku tidak sengaja melihatnya tertidur di tepi sungai. Dan maafkan kami jika kami tidak bisa menjaga kalian, terutama dia," ucap Theodore.

"Ya ampun, Ana. Ada-ada saja kelakuannya," cibir pengawal itu.

"Dimana aku bisa menidurkannya?" tanya Theodore.

"Ah, maaf! Di sana di ruangan itu," ucap pengawal itu seraya menunjuk sebuah kamar.

Theodore pun berjalan ke kamar itu, dan menidurkan Anaesha di atas ranjang yang sudah di persiapkan. Dengan perlahan Theodore menyelimuti tubuh Anaesha, sesekali Anaesha tampak menghela napasnya. Kini Theodore keluar dari kamar Anaesha.

"Terima kasih Tuan, maaf jika sikap Ana, merepotkan Anda," ucap pengawal itu.

"Tidak masalah, semoga kalian betah selama di sini. Dan tolong katakan pada kami, jika ada yang membuat kalian tidak nyaman," ucap Theodore.

"Baik, Tuan. Terima kasih."

"Kalau begitu aku permisi dulu," ucap Theodore.

Kini Theodore meninggalkan rumah penginapan rombongan istana. Sesekali Theodore tersenyum saat mengingat ciumannya dengan Anaesha, yang akhirnya membuat Anaesha pingsan.

Anaesha pingsan bukan karena ciumannya, tapi Theodore sengaja membuat Anaesha pingsan agar gadis itu bisa melupakan apa yang terjadi padanya, karena hanya keluarga Theodore yang memiliki sebuah kekuatan lebih, di bandingkan manusia pada umumnya, bahkan Theodore juga bisa memanipulasi waktu.

Namun karena pesan dari ayahnya, yang melarangnya menggunakan kekuatan itu di saat tidak mendesak, jadi Theodore hampir tak pernah menggunakan kekuatannya itu.

Theodore terhenti saat melihat anak panah Anaesha yang terjatuh di jalan, Theodore mengambilnya lalu menyimpannya di sebuah tempat persembunyiannya.

"Dari mana saja kau ini, Theo?" tanya Mathew saat Theodore baru sampai di tempatnya berjaga.

"Apa kau sudah pikun, Mathew? Bukankah aku tadi sudah bilang jika aku tengah mengikuti gadis istana itu," ucap Theodore.

"Ya aku tahu, tapi apa harus selama ini. Dan ini hampir pagi."

"Dia tertidur di tepi sungai," ucap Theodore.

"Apa? Tertidur? Lalu kau menemaninya begitu?" tanya Mathew.

Mata Theodore melotot saat Mathew menanyakan hal itu.

"Biasa saja Theo. Tidak perlu melotot seperti itu matamu," cibir Mathew.

"Aku mencoba membangunkan dia, tapi dia tidak mau bangun, lalu aku mengantarkan dia pulang ke penginapan," ucap Theodore.

"Dasar gadis aneh," cibir Mathew.

Theodore tak menjawab ucapan Mathew, ia memilih berbaring di sebuah kursi yang ada di dekat Mathew.

Badannya lelah, ia mencoba memejamkan matanya, tapi sayang, meskipun matanya terpejam pikirannya nyalang pada kejadian di mana ia mencium Anaesha. Ia ingat bagaimana manisnya rasa bibir gadis itu.

Harum dari tubuh Anaesha membuat Theodore gila dan hilang kendali, untung saja pikirannya masih waras, jika tidak maka ia akan meniduri gadis itu di sana juga. Ya ampun memikirkan hal itu, Theodore semakin gelisah.

"Kau ini kenapa Theo? Kelihatannya gelisah begitu, memikirkan apa kamu?" tanya Mathew.

"Aku hanya tengah ingat kedua orang tuaku," ucap Theodore bohong. Tak mungkin kan jika berkata jujur tengah memikirkan ciuman dengan Anaesha.

"Mereka sudah tenang di alam sana, sebaiknya berdoalah agar mereka selalu bahagia disana," ucap Mathew.

"Kau benar," ucap Theodore.

"Sebentar lagi waktunya kita keluar mempersiapkan diri untuk mengawal rombongan istana menuju hutan," ucap Mathew.

"Padahal aku belum beristirahat, kau sudah mengatakan jika kita harus bekerja lagi," ucap Theodore.

"Siapa yang menyuruhmu keluyuran sampai dini hari?"

"Lupakan. Sebaiknya aku mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan," ucap Theodore.

"Kita hanya perlu senjata saja, Theo," ucap Mathew.

"Dan senjata itu tidak akan datang sendiri pada kita, jika bukan kita yang mengambilnya," ucap Theodore.

Mathew hanya menghela napasnya mendengar ucapan Theodore, temannya itu memang pria yang kaku dan keras kepala.

Mathew sungguh sangat kesal saat ia di tugaskan bersama Theodore. Meskipun kekuatan dan ketangkasan Theodore tidak perlu di ragukan, tapi tetap saja menyebalkan bagi Mathew.

Setelah selesai menyiapkan peralatan nya, kini Theodore memilih keluar dari tempatnya berjaga. Suasana masih sedikit gelap, karena matahari masih belum menampakkan dirinya.

Namun sudah terlihat beberapa orang rombongan istana ada yang sudah siap dan ada juga yang terlihat mempersiapkan sesuatu.

"Apa makanan para rombongan itu sudah di siapkan?" tanya Theodore pada Mathew.

"Kau tidak mengkhawatirkan hal itu, itu bukan tugas kita, tugas kita hanya mengawal serta memberitahu apa saja yang ingin mereka ketahui," ucap Mathew.

"Ya, meskipun begitu aku tetap saja khawatir, jika mereka kecewa pada pelayanan kita," ucap Theodore.

"Sejak kapan kau peduli akan hal itu, Theo?" tanya Mathew seraya memicingkan matanya.

"Apa maksudmu?"

"Lupakan saja, anggap saja aku tidak mengatakan apa-apa," ucap Mathew.

Sraat! Prangg!

Sebuah anak panah melesat dan hampir saja mengenai kepala Mathew, tapi berhasil di tangkis dengan pedang oleh Theodore.

Mathew melongo melihat hal itu, jika saja tidak ada Theodore mungkin saja kepalanya sudah tertusuk anak panah tersebut, dan istrinya akan menjadi janda. Yang lebih membuat Mathew kaget yaitu pemilik anak panah tersebut ada pemimpin dari rombongan istana, yaitu Anaesha yang kini terlihat marah seraya kembali membidikkan anak panah kearahnya dan juga Theodore berdiri.

"Apa kau sudah gila?" teriak Mathew pada Anaesha.

"Aku tidak ada urusan denganmu! Aku hanya ingin memberi pelajaran pada pria yang ada di sebelahmu itu," ucap Anaesha ketus.

"Dan anak panahmu tadi hampir membuat istriku menjadi janda!" ucap Mathew kesal.

"Maafkan aku, tapi nyatanya kau tidak mati kan?" ucap Anaesha seraya berjalan mendekat ke arahnya dan Theodore.

"Jika saja kau bukan tamu disini, akan ku pastikan kau sudah menjadi mayat," ucap Mathew kesal.

Namun Anaesha tak menggubris ucapan Mathew, ia malah berjalan mendekati Theodore. Sementara Theodore bersikap biasa saja, meskipun jantungnya berdetak kencang.

"Setelah kau mengambil anak panahku dan menyembunyikannya, kini kau bersikap biasa saja? Kembalikan anak panahku," bisik Anaesha di telinga Theodore.

"Ap-apa, maksudmu? Anak panahmu yang mana?"

"Anak panahku yang terjatuh tepat di tempat saat kau menciumku," ucap Anaesha seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Apa!"