Kini Anaesha pergi meninggalkan istana, ia membawa beberapa pengawal dan juga prajurit. Tidak banyak barang yang ia bawa, karena Anaesha memang tidak suka pergi membawa banyak barang, baginya itu sangat merepotkan. Meskipun ia punya banyak pengawal dan juga prajurit, tapi Anaesha tidak mau merepotkan mereka, baginya mereka juga capek berjalan. Itulah yang membuat Anaesha di segani oleh para orang-orang di istana, di balik sifat keras kepalanya dan juga arogan, Anaesha masih memikirkan hal tentang pengawalnya. Kini rombongan Anaesha sudah memasuki hutan pertama, waktu sudah semakin malam, dan kini semua rombongan Anaesha memilih beristirahat sejenak. Sebenarnya para pengawal Anaesha tidak ingin istirahat, karena mereka baru berjalan beberapa jam saja meninggalkan istana. Namun Anaesha memaksa para pengawal nya untuk beristirahat, agar besok bisa melanjutkan perjalanan dengan baik.
"Tuan Putri, apakah anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah satu pengawalnya.
"Jangan panggil aku Tuan Putri. Aku ini sedang menyamar," ucap Anaesha.
"Maaf–"
"Panggil aku, Ana," ucap Anaesha memotong ucapan pengawalnya.
Si pengawal merasa tidak enak, pasalnya di kerajaan tidak boleh memanggil nama saja pada orang yang status nya lebih tinggi. Apalagi ini adalah seorang putri mahkota.
"Apa kamu takut?" tanya Anaesha pada pengawalnya, dan pengawal itu mengangguk.
"Hanya saat di desa sana, agar identitas ku tidak diketahui, bukankah kita sering melakukan hal ini? Kenapa kalian masih bingung?" tanya Anaesha.
"Kami takut jika ada 6melapor pada Yang Mulia Raja Antonio, dan kami akan mendapatkan masalah. Pasalnya ini bukan perjalanan berperang," ucap salah satu pengawalnya.
"Lakukan saja perintahku, jangan membantah lagi jika masih menginginkan kepalamu menyatu pada tubuhmu!" ucap Anaesha penuh penekanan.
"Baik, A–ana," ucap para pengawal itu dengan gagap.
"Baiklah, kalian istirahatlah. Aku akan berjaga, setelah itu aku akan membangunkan kalian," ucap Anaesha.
"Tapi, Ana–" ucapan sang pengawal langsung terhenti saat Anaesha menatapnya seraya mengeluarkan pedangnya.
Para pengawal itu pun akhirnya menuruti kemauan Anaesha, dan memilih untuk tidur. Sementara Anaesha bersama tiga prajuritnya tengah berjaga mengawasi sekitar takut jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Malam semakin larut, kini para prajurit Anaesha sudah bergantian berjaga, sementara Anaesha ia tetap tidak bisa memejamkan matanya, padahal hari hampir menjelang pagi. Ingatannya nyalang, entah kenapa, tiba-tiba saja ia teringat akan mendiang sang Ibu. Perempuan paling ia sayangi di dunia ini, kematian sang ibu yang mendadak, membuat semua orang merasa kehilangan sosok Ratu yang sangat bijaksana dan juga baik. Tidak ada yang tahu penyebab kematian sang Ratu, bahkan sang Raja juga tak tahu persis apa yang menyebabkan sang istri meninggal. Hanya Anaesha yang tahu kenapa ibunya meninggal, ia melihat sendiri nyawa sang Ibu di ambil paksa oleh orang yang ia kenal bahkan sangat ia sayangi setelah ibunya. Saat ia ingin bicara yang sebenarnya, saat itu sang Ayah menangis di depan jasad sang Ibunya dan Anesta tengah mengalami kecelakaan terjatuh dari kuda. Akhirnya Anaesha pun mengurungkan niatnya untuk memberitahu sebab kematian sang Ibu. Hingga suatu hari orang yang telah menghabisi nyawa ibunya, terkena sakit parah, dan hal itu membuatnya semakin menutupi kematian sang Ibu.
Mengingat hal itu, Anaesha semakin sedih, hal itulah yang membuatnya bertekat ingin melatih dirinya menjadi seorang pejuang di medan perang, agar ia tidak mudah di bohongi atau di bunuh. Anaesha merasa jika pembunuh sang Ibu juga menginginkan kematiannya. Helaan napas terdengar dari mulutnya, semakin Anaesha memejamkan mata, bayangan sang ibu saat meregang nyawa semakin terlintas di pikiran Anaesha.
"Ana? Apa kau tidak tidur?" tanya salah satu pelayan wanita nya.
"Aku tidak bisa tidur," jawab Anaesha.
"Waktu hampir pagi, cobalah untuk istirahat meskipun hanya memejamkan mata sebentar."
"Aku tidak bisa. Sebaiknya kau bangunkan semua orang, kita akan melanjutkan perjalanan sebelum matahari terbit," ucap Anaesha.
Pelayan itu pun membungkukkan badannya dan meninggalkan Anaesha untuk membangunkan para pengawal yang masih tertidur. Setelah semua pengawal Anaesha bangun, mereka segera melanjutkan perjalanan.
"Apakah masih lama, perjalanan ini?" tanya Anaesha.
"Nanti sore kita akan sampai di sana," ucap salah satu pengawalnya.
"Baiklah kalau begitu, kita percepat jalannya. Aku ingin tidur setelah sampai di sana," ucap Anaesha.
Sementara di tempat Theodore, kini semua orang sudah menyambut kedatangan rombongan orang-orang dari istana. Theodore di minta untuk menjemput para rombongan itu di dekat hutan, ia di minta ke sana bersama Mathew.
"Theo, kira-kira mereka ke sini mau apa ya?" tanya Mathew.
"Mau cari jodoh mungkin," jawab Theodore seraya mengedikkan bahunya.
"Jawab yang benar kenapa sih. Heran deh," gerutu Mathew.
"Mana aku tahu, Mathew. Lagi pula apa peduli kita kalau kita tahu?" ucap Theodore.
"Bukannya begitu, kan aku penasaran."
"Lagi pula, apa pun tujuan mereka ke mari itu bukan urusan kit, tugas kita hanya untuk mengawal dan mendampingi mereka saja, tidak lebih," ucap Theodore.
"Dasar kaku, monoton. Tidak bisa bercanda sedikit apa?" gerutu Mathew.
"Maaf, aku tidak mau bercanda denganmu, itu menjijikkan," ucap Theodore.
Perdebatan mereka terhenti saat ada suara langkah kaki kuda, ternyata rombongan dari istana sudah tiba. Theodore memperkenalkan diri kepada orang-orang istana itu, begitu juga dengan Mathew.
"Silakan ikuti kami, kami akan mengantar kalian ke rumah kepala desa," ucap Theodore.
"Sebentar, dimana Ana?" tanya salah satu pengawal Anaesha yang menyadari jika Anaesha tidak ada dalam rombongan.
"Apa kalian meninggalkan seseorang?" tanya Theodore.
"Ada salah satu dari kami yang tertinggal."
"Aku akan kembali ke dalam hutan untuk mencari Ana," ucap salah seorang pengawal Anaesha.
"Aku di sini. Wah ternyata tempat ini sangat indah, lihatlah aku menemukan bunga yang baunya sangat harum," ucap Anaesha seraya menunjukkan bunga yang ia bawa.
"Ya, ampun! Kau tertinggal hanya demi mengambil bunga itu?" tanya Theodore pada Anaesha.
"Tampan," batin Anaesha saat menatap ke arah Theodore.
"Ana, mereka berdua adalah orang suruhan kepala desa di sini, mereka yang akan memandu kita untuk melihat-lihat tempat ini nantinya," ucap salah satu pengawalnya.
"Oh. Ya sudah ayo. Ah maafkan aku jika aku memetik bunga ini," ucap Anaesha pada Theodore dan Mathew.
Mereka berdua hanya mengangguk mendengar ucapan Anaesha. Tanpa Theodore tahu, Anaesha selalu memperhatikan dirinya, entah apa yang Anaesha pikirkan saat ini, matanya terlalu enggan untuk berpaling dari Theodore, pria itu terlalu tampan bagi Anaesha. Seumur hidupnya baru kali ini Anaesha melihat seorang pria seperti Theodore, sangat tampan dan membuat jantung Anaesha berdetak lebih cepat dari biasanya, hingga menimbulkan rasa sesak di dadanya.
"Perasaan apa ini?" batin Anaesha.
Bruk!
Tubuh Anaesha menubruk punggung Theodore, ia terlalu fokus pada pikirannya sendiri hingga ia tak sadar jika Theodore berhenti di depannya, hal itu membuat semua pengawal nya merasa aneh pada tingkah Anaesha. Sementara Theodore hanya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa, padahal jantung nya juga tengah berdetak begitu keras. Namun ia mencoba menutupinya dengan bersikap biasa saja, bisa gawat kan kalau ada yang tahu apa yang ia rasakan.