"Kakak! Bisa tolong gendong aku?" ucap seorang gadis kecil.
"Hai. Ke mana orang tuamu? Kenapa kau bisa ada di sini, Nania?"
"Tadi aku di gendong sama Ammi, tapi dia meninggalkan ku di sini," ucap gadis itu seraya terisak.
"Sudah-sudah, jangan menangis lagi. Sini aku gendong dan kita harus segera pulang sebelum ibumu mencincangku."
Pemuda itu pun menggendong tubuh kecil sang gadis, dan membawanya pulang sebelum kedua orang tuanya kalap karena khawatir.
"Nania! Ke mana saja kamu, Nak? Kenapa bisa bersama Theodore?" ucap sang Ibu saat anak gadisnya kembali.
"Dia sendirian di bawah pohon di depan sana, katanya Ammi meninggalkan dia di sana."
"Ya ampun! Terima kasih, Theo."
"Sama-sama. Nania aku pulang dulu ya, lain kali jangan pergi jika tidak bersama orang tuamu, dan jika mereka sibuk, aku akan mengajakmu jalan-jalan."
"Iya, Kak Theo. Terima kasih."
Theodore pun, pergi meninggalkan rumah gadis kecil bernama Nania itu. Ia baru saja pulang dari kebunnya, Theodore adalah seorang pemuda yang tampan dan juga rajin dalam melakukan pekerjaannya. Ia hidup seorang diri, karena orang tuanya telah tiada beberapa tahun lalu. Ia bukan berasal dari keluarga kerajaan atau keluarga ningrat lainnya, ia hanya seorang pemuda yang terlahir dari sepasang suami-istri biasa, yang hidup sederhana dan juga bekerja sebagai seorang petani. Keseharian Theodore hanya bekerja dan bekerja, tak ada niatan lain selain bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Terkadang Theodore juga membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya, ia tak segan-segan memberikan kepingan koin pada orang yang benar-benar membutuhkan bantuannya.
Hidupnya hanya di sibukkan dengan bekerja, bahkan ia tak sempat, ah tepatnya tak ingin mencari pasangan hidup. Ia sama sekali tidak pernah tertarik pada setiap wanita yang menggodanya. Siapa yang tak tergoda oleh Theodore, meskipun dia hanya rakyat jelata, tapi pesonanya sangatlah kuat. Ia mendedikasikan hidupnya untuk agar berguna bagi orang lain.
Tubuhnya lelah setelah seharian melakukan pekerjaan yang lumayan berat, sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya.
"Theodore? Apa kau ada di dalam?"
Theodore terlonjak kaget saat ada seseorang yang mengetuk pintunya dan berteriak memanggilnya. Ia berjalan menuju pintu rumahnya.
"Jena?"
"Ah, iya ini aku! Apa kau sibuk?"
"Tidak. Kenapa?" tanya Theodore.
"Boleh aku masuk?" tanya gadis bernama Jena itu.
Theodore mengangguk mempersilahkan Jena memasuki rumahnya yang sangat sederhana bahkan terlihat kecil di bandingkan dengan rumah warga lainnya.
"Begini, Theo. Dua hari lagi akan ada utusan dari kerajaan datang ke mari untuk melihat keadaan di desa kita ini. Dan kepala desa meminta kita untuk mempersiapkan segala kebutuhan utusan istana itu nanti," ucap Jena.
"Kita?" tanya Theodore. Mikha hanya mengangguk.
"Kenapa harus kita? Kita, aku dan kamu?"
Pletaak!
"Aw, sakit Jena!" pekik Theodore saat Jena menjitak kepalanya.
"Kau ini bodoh, apa sangat bodoh?" tanya Jena kesal.
"Hei–"
"Hentikan ucapan dan gerutuanmu itu, Tuan Theodore. Kepala desa meminta 'kita' bukan hanya kita berdua, tapi kita satu regu, ragu bela diri terbaik desa kita. Apa kau paham? Jika tidak sebaiknya kau tukarkan otakmu itu dengan otak keledai di rumahku, dia lebih pandai daripada dirimu," ucap Jena kesal.
"Ya, baiklah. Aku mengerti. Jadi mulai kapan kita akan mempersiapkan semua itu?" tanya Theodore.
"Tahun depan!" ucap Jena seraya berdiri lalu berjalan menuju pintu.
"Jena! Kau bilang utusan istana itu akan datang dua hari lagi? Lalu kenapa kita mempersiapkan semuanya tahun depan?" teriak Theodore.
"Itu otakmu bekerja tidak? Kalau bekerja sebaiknya, nanti malam datanglah ke tempat latihan kita bahas semua itu di sana," ucap Jena.
"Tapi–"
"Tak usah banyak tapi! Dan jangan lupa asah otakmu dulu sebelum ke sana, jika tidak maka aku akan mengganti otakmu dengan otak keledaiku," ucap Mikha memotong ucapan Theodore.
Theodore hanya mencibir mendengar ucapan Jena. Wanita itu selalu saja membuatnya bodoh, jika saja Jena bukan istri dari ketua prajurit di desanya, Theodore sudah membunuh Mikha saat ini juga. Sungguh wanita yang sangat menyebalkan bagi Theodore.
Selepas kepergian Jena, Theodore segera pergi membersihkan diri, sebelum pergi ke tempat latihan yang di maksud oleh Jenaa. Ia harus bergegas sebelum Jenaa teriak-teriak mengalahkan singa kelaparan yang ingin beranak. Meskipun Jena menyuruhnya berangkat nanti malam, tapi Theodore tetap berangkat saat hari baru mulai gelap, sebab malam yang di maksud Jena adalah saat baru senja, jika telat datang bisa di bayangkan apa yang akan terjadi dengan nasibnya. Hal itu juga berlaku pada semua anggota.
"Mathew? Kau di sini juga?" tanya Theodore saat melihat salah seorang temannya yang berasal dari desa seberang.
"Ya, kau tahu sendiri. Meskipun aku sudah bukan warga sini, tapi Jena masih saja memaksaku untuk datang. Sungguh wanita yang sangat menyebalkan," gerutu Mathew.
"Sudahlah, Jena yang dulu tetap saja seperti itu," ucap Theodore seraya mengajak Mathew masuk ke dalam ruangan berlatih tersebut.
Sesampainya di dalam ruangan itu, mata Theodore membelalak karena, Mikha tiba-tiba melempar sebuah pisau ke arahnya. Beruntung ia memiliki ilmu bela diri yang mumpuni hingga ia bisa dengan cepat mengelak.
"Jena! Apa kau sudah gila?" pekik Theodore.
"Aku hanya menguji dirimu saja. Aku kira kau sudah lemah, ternyata masih lumayan juga," ucap Mathew santai.
"Jika barusan aku tidak menghindar, nyawaku akan melayang sia-sia," gerutu Theodore.
"Nyawamu tidaklah berarti, jika kau mati tidak akan ada orang yang bersedih, kau kan sebatang kara," cibir Mathew.
Hal itu membuat semua yang ada di sana menertawakan Theodore. Namun Theodore tidak merasa tersinggung akan hal itu, ia tahu jika teman-teman nya hanya bercanda.
"Baiklah, karena semua sudah berkumpul, aku akan memberi tahu apa saja yang akan kita lakukan," ucap Jenaa.
"Seperti yang aku bilang pada kalian sebelumnya, jika dua hari lagi akan ada utusan dari istana akan mengunjungi desa ini . Dan kepala desa meminta kita untuk menjaga utusan dari istana tersebut, untuk itulah aku meminta kalian berkumpul di sini. Baiklah aku akan membagi tugas apa saja yang akan kalian dapatkan. Dan satu lagi, kalian akan mendapatkan gaji, jika itu yang ada dalam pikiran kalian," ucap Jenaa.
Selanjutnya Jenaa mulai menjelaskan apa saja yang menjadi tugas mereka. Di sana hana ada empat orang saja yaitu, Theodore, Mathew, Jena dan juga suaminya Jena. Karena hanya mereka berempat saja yang paling handal dalam ilmu bela diri dan juga ilmu lainnya. Setelah selesai mengatur semuanya, kini Jena membubarkan ke empat orang di sana. Mathew memilih menginap di rumah kepala desa, sementara Theodore memilih untuk pulang ke rumahnya dan bersiap untuk tidur. Tubuhnya lelah belum lagi pikirannya yang mulai ke mana-mana.
"Kak Theo? Kakak dari mana?" tanya Nania yang tengah duduk di depan rumahnya bersama sang ibu.
"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Theodore.
"Maafkan kami, Theo. Aku hanya ingin mengantarkan makanan ini untuk mu. Nania merengek ingin memberimu makanan ini," ucap ibunya Nania.
"Baik sekali peri kecil ini, terima kasih," ucap Theodore seraya mengusap kepala Nania.
"Ta sudah, kami pulang dulu."
"Jangan lupa di makan ya, Kak, Theo. Itu sangat enak. Makanan buatan ibuku selalu saja enak," ucap Nania.
"Ya, aku tahu itu, Nania," ucap Theodore.
"Baiklah kalau begitu, kami pulang dulu, Kak Theo," ucap Nania seraya melambaikan tangannya.
Theodore tersenyum melihat kepergian Nania yang di gendong ibunya. Nania adalah tetangga Theodore, gadis kecil itu tidak bisa berjalan karena bawaan lahir. Theodore sering kali mengajak Nania berjalan-jalan keliling desa, karena kedua orang tuanya jarang sekali ada di rumah, karena mereka pedagang. Jika orang tua Nania pergi, Nania hanya di jaga oleh Kakaknya yang bernama Ammi, dan usia kakaknya tak jauh beda dengan Nania.
Theodore segera masuk ke dalam rumahnya, ia mulai membuka bungkusan makanan yang di berikan oleh Nania tadi, ia langsung memakannya dengan lahap, kebetulan ia juga merasa lapar karena hanya makan siang tadi. Setelah selesai makan Theodore langsung merebahkan dirinya di atas ranjangnya yang terbuat dari anyaman bambu, hingga sang mimpi pun menjemputnya.