Keringat mulai membasahi tubuh Ziya secara perlahan. Tangannya pun terasa dingin dan wajahnya perlahan pucat. Sesekali dia memejamkan mata, mencoba memaksakan diri untuk tidur, agar rasa yang tak menentu dalam tubuhnya dapat hilang. Namun ternyata tidak demikian. Semakin dipaksa, keringat dan dingin ditubuh makin terasa.
"Keluarga aja Zi, biar plong." Saran Ayah
"Ziya juga pengennya gitu, tapi nggak bisa bisa. Rasanya malah makin aneh aja yah." Ucap Ziya seperti orang yang mengigau.
Kepala berkurang - kunang, perut mual dan keringat dingin tak berhenti. Seketika dia teringat pada Didin, sepupunya yang punya trik agar muntah cepat keluar. Ziya pun merogoh tenggorokannya dengan telunjuk, dan akhirnya muntah juga.
Tentang Ziya,
Dia memang tak terbiasa naik kendaran dalam waktu yang lama. Apalagi jika kendaraan itu mobil.
***
Setengah jam berlalu, Ziya masih tertidur pulas karena lemas. Tapi tak lama setelah itu dia pun terbangun. Dilihatnya kabut tipis lembut seperti kapas menjadikannya kembali segar. Warna putihnya yang menggumpal menyamarkan mata, dan yang tampak jelas hanyalah jalan aspal membelah pengunungan.
Jalan panjang tak berujung. Pohon - pohon besar menjadi penyejuk mata dan pucuk daun cemara seolah bercerita inilah kami yang telah direnggut keasriannya oleh manusia.
Di perbatasan kota Manis - Singgahan, matahari sama sekali tak menampakan sinarnya. Hanya terlihat jika sesekali angin menggiring kabut itu. Semakin menjauh dari perbatasan rupanya tak mengubah cuaca berkabut menjadi terang benderang, justru malah gerimis menghampiri.
"Ya Allah... Perjalanannya panjang banget belum lagi cuaca yang amat menusuk. Rasanya udah pengen sampe aja ke tempat tujuan. Tapi apa mungkin ini pesan dari Mu? Apa mungkin seperti ini pula gambaran hidupku di masa depan? Meliuk - liuk dan teramat panjang. Ah sudahlah apa sih kamu Zi." Gumam Ziya dalam hati.
"Jangan ngelamun Zi, dari pada ngelamun nih! Mending makan dulu biar perutnya nggak kosong." Kata ayah memecah lamunan Ziya.
Diya mengambil makanan ringan yang sudah disiapkan dari rumah. Dia menawari ayahnya, tapi beliau tidak mau. Katanya kalau perut penuh malahan akan terasa ngantuk.
"Sebenarnya Ziya tadi lagi mikirin apa sih!" Ayahnya tiba-tiba kembali bertanya.
"Nggak ada yah. Zita cuman bingung gimana caranya biar pusing ini hilang."
"Udah, nanti juga baikan." Ucap ayah sembari mengelus kepala Ziya.
Zita pun hanya menunduk, sembari memakan cemilan di tangannya. Terlihat dia tidak begitu menikmati makanan itu. Dia masih gusar dengan ucapannya dalam hati itu. Tentang celetukan "Apakah seperti ini pul jalan hidupnya nanti? Meliuk- liuk dan begitu panjang, dingin dan sepi.".
Perjalanan yang cukup melelahkan berakhir pula. Ziya dan Ayah tiba di kosan khusu putri, milik pak H. Uus. Beliau sangat ramah, menyambut dengan begitu hangat, sehingga tak ada rasa sungkan padanya.
Ayah menitipkan Ziya pada pak Uus. Memohon agar selalu mengingatkan jika memang Ziya salah, dan tak segan - segan untuk menghukum jika memang Ziya bandel.
Begitu lama ayah menemani Ziya merapihkan barang di kosan, tapi waktu yang lama itu malah terasa singkat. Tak terasa mereka harus berbisah.
Sebuah pelukan dan keputusan puraan menjadi salam perpisahan. Keduanya berpura - pura tegar, padahal ketika ayah pergi Ziya menangis haru, begitu pula dengan Ayah yang menangis di sepanjang jalan.
Mentari,
Bagiku selalu indah karena sinarmu
Yang bukan sekedar hangat terasa
Tapi melukiskan cinta,
Cinta padaku dan semesta
Mentari,
Bagiku selalu indah karebamy
Karena sanggupmu mengganti gelap dengan terang
Wahai mentari,
Terima kasih
Karena pagi ini kau sudi bersembunyi
Membiarkan dingin menyelimutu
Hingga dapat ku rasa
Betapa menawan dan hangat kasih darinya