Hari itu adalah pertama kalinya bagi Ziya hidup tanpa orang - orang terkasih di dekatnya. Subuh pertamanya dijalani seorang diri. Dan sepertinya hanya dia yanh bangun di kosan itu. Hal ini terasa karena tak ada suara keran maupun derit pintu tetangga yang terdengar. Sepi... Senyap... Sedikit sedih tapi berusaha berprasangka baik akan lebih menenangkan. Bisa jadi mereka sedang berhalangan.
Shalawat dan dzikir mengiringi mentari di Singgahan. Dia memancarkan sinarnya dengan begitu terang, menggunakan jiwa dan mengajarkan setiap manusia untuk selalu mengucap syukur, karena ternyata sekali lagi Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk mengumpulkan pahala serta bekal untuk pulang.
Dibukanya jendela, rupanya telah satu tombak matahari bersinar. Ziya pun harus bersih - siap ke kampus untuk menyelesaikan administrasi.
"Bismillaahi tawakkaltu 'alalloohi laa hawlaa walaa quwwata illaa billaah (Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya upaya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah)." Ziya membaca doa sebelum pergi.
Jarak dari kosan ke kampus hanya beberapa langkah saja. Dilihatnya visi misi kampus yang begitu mengedepankan nilai - nilai islami. Bibirnya tersenyum tipis, merasa bahagia. Walaupun di kampus swasta dan juga belum terkenal, setidaknya ada sesuatu yang bisa dibanggakan juga menenangkan.
Suasana di kampus masih sepi kala itu, hanya satu dua orang saja yang berlalu lalang. Tapi wajar sih, karena masih bulan libur smester. Pastinya setelah OSPEK suasana kampusnya akan terasa.
Berjalan sambil menikmati udara kampus yang sepi, Ziya bergegas menuju gedung rektorat. Di sana ada bapak berambut hampir putih semuanya, dan tersenyum pada Ziya.
"Mau bayar administrasi mba?" Tanya bapak itu
"Ya, pak. Nama saya Naziya Khairatunnisa."
"Prodi PGSD ya?" Tanya bapak itu memastikan identitas lengkapnya.
"Iya pak." jawab Ziya singkat
"Silahkan isi dulu formulirnya ya."
Ziya melengkapi administrasi dan membayar biayanya. Setelah semuanya selesai, Ziya memutuskan untuk berkeliling kampus sejenak. Untuk ukuran kampus yang baru berdiri, cukup lumayan lah. Hanya saja ternyata belum ada Masjid di sana dan sebagai gantinya ada Mushola kecil di setiap lantai.
Dari lantai bawah ke lantai dua masih terasa sepi, tapi ketika masuk ke lantai tiga barulah suasana terasa ramai. Terlihat banyak orang yang sibuk membaca buku, memainkan handphone dan ada pula yang termenung berusaha mengembalikan kehawatiran dalam diri. Mata Ziya memperhatikan satu persatu orang - orang itu, pakaian mereka tak mencerminkan bagaimana seharusnya seorang muslimah. Terlalu terbuka auratnya. Saat berjalan menuju lorong lain, betapa malunya Ziya karena di sana kerumunan lelaki semuanya. Mereka tengah merokok sembarangan. Karena malu dan risih, Ziya menunduk sembari berjalan dengan cepat melewati mereka.
Dalam langkah yang bergegas, alarm biologisnya pun bergetar. Dia tak lupa untuk shalat dhuha. Di mushola sempit itulah Ziya sujud penuh kehidmatan.
"Kamu shalat apaan jam segini?!" tanya seorang lelaki berkulit hitam dengan rambut sebahu.
"Astagfirullah...," Ziya kaget. "Shalat dhuha." Lanjutnya dan segera membereskan mukena.
Tanpa rasa malu, lelaki itu tetap berdiri di pintu Mushola dan memperhatikan Ziya yang tengah membereskan mukena. Hal itu justru membuat Diya merasa tak nyaman dan buru - buru pergi.
"Maaf, saya mau lewat." Ucap Ziya sembari keluar dari mushola.
Lelaki itu masih saja menatap Ziya dengan tatapan yang menakutkan. Ketika langkah Ziya sudah hampir jauh, lalu lelaki itu berlari kecil.
"Hey, tunggu! Aku mau ngomong." Khas dengan logat Jawa nya
"Ada apa!?" Tanya Ziya ketus
"Nama aku..," Katanya sembari mengulurkan tangan.
Belum sempat lelaki itu menyebutkan namanya, dia sudah kaget duluan karena Diya menyatukan kedua tangannya sebagaimana yang telah diatur dalam Islam ketika bersalaman antara ikhwan dan akhwat.
"Kamu kenapa! Perasaan ganvan aky bersih?" Tanya lelaki itu heran dan sedikit emosi.
"Maaf, tapi kita bukan mahram." Karena takut Diya langsung pergi meninggalkan lelaki itu dengan setengah berlari.
Lelaki itu masih heran dengan sikap Ziya. Dia terus melihat jari - jari tangannya, barangkali ada kotoran yang menempel.
"Dasar cewek aneh, tangan ku bersih padahal. Dan apaan lagi tadi, mahram?" Lelaki itu terus menggeleng - gelengkan kepala.