Dengan pikiran kalut, Mika turun dari mobilnya. Ia tidak mengerti apa kurangnya ia, hingga begitu sulit baginya mencari pengganti Arga.
Dari sekian banyak pria yang ia, dan juga Jessi temui, kebanyakan dari mereka hanya mengincar kekayaan, dan perusahaan saja, bahkan ada pula yang terlihat mesum dengan terus menatap tubuh Mika dengan penuh minat, sangat menjijikan.
Mika menghela napas panjang, dan sangat berat. Ia tengah menimbang-nimbang, manakah yang lebih buruk, antara nenek sihir, dan pria pemburu harta? Tidakkah mereka sama saja?
"Perempuan macam apa, yang subuh-subuh begini baru pulang?!"
Mika langsung menghentikan langkahnya. Reflek ia mendongak dan menoleh ke kanan, dan ke kiri untuk mencari arah suara yang cukup familier itu.
"Mas ngapain di sini?" pekik Mika tak percaya.
Seperti yang Arga sebutkan tadi, ini masih subuh, masih pagi buta, kenapa Arga sudah duduk di kursi depan pintu rumahnya?
Mungkinkah ini halusinasi? Oh, ataukah ia hanya makhluk tak kasat mata yang jahil dan menyerupai Arga?
Mika langsung membaca ayat kursi di dalam hati, dengan tangan mengepal kuat, dan tatapan yang tak pernah lepas dari sosok di hadapannya itu. Akan sangat menakutkan jika sosok itu menghilang setelah ia berkedip.
"Kamu dari mana? Kenapa semalam nggak pulang? Kamu ini perempuan, Mika!" geram Arga.
Mika terdiam cukup lama tanpa merespon ucapan Arga, dalam hati ia terus membaca ayat kursi, juga beberapa doa yang ia tahu.
Arga pun nampak kebingungan melihat ekspresi Mika yang cukup membingungkan.
Apakah Mika sedang melotot? Apa ia sedang kesal? Memang apa yang ia lakukan?
"Kamu orang apa setan?" tanya Mika, yang kontan membuat Arga melongo tak percaya.
Setan?
Jadi, tatapan aneh yang gadis itu miliki, adalah karena ia menganggap Arga adalah makhluk tak kasat mata? Arga menggeleng pelan.
"Kamu itu mengigau apa gimana sih? Saya manusia!" seru Arga kesal.
"Kalau manusia, ngapain subuh-subuh di depan pintu rumah orang?" ketus Mika.
"Ya karena saya nungguin kamu semalaman di sini!"
"Bohong! Kamu setan, 'kan? Jangan ganggu aku, atau aku akan bacakan ayat kursi biar kamu kepanasan?!"
Arga menghela napas berat. Yah, ia sangat tahu bahwa Mika memang sedikit aneh, tapi mengira dirinya adalah setan adalah tindakan paling aneh yang pernah gadis itu lakukan.
"Baca aja, baca aja semua doa yang kamu tahu! Tapi bikinin kopi dulu, saya kedinginan!" Arga berucap pelan.
Meski memakai jaket dan celana panjang, dinginnya masih terasa menusuk tulangnya. Jika diingat-ingat, saat ia hiking zaman kuluah dulu saja, tidak sedingin ini.
"Kamu ... beneran Mas Arga?" Mika melunak.
Arga tidak menyahut, dan hanya mengangguk pelan.
Mika pun bergegas membuka pintu rumahnya, ia lalu setengah menyeret Arga untuk masuk ke dalam rumahnya.
Jika ada tetangga yang melihat ada pria di rumahnya subuh-subuh begini, bisa menimbulkan fitnah. Dan lagi, wajah Arga sudah terlihat pucat, sepertinya ia memang sangat kedinginan.
"Mas tunggu bentar, aku buatin kopi!" ketus Mika sambil melangkah enggan menuju dapur.
Kini, berbagai macam pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Kenapa Arga ingin menemuinya? Apakah pria itu berubah pikiran? Tapi, jika memang ia berubah pikiran, apa yang harus ia lakukan? Menerimanya kembali?
Mika menyalakan kompor, lalu merebus air. Ia lalu memasukkan satu sendok makan kopi, dan satu sendok makan gula di cangkir.
Ia tidak tahu bagaimana selera kopi Arga, manis, ataukah pahit, yang kental, ataupun encer. Jadi, ia samakan saja seperti ia biasa membuat kopi untuk mendiang ayahnya.
Setelah kopi siap, Mika membawanya ke ruang tamu, dan menyuguhkannya kepada Arga.
"Mas ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Mika, setelah Arga menyeruput kopi yang tentu saja masih panas itu.
"Saya di sini udah dari malam! Kamu yang ngapain aja sampai nggak pulang ke rumah?!"
Mika mengedikkan bahu, ia lalu menyandarkan punggungnya pada sofa.
"Saya sudah memikirkan permintaan kamu matang-matang, dan saya bersedia! Jadi, tolong berhenti mencari calon suami, atau apa pun itu, dan kembali kepada saya. Apalagi, kalau pria seperti Kevin yang mau kamu nikahi. Sekedar info, dia itu playboy!" raut wajah Arga datar, ketika mengatakan semua itu.
Lagi-lagi, Mika dibuat terkejut karena Arga menyebut nama Kevin. Dari mana ia tahu mengenai Kevin?
Kevin adalah kakak Jessi, dan pilihan terakhir Mika jika ia tak juga bisa menemukan calon suami yang tepat.
"Mas tahu dari mana, soal Kevin?" sergah Mika.
"Dia itu teman saya! Dan saat Jessi menelepon untuk memintanya jadi suami kamu, saya ada di sampingnya!" sahut Arga dengan santainya.
Mika mempoutkan bibirnya dengan kesal. Bisa-bisanya hal seperti itu terjadi. Oh, betapa malunya gadis itu.
"Saya akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan perusahaan ayah kamu, jadi jangan lakukan hal seperti itu lagi! Pernikahan kita sudah dekat, Mika! Mama sudah memilih WO, dan mulai mengurus segalanya. Jadi, kembalilah pada saya!"
Kenapa? Kenapa baru sekarang Arga melakukannya? Meski jujur, itu adalah kalimat yang Mika harapkan, tapi sangat menyebalkan karena ia harus menunggu selama ini.
"Kenapa kamu malah diam?" celetuk Arga yang langsung membuyarkan lamunan Mika.
"Mas ini orangnya plin-plan! Kemarin nggak mau, sekarang mau, gimana sih?!" geram Mika.
"Karena ini bukan perkara gampang, Mika! Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan! Kamu saja yang buru-buru dan mengakhirinya begitu saja! Dewasa dong, Mika ..."
Mika semakin manyun mendengar ucapan Arga. Tapi, apa yang pria itu katakan cukup masuk akal. Sepertinya, ia yang terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.
"Ya mau gimana lagi, aku lagi kalut, dan kamu sebagai satu-satunya orang yang kuharapkan, malah menolakku. Jadi, mau nggak mau aku harus ngelakuin ini." kilah Mika.
"Iya, tapi untuk masalah sebesar ini, kamu harusnya bisa bersabar, dan berpikir panjang. Jangan langsung menyimpulkan dan memutuskan begitu saja!"
"Mas nggak usah nyalah-nyalahin aku kayak gitu deh!" protes Mika.
"Saya nggak nyalahin kamu,"
"Itu tadi, apa?"
"Saya mengatakan itu, biar kedepannya, kamu lebih bijaksana lagi dalam mengambil keputusan!"
Mika merengut kesal, meskipun tidak bisa ia pungkiri bahwa ia cukup emosional dan berpikir pendek, namun bukankah Arga juga salah karena terlalu cepat menolaknya, dulu?
Arga melihat Mika melamun, ia pun berdiri, dan berpindah duduk di samping Mika.
"Kamu lihat saya," ujar Arga sambil menggeser pundak Mika agar gadis itu menghadap ke arahnya.
"Saya akan berusaha sebaik mungkin, dan tidak akan membiarkan perusahaan ayah kamu jatuh ke tangan yang salah. Jadi, kamu tidak perlu khawatir lagi."
Mendengar ucapan Arga yang penuh kesungguhan, pertahanan Mika langsung hancur, ia pun berhambur memeluk Arga dengan air mata yang mengalir sendu dari mata sayunya.
Seolah beban berat yang ia tanggung, diangkat oleh pria itu.
Mungkin memang sudah takdirnya Arga berada di sisi gadis itu.