Rian masih menatap abangnya itu dalam diam dari ambang pintu. Ia tahu benar bahwa pikiran Arga sedang berkelana entah ke mana.
Itu bukan masalah, hanya saja, cukup menyeramkan melihat Arga melamun di tengah malam seperti ini.
Rian sedang melewati kamar Arga yang terbuka sangat lebar saat ia hendak menuju dapur untuk minum.
Dan melihat pria itu melamun untuk waktu yang cukup lama, ia pun memutuskan untuk memperhatikan saja Arga dalam diam.
Kaki Rian sudah cukup pegal karena berdiri di sana tanpa melakukan apa pun, ia pun memutuskan untuk menghampiri Arga dan bertanya apa yang pria itu sedang pikirkan.
"Bang, mikirin apa sih? Ini udah malem lho! Nggak lucu kalau seorang Arga kesambet di tengah malam!" celetuk Rian sambil duduk di sofa.
Arga yang sebelumnya duduk di tepian kasur, langsung menoleh ke kanan, dan ke kiri untuk mencari asal suara yang mirip dengan milik adiknya tersebut.
"Gue duduk di sofa!" seru Rian pelan.
Arga langsung pindah duduk di dekat Rian begitu melihat adiknya itu ada di sana.
"Lo mikirin apa sih?" tanya Rian sekali lagi.
"Gue mikirin Mika!"
"Kenapa sama dia?"
"Gue kasihan, Ri sama dia! Dia kelihatannya aja santai begitu orangnya, tapi gue bisa lihat kalau dia itu rapuh banget. Gue jadi nggak tega biarin dia tinggal sendirian gitu. Gimana kalo dia sakit lagi? Gimana kalo dia sering nangis di malem hari karena kesepian? Kasihan, 'kan?"
Rian mencerna ucapan Arga dengan seksama.
Ya, sepertinya Arga benar. Pasti berat untuk Mika hidup sebatang kara seperti itu.
"Jadi, lo maunya gimana?" pancing Rian.
"Kayaknya gue harus percepat hari pernikahan aja deh. Biar dia nggak sendirian lagi. Kasihan, dia kan masih bocah."
Rian hampir tertawa mendengar abangnya itu menyebut Mika bocah.
Ya, Arga terlihat seperti Om-om yang ingin menikahi seorang bocah. Dasar, pria tidak tahu diri!
"Lo melewatkan sesuatu yang penting, Bang!"
Arga langsung tersentak kaget mendengar ucapan Rian.
"Apa?"
"Lamaran! Lo udah ngelamar dia secara pribadi belom? Bukan lamaran keluarga yang hanya sebagai formalitas, tetapi lamaran dari hati ke hati?!"
"Emang itu perlu?" tanya Arga bingung.
"Bagi perempuan, itu sangat penting! Nggak tahu sih kalo buat Mika, secara pikirannya itu terlalu random, susah ditebak!" sahut Rian dengan santainya.
Apa yang Rian ucapkan memang benar. Mika itu susah ditebak.
***
Mika melirik ke arah jam sekali lagi. Sebentar lagi Arga datang menjemputnya. Pria itu bersikeras ingin mengantarnya kuliah.
Gadis itu tiba-tiba tersenyum, mengingat bagaimana manisnya senyuman Arga, dan sikap sopan pria itu.
Kembali ia mengambil cermin dan memastikan tidak ada yang salah dengan dandanannya. Mika sudah cukup malu karena menemuinya dalam keadaan kucal belum mandi tempo hari.
"Cermin itu bisa pecah kalau lo terus ngaca kayak gitu!" sindir Jessi saat ia melewati kamar Mika.
Ya, gadis itu memang menginap di rumah Mika semalam.
Bodohnya Mika, membiarkan pintu kamarnya terbuka.
Mika langsung keluar dari kamar dan mengikuti Jessi ke dapur.
"Apa aku udah terlihat cantik?" tanya Mika dengan semangatnya.
"Hm, ya. Lo cantik. Seperti biasa!" sahut Jessi datar.
Mika tersenyum lebar, lalu menggeleng pelan.
"No, aku harus lebih cantik dari biasanya!"
"Terserah." sahut Jessi tanpa menoleh ke arah Mika.
Ding dong!
Mika langsung melompat riang saat bel pintu berbunyi.
Ia langsung merapikan rambutnya sebelum menemui Om-om yang tampan itu.
Arga tersenyum lebar saat Mika membukakan pintu.
"Hai," sapanya ramah.
"Masuk dulu, Mas."
Mika melangkah cepat ke ruang tamu, ia lalu mempersilakan Arga untuk duduk.
"Apa kamu baik-baik saja? Tidur kamu nyenyak?" tanya Arga dengan penuh perhatian.
"Aku tidur sangat nyenyak."
"Syukurlah. Ehm, Mika, nanti malam, mau makan malam?"
Mika menatap Arga lurus-lurus.
"Saya akan jemput kamu jam delapan." kata Arga sambil tersenyum penuh arti.
Mereka pun mengobrol sebentar sebelum akhirnya Arga mengantarkan Mika ke kampus.
***
Mika mengernyit bingung, tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, kenapa Arga membawanya ke sana? Ayolah, di atap gedung perusahaannya?
Meskipun di atas sini sangat indah, tapi untuk apa?
"Mas?" gadis itu meminta penjelasan.
Arga tidak menyahut. Ia lalu berdiri tepat di hadapan Mika. Pria itu memejamkan matanya cukup lama.
Kemudian ia meraih kedua tangan Mika dan menggenggamnya erat.
"Mika, maukah kamu menikah dengan saya?"
Deg ....
Deg ....
Deg ....
Tubuh Mika melemas mendengar ucapan Arga.
Tunggu,
Apa?
Arga sedang melamarnya?
Jantung Mika berdegub dengan kencang, dan keringat dingin langsung membanjiri wajahnya.
"Kita sudah sepakat untuk menikah, dan merencanakan segalanya, hanya saja, kita melewatkan sesuatu! Saya tidak tahu apa ini penting buat kamu, tapi kalau dipikir-pikir, ini sesuatu yang harus terjadi sebelum pernikahan!"
Yah, Arga memang Arga, si pria kuno, yang tidak tahu bagaimana cara bersikap romantis kepada perempuan.
Serius, dia tidak perlu menjelaskannya seperti itu.
Angin berhembus pelan menyapu wajah Mika yang terasa sangat kaku dan dingin.
"Apa ini penting juga buat Mas?" tanyanya dengan susah payah.
"Saya rasa ini penting, sebagai seorang pria, saya harus memperlakukan perempuan dengan semestinya, apalagi kamu itu adalah calon istri saya."
"Tapi Mas, aku masih nggak percaya, ini Mas beneran mau nikahin aku, ya? Mas nggak mau mengenalku lebih jauh dulu gitu? Siapa tahu nanti ada sifatku yang nggak Mas suka?!"
"Saat saya memutuskan untuk melamar kamu, disaat itu juga saya sudah memutuskan untuk menerima semuanya. Semua yang ada pada dirimu. Latar belakangmu, masa lalumu, baik buruknya dirimu, saya akan menerima semuanya. Tanpa syarat. Tanpa pengecualian."
Mika tertegun mendengar jawaban Arga.
Bagaimana seseorang bisa semanis itu?
"Saya hanya bisa menawarkan hubungan yang sederhana ke kamu. Kita menikah, akan saya rawat dan perlakukan kamu dengan baik!"
Sebuah Cinta sederhana yang indah? Itu terdengar bagus, jika memang akan ada kata cinta di sana.
Itulah yang Mika butuhkan.
"Saya berjanji akan selalu berada di sisi kamu, meski kamu sedang cantik ataupun jelek, sehat maupun sakit, tersenyum maupun menangis, tidak akan ada hari di mana saya tidak ada di sisimu! Kecuali kalau lagi perjalanan bisnis!"
Tanpa sadar Mika tersenyum.
Seperti itulah Arga yang ia kenal. Dia itu tidak banyak bicara, tapi sekalinya dia berbicara, membuat dirinya tak bisa mengatakan apa pun.
Selama ini Arga memang memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Dengan sangat lembut. Dia bahkan sangat menghormati Mika sebagai seorang perempuan.
"Will you marry me?" tanya Arga pelan.
Dengan senyum tertahan, Mika menatap dalam mata Arga.
Ia melihat kesungguhan di dalam sana.
Siapkah dia menikah dengannya?
Gadis itu menyukainya. Tentu saja, tidak ada perempuan yang tidak menyukai pria sebaik itu.
Tentang cinta? Mika yakin cinta itu akan tumbuh seiring berjalanya waktu. Lagipula, tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada pria sebaik Arga.
Jadi ....
"Yes I will." jawab Mika tanpa keraguan sedikitpun.
Arga tersenyum lebar mendengar jawaban Mika.
Ia lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Terima kasih," Arga berujar pelan.