Chereads / CEO Tampan VS Gadis Manja / Chapter 21 - Demam

Chapter 21 - Demam

Arga mengernyit bingung. Ia memasuki rumah Mika dan tidak mendapati siapa pun di rumah. Tidak ia, ataupun asisten rumah tangganya.

Tidak biasanya rumah Mika sepi seperti ini. Biasanya terdengar suara gadis itu yang menggelegar memenuhi rumah.

Pria itu pun melangkahkan dengan ragu menaiki tangga menuju kamar Mika. Rian mengatakan bahwa gadis itu absen dari kelasnya bersama Jessi. Berbeda dengan Jessi yang memberi keterangan bahwa ada acara keluarga, Mika absen tanpa pemberitahuan. Oleh sebab itu, Arga menjadi sangat khawatir.

Tanpa banyak berfikir, Arga membuka pintu kamar gadis itu.

Kali ini pintunya tidak terkunci.

Kamar tersebut kosong, lalu Arga pindah mencari di tempat lain. Dan sama saja, kedua kamar di dekat kamar gadis itu kosong.

Apa dia sedang pergi? Jika tidak ada orang di rumah, mengapa pintu depan tidak terkunci?

Arga pun kembali menuruni tangga, dan setelah ia melewati sebuah ruangan, langkah pria itu terhenti seketika.

"Ibu," terdengar samar-samar suara Mika dari dalam ruangan tersebut.

Arga pun mendekatkan telinganya pada pintu, ia hanya ingin memastikan bahwa suara yang ia dengar, bukanlah halusinasinya saja.

"Ibu," lirih Mika sekali lagi.

Arga pun mengetuk pintu kamar tersebut beberapa kali.

"Mika?" panggilnya pelan.

Gadis itu tidak menyahut.

Arga kembali mendekatkan lagi telinganya pada pintu.

"Ibu," lirih gadis itu untuk yang kesekian kalinya.

"Mika?! Apa kamu baik-baik saja?" teriak Arga panik. Ia sudah berusaha untuk masuk ke dalam, akan tetapi pintu tersebut terkunci dari dalam.

Arga memanggil nama gadis itu berulang kali, tapi tidak ada sahutan darinya.

Segera saja Arga menendang dengan kuat pintu itu hingga terbuka dengan kasarnya.

Mika tengah meringkuk di balik selimutnya dengan wajah pucat dan mata yang terpejam.

Segera Arga berlari menghampirinya dan duduk di tepian kasur.

"Ibu ..." lirih Mika masih dengan mata yang terpejam.

Dia mengigau? Dan wajahnya pucat! Arga meletakkan telapak tangannya pada kening gadis itu.

Segera saja ia angkat tubuh gadis itu dan menggendongnya keluar kamar.

Arga setengah berlari keluar dari rumah dan menuju mobil yang terparkir rapi di halaman rumah gadis itu.

Arga mendudukan Mika di kursi dan memakaikan seat belt padanya.

Tubuh gadis itu sangat panas. Wajahnya sudah sangat pucat sekarang.

Arga pun bergegas menjalankan mobilnya dengan tergesa menuju rumah sakit.

Sesampainya di sana, pria itu langsung meminta ruang VIP untuk Mika. Seorang dokter, dan jugaa beberapa perawat datang, kemudian langsung memeriksanya.

Dengan gelisah, Arga menunggu di ruang tunggu.

Ia menarik handphone dari saku celananya, dan menekan dengan cepat kontak nomor Rian.

Cukup lama panggilan berdering, namun adiknya itu belum juga mengangkat panggilannya.

Arga sangat bingung, karena memang Mika tidak memiliki keluarga untuk dikabari. Jadi, Arga menelepon Rian saja.

Sekali lagi Arga melakukan panggilan di nomor kontak adiknya itu.

"Kenapa, Bang?" sahut Rian dari sebrang sana, begitu telepon tersambung.

"Lo lagi di mana?"

"Di studio! Ada apa?"

"Bisa ke rumah sakit sekarang, nggak?" tanya Arga pelan.

"Hah? Siapa yang sakit?" pekik Rian kaget.

"Mika. Pas gue ke rumahnya tadi, dia udah gak sadarkan diri. Dia mengigau terus, dan badannya juga panas banget. Gue bawa aja ke rumah sakit!"

"Di rumah sakit mana?"

"Golden Hospital. Ruang VIP!"

Tuuuutttt

Rian pun memutus sambungan teleponnya.

Arga pun duduk, dan menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Sungguh, ia merasa sangat khawatir. Pasti sangat sulit bagi gadis itu.

Ia tinggal sendirian dalam keadaan seperti itu.

Arga langsung menghampiri dokter begitu mereka keluar dari kamar rawat Mika.

"Bagaimana, dok?" tanya Arga sangat khawatir.

"Tidak ada yang serius. Karena perubahan cuaca yang cukup ekstrim, dan pertahanan tubuhnya yang lemah, membuatnya demam tinggi dan menggigil. Dia juga mempunyai gejala flu."

Arga sedikit bisa bernapas lega sekarang. Mungkinkah karena ia memilih rooftop tempo hari, makanya Mika jadi terserang flu?

"Kita hanya perlu menunggu demamnya turun saja. Nanti akan ada perawat yang memeriksanya dengan teratur. Anda tidak perlu khawatir." ucap sang dokter.

"Baiklah dok. Terima kasih," ucap Arga pelan.

"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu!"

"Eh tunggu, dok. Tapi dia sudah bisa dijenguk, 'kan?"

"Tentu saja."

"Sekali lagi terima kasih."

Setelah mengatakan itu, Arga langsung masuk ke dalam begitu dokter pergi. Ia duduk di kursi dekat kasur Mika.

"Ibu ..." Mika kembali mengigau.

Arga meraih tangan gadis itu, lalu menggenggam erat sisi tangannya yang tidak terpasang selang infus.

"Mika," panggil Arga pelan.

"Ibu, aku merindukanmu."

Setetes air mata jatuh perlahan dari mata Mika yang masih terpejam, seketika itu juga sebuah rasa menjalar di relung hati Arga.

Bagaimana gadis itu bisa tetap kuat hidup sendiri? Mika terlihat begitu rapuh. Ia pasti sangat kesepian selama ini.

Arga kembali teringat pesan dari ayah Mika untuk tidak membiarkan anaknya itu kesepian.

"Mika, bangun, ini saya Arga," lirih Arga.

Perlahan, Mika mulai membuka matanya.

"Ah, kepalaku." keluhnya.

"Kenapa? Apa sangat sakit?"

"Enggak. Hanya saja aku merasa sangat pusing. Kita di mana?" tanya gadis itu begitu menyadari bahwa ia tidak lagi berada di kamar orang tuanya.

Mika berusaha bangun, tapi Arga menahannya dan menyuruhnya tetap tidur.

"Rumah sakit. Kamu demam Mika."

"Hanya demam? Dan Mas langsung membawaku ke rumah sakit? Kita pulang saja ya? Aku nggak suka di sini! Yang kubutuhkan hanyalah istirahat yang cukup dan banyak minum air putih. Ayo kita pulang Mas ..." rengek Mika.

Sekali lagi Mika mencoba menegakan badannya, tapi kembali Arga tahan.

"Diamlah dan jangan protes! Kita akan pulang kalau kamu sudah sembuh total."

"Aku benci rumah sakit. Ayolah ..." rengek gadis itu lagi.

Cklek! Tiba-tiba pintu terbuka, dan muncul Rian dari balik pintu.

Mika langsung merengut kesal. Ia hanya demam, kenapa Arga harus bersikap berlebihan? Dan untuk apa ia memberitahu Rian?

Oh, malunya.

Tiba-tiba Mika menegakkan badannya dan menyingkap selimutnya.

"Mau ke mana?" sergah Arga sambil menahan pergelangan tangan Mika.

"Kamar mandi. Masa nggak boleh?!" tanya Mika pelan.

"Kamu bisa sendiri? Mau saya bantu?" tawar Arga.

"Jangan bercanda! Berikan tiang penyangga infus itu padaku!" sentak Mika meski terdengar sangat lemah.

Arga pun mengangkat tiang penyangga infus di sebelahnya, dan meletakannya di hadapan Mika.

Perlahan, gadis itu melangkah sambil mendorong tiang penyangga infusnya.

Tapi tiba-tiba dia berhenti dan nyaris terjatuh. Untung ada Rian di sana dan menangkapnya.

"Badan Mika gemetaran, Bang!" pekik Rian panik.

Arga pun langsung membantu Rian memindahkan Mika ke tempat tidurnya lagi.

"Aku cuma sedikit lemas." kata Mika pelan. Sangat pelan, bahkan hampir tidak terdengar.

Dan dia bilang sedikit lemas?

Dia bahkan tidak punya tenaga untuk berdiri.

"Nggak usah ngelawan, deh! Istirahat aja, kalau kamu bener-bener harus banget ke toilet, biar saya bantu! Kamu ini lagi sakit, jangan malah menyusahkan diri sendiri!"

Siapa pun tahu bahwa Arga sangat khawatir sekarang. Tapi tidak dengan Mika. Ia bertanya-tanya, mengapa Arga mengomelinya seperti itu.