Mika bergegas masuk ke dalam mobil, dan memberikan sebuah alamat kepada supir.
Ia memutuskan untuk menyusul Arga ke tempat pria itu biasa bermain bola setelah menelepon Arga dan menanyakan dimana keberasaan pria itu.
Masalah itu untuk diselesaikan, bukan dipikirkan saja. Jadi, lebih cepat ia mendiskusikannya dengan Arga, semakin baik.
Mika terus merasa gelisah selama di perjalanan, beberapa kali ia meminta kepada supir untuk melaju lebih cepat.
Gadis itu nampak gugup. Ia berpikir dengan keras bagaimana harus memulai. Tidakkah terlalu aneh jika ia langsung meminta Arga mengambil alih perusahaannya? Ayolah, pria itu bukannya pengangguran yang akan mengiyakan saja pekerjaan yang diberikan orang!
Oh, haruskah ia berbasa-basi dan bersikap manis terlebih dulu? Tapi, seperti apa? Seperti apa cara merayu pria dewasa yang begitu kaku seperti Arga?
Tidak, Arga bukan tipe pria yang suka berbasa-basi, akan lebih baik jika ia langsung mengatakannya saja kepada pria itu.
"Non, sudah sampai!" celetuk supir yang langsung membuyarkan lamunan Mika.
Mika menghela napas panjang, lalu dengan langkah penuh percaya diri, ia masuk ke dalam gedung, dan berjalan menuju lapangan.
Mika duduk di bangku penonton saat dilihatnya Arga sedang bermain di lapangan.
Tatapan mata mereka sempat bertemu, namun Mika buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Setidaknya pria itu sudah tahu bahwa ia ada di sana.
Mika menunggu dengan sabar hingga Arga selesai bermain, hingga pria itu berjalan dengan gagah menghampirinya.
"Kamu di sini?" tanya Arga sambil duduk di samping Mika. Pria itu meluruskan kedua kakinya setelah duduk.
"Mas, aku mau bicara." Mika memulai.
Arga melirik ke arah gadis itu dengan kening yang berkerut.
"Tumben, biasanya kalau mau ngomong sesuatu, kamu langsung ngomong aja!?" sahut Arga.
"Karena ini penting!"
"Penting?" tanya Arga semakin penasaran.
"Ini menyangkut masa depanku!" seru Mika pelan.
Arga tersenyum, lalu mengusap lembut puncak kepala Mika. Oh, dia mempelajarinya dari Rian. Adiknya itu bilang, semua perempuan menyukai saat prianya melakukan sesuatu seperti itu.
"Ya udah, kita ke kafe aja ya, biar lebih enak ngobrolnya." Arga berujar lembut. Mika sendiri hanya mengangguk dengan pasrah.
***
Arga memesankan beberapa cemilan dan minuman begitu mereka sampai di kafe.
Ia cukup heran mendapati Mika yang mendadak menjadi pendiam seperti itu. Mungkin gadis itu benar-benar sedang dalam masalah.
"Kamu mau ngomongin apa?" tanya Arga tanpa basa-basi.
"Mas tahu latar belakang keluargaku?" tanya Mika tiba-tiba.
"Tahu!" sahut Arga tanpa berpikir.
Sebelumnya ia memang sudah pernah menyelidiki segala sesuatu yang menyangkut diri Mika. Jadi, tentu saja ia mengetahui latar belakang keluarga gadis itu.
"Jadi orang kepercayaan ayah yang sebelumnya ditugaskan untuk menggantikan posisi ayah untuk sementara, bilang kalau para petinggi perusahaan ingin menunjuk tanteku sebagai pemimpin perusahaan, mereka bilang, itu sementara sampai aku cukup mampu mengambil alih," Mika memulai.
Arga tidak mengatakan apa pun dan hanya menyimak dalam diam.
"Masalahnya adalah, tanteku itu licik! Sebelumnya dia, dan suaminya bahkan pernah menghianati ayah dan membuat kami hampir kehilangan segalanya. Aku nggak bisa percaya sama dia! Gimana kalau dia melakukan sesuatu untuk membuat perusahaan ayah jatuh ke tangannya?!"
Arga mulai memahami kesulitan apa yang Mika alami. Dia tidak berdaya, dan butuh waktu yang cukup lama hingga gadis itu benar-benar mampu. Bisnis di bidang properti bukanlah sesuatu yang mudah.
"Jadi, aku tanya sama orang kepercayaan ayah kalau aja ada japan lain. Dan ..."
Ucapan Mika terhenti.
"Dan?" tanya Arga penasaran.
"Kami bisa mencegah tante berkuasa, kalau suamiku mau, dan mampu mengambil alih!"
Oh! Sekarang Arga tahu apa maksud dan tujuan Mika menemuinya.
Gadis itu ingin Arga mengambil alih posisi itu untuknya?
"Aku tahu Mas sangat mampu untuk itu, meski sangat diragukan kalau Mas mau melakukannya. Aku tahu ini nggak mudah. Tapi ini demi perusahaan yang sudah setengah mati ayah dirikan ..." Mika terdengar sangat frustrasi. Ia terdengar sangat kacau.
"Saya tahu, kamu menaruh harapan yang begitu besar pada saya. Akan tetapi, memimpin dua perusahaan yang berbeda, sungguh tidak mudah, Mika," Arga berujar pelan.
Mendengar ucapan Arga, membuat lutut Mika terasa lemas seketika.
"Tapi ini sangat penting untukku. Mas bisa mengambil alih perusahaan ayah, kalau Mas merasa kesulitan memimpin keduanya, Mas bisa serahkan semuanya pada Om Andri, orang kepercayaan keluarga kami! Mas hanya perlu bersedia saja untuk mempertahankan perusahaan ayah!" Mika memohon dengan sangat.
Ia benar-benar menaruh harapannya pada Arga. Hanya pria itu yang bisa ia andalkan untuk saat ini.
"Maaf Mika, tetap saja itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan."
Mika tersenyum miris. Jujur saja ia sangat kecewa mendengar jawaban Arga.
Mungkin bagi pria itu, perusahaan ayah Mika tidak penting, namun bagi Mika, itu adalah sesuatu yang sangat berarti. Keringat, darah, dan air mata ayahnya ada di dalam sana.
"Kalau begitu, ini menjadi akhir untuk rencana pernikahan kita juga, Mas!"
Mata Arga terbelalak sempurna begitu kalimat tersebut keluar dari mulut Mika.
"Kamu ini ngomong apa sih, Mika? Kenapa rencana pernikahan kita harus berakhir?" tanya Arga tak mengerti.
Mika menghela napas sangat panjang, lalu menyeruput jus alpukat di hadapannya.
"Mengingat betapa pentingnya perusahaan itu bagiku, aku harus mencari pria lain yang bisa kunikahi dan menyelamatkan semua jeri payah ayah! Mas sendiri tahu bahwa aku hanya gadis lemah yang nggak tahu apa pun mengenai bisnis! Aku takut akan kehilangan semuanya karena ketidakmapuanku ini." Mika hampir menangis saat mengucapkannya. Rasa takut menyelimuti gadis itu.
Ucapan Mika bagai petir yang menyambar relung hati Arga yang paling dalam. Ini pertama kalinya ia melihat sisi rapuh gadis yang akan dinikahinya itu.
"Lagipula, Mas nggak cinta sama aku, Mas kan hanya ingin memenuhi janji Mas sama ayah, dan menurutku, itu nggak jauh lebih penting dari menyelamatkan perusahaan ayah!"
Setelah mengatakan itu, Mika langsung beranjak pergi meninggalkan Arga yang hanya mematung di sana tanpa berusaha mencegahnya pergi.
Setengah berlari, gadis itu menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari kafe.
"Kita pulang, Pak!" seru Mika kepada supir.
Sekuat hati, Mika menahan agar air mata tidak jatuh membasahi pipinya.
Ia sungguh kecewa, satu-satunya orang yang bisa ia andalkan ternyata tidak mau mengambil resiko, dan berusaha menyelamatkan hal yang begitu berharga baginya itu.
Sesampainya di rumah, Mika langsung berlari ke kamarnya, dan menangis.
Ia takut, sangat takut! Bagaimana ia bisa melawan tantenya? Bagaimana ia bisa menjaga milik ayahnya?
Bagaimana?
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Tok tok tok!
"Mika, ini gue Jessi! Kok lo kunci sih pintunya? Gue udah nungguin lo dari tadi di bawah! Begitu dateng, malah langsung masuk ke kamar!" seru Jessi sambil mengetuk pintu kamar Mika.
"Aku lagi pengen sendirian, Jess!" teriak Mika.
"Ya udah, tapi inget, lo jangan overthinking! Kalo rencana lo gak berhasil, kita bisa cari jalan lain! Ada banyak jalan menuju Roma! Inget, 'kan?"