Seperti biasa hampir setiap hari Kallisra berusaha untuk bangun lebih dulu dari Gavin, agar dapat memasak untuk sarapan. Begitu pula dengan hari ini. Dan kini ia sedang berada di dapur seorang diri dan memasak untuk sarapan.
Namun tiba-tiba ia terperanjat saat merasakan sepasang tangan kekar yang melingkar di perutnya dan bahu kirinya yang terasa berat, seperti ada sesuatu yang membebaninya.
"Selamat pagi sayang" bisik seseorang tepat di telinganya.
"Pagi juga suamiku" ia menoleh dan tersenyum. Dan dapat ia lihat Gavin yang sedang berdiri di belakangnya sambil memeluknya dan menyandarkan kepala pada bahunya.
"Kau masak apa pagi ini?" Gavin bertanya, mengangkat satu alis dan menatap Kallista dari belakang. "Biar aku bantu, ya?"
"Tidak perlu sebentar lagi juga akan selesai" Kallista menggeleng, mengukirkan senyuman dan mengalihkan pandangan.
"Baiklah" jawab Gavin mengganggukkan kepala. "Ngomong-ngomong kenapa tidak membangunkanku?"
"Aku tidak tega" Kallista tersenyum dan mengaduk sesuatu yang sedang dimasaknya. "Lagipula kau terlihat begitu lelah, jadi mana mungkin aku tega mengusik tidurmu yang lelap itu"
"Kalau begitu aku minta maaf" ujar Gavin tanpa melepaskan pandangan dari Kallista. Seolah tidak ada objek lain yang menarik baginya.
"Tidak apa-apa kau tidak perlu minta maaf" Kallista menggeleng dengan senyum yang terukir di wajahnya. "Karena aku tahu kau pasti begitu lelah setelah hampir seharian hunting foto dan mencari objek menarik untuk kau ambil gambarnya"
"Terima kasih sayang, kau memang wanita yang pengertian" Gavin tersenyum. "Ngomong-ngomong apakah kau merasa terganggu jika aku memelukmu seperti ini?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat.
"Tentu saja tidak" Kallista menggeleng dan tersenyum. "Justru aku merasa senang karena masak sambil ditemani oleh suami idaman"
"Oh ya? Jadi menurutmu aku adalah seorang suami idaman?" Gavin bertanya dan mengangkat satu alis.
"Tentu" Kallista menggangguk dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya. Lalu ia menoleh. "Karena kau adalah seorang suami yang banyak diimpikan oleh para wanita di luar sana. Dan kuyakin mereka pasti merasa iri padaku karena dapat memiliki seorang suami yang sempurna seperti dirimu" katanya.
"Kalau begitu aku ucapkan terima kasih untuk pujiannya, dan aku merasa tersanjung" ujar Gavin, tersenyum dan kembali menaruh dagunya pada bahu Kallista.
"Sama-sama" Kallista tersenyum dan beralih menatap sesuatu yang sedang dimasaknya.
Beberapa kemudian Kallista mematikan kompor setelah masakan yang dimasaknya telah matang dan siap untuk disajikan.
Segera Gavin melepaskan pelukannya dan berdiri di sebelah Kallista. "Biar aku saja yang menuangnya ke dalam wadah" katanya.
Kallista hanya menggangguk dan sedikit bergeser.
Sedangkan Gavin, ia segera mengambil kain cempal dan mengangkat teplon. Lalu ia menuang makanan tersebut ke dalam sebuah wadah yang telah disiapkan. Setelah selesai ia kembali menaruh teplon di atas kompor, mengangkat wadah itu dan membawanya ke meja makan.
Sebuah senyuman pun langsung terukir di wajahnya Kallista. Ia benar-benar merasa begitu beruntung karena memiliki seorang suami seperti Gavin. Segera ia berjalan menghampiri suaminya itu dan berdiri di sebelahnya.
Melihat hal tersebut membuat Gavin segera menarik sebuah kursi yang berada di dekatnya. "Silahkan duduk tuan putri" ujarnya, beralih menatap Kallista dan mengukirkan senyuman.
"Terima kasih tapi aku bukan tuan putri" ucap Kallista, tersenyum dan mendudukkan tubuh pada kursi itu.
"Iya, kau memang bukan tuan putri tapi kau adalah ratu di kerajaanku" Gavin tersenyum dan menatap Kallista.
Kallista langsung terkekeh, menggelengkan kepala dan mengalihkan pandangan. "Sejak kapan kau pintar menggombal?" tanyanya.
"Sejak aku berhasil mendapatkan seseorang bidadari yang kini telah menjadi pendamping hidupku" jawab Gavin, tersenyum dan duduk pada sebuah kursi yang berada di dekat Kallista.
"Berhentilah merayuku karena pipiku jadi terasa panas" ujar Kallista, menundukkan kepala dan tersipu malu.
Namun Gavin hanya terkekeh dan mengacak rambutnya Kallista. Kemudian mereka menyantap sarapan bersama.
***
"Sayang"
Kallista yang sedang membaca majalah langsung menoleh dan melihat Gavin yang sudah rapi seakan bersiap untuk pergi keluar.
"Iya ada apa?" tanya Kallista.
"Aku pergi hunting foto dulu, ya?" ucap Gavin berdiri di dekat sofa dan menatap Kallista.
Segera Kallista menaruh majalah yang sedang dibacanya dan bangkit dari posisinya. Lalu ia terdiam, memperhatikan Gavin tanpa mengeluarkan satu patah katapun. Membuat pria itu merasa bingung.
"Iya suamiku, kau hati-hati di jalan dan jangan mengebut" jawab Kallista, tersenyum dan merapihkan pakaian suaminya.
Namun Gavin hanya terdiam, menatap Kallista yang berdiri di depannya tanpa mengatakan apa-apa.
"Dan jangan lupa makan siang" tambah Kallista, beralih menatap Gavin dengan senyum yang masih terukir di wajahnya.
"Tentu" Gavin menggangguk dan mengukirkan senyuman. Lalu ia sedikit membungkukkan tubuhnya dan mengusap perut Kallista yang sudah mulai membuncit. "Hallo sayang, kau sedang apa di dalam sana? Apakah kau tahu? Ayah sudah tidak sabar menunggumu lahir ke dunia ini dan menggendong tubuh mungilmu"
"Kurasa ia tidak akan mendengarmu" Kallista terkekeh.
"Oh ya?" tanya Gavin, beralih menatap Kallista dan mengangkat satu alis. "Tapi biasanya para Ibu hamil sering memasangkan headphone pada perutnya dan memutar sebuah musik"
"Benarkah?" Kallista bertanya dan Gavin hanya menggangguk. "Apakah itu berarti ia bisa mendengar yang kita katakan?"
"Sepertinya begitu" jawab Gavin mengganggukkan kepala dan beralih menatap perut buncit Kallista. "Hanya saja ia tidak bisa menjawab yang kita katakan" ia melanjutkan dan tersenyum. Lalu ia mendekatkan wajah, memejamkan mata dan mengecup perutnya Kallista. "Ayah sangat menyayangimu, baik-baiklah di dalam sana nak"
Namun Kallista hanya tersenyum, memperhatikan pemandangan tersebut dan tanpa mengatakan apa pun.
Kemudian Gavin menegakkan tubuh, menatap Kallista dan mengukirkan senyuman. "Ya sudah kalau begitu aku berangkat dulu, kau juga baik-baik di rumah dan jaga dirimu. Jika ingin sesuatu jangan sungkan untuk menghubungiku karena aku pasti akan membelikannya. Apalagi jika itu adalah keinginan bayi yang berada di dalam perutmu" jelasnya.
"Tentu" Kallista menggangguk dan tersenyum. Lalu ia mendekatkan wajah pada Gavin, memejamkan mata dan mengecup bibir pria itu.
Melihat hal tersebut membuat Gavin merasa bingung, mengerutkan dahi dan bertanya-tanya pada dirinya. Sebab tidak biasanya Kallista bersikap manis padanya. Bahkan itu adalah pertama kalinya ia mendapat ciuman dari wanita itu. Karena sejak awal mereka menikah Kallista tidak pernah sekalipun menciumnya. Walaupun hanya kecupan di pipi. Belum lagi sampai saat ini mereka tidak pernah melakukan hubungan tersebut yang biasa dilakukan oleh sepasang suami istri. Namun Gavin tidak pernah mempermasalahkannya karena ia tahu bahwa Kallista tidak pernah cinta padanya, dan hanya terpaksa menikah dengannya.
Kallista melepaskan kecupannya, menjauhkan wajah dari Gavin dan mengukirkan senyuman. "Ingat, hati-hati jalan. Dan jangan mengebut karena keselamatan adalah yang utama" katanya.
"Tentu, aku akan berhati-hati dan tidak mengebut seperti perintahmu" Gavin menggangguk dan tersenyum. "Dan sampai bertemu nanti sayang" katanya. Kemudian ia membalikkan tubuh dan beranjak pergi untuk hunting foto.