"Kenapa ia belum juga pulang?" Kallista bergumam, menatap layar televisi yang sedang menayangkan sebuah acara.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 malam, tapi Gavin belum juga pulang. Sehingga membuat Kallista merasa khawatir dan tidak bisa berhenti memikirkan suaminya.
Ia menghela nafas, mengambil ponsel di atas meja dan menatap layarnya yang tidak terdapat satupun notifikasi. "Apakah ponselnya masih tidak aktif?" ucapnya bertanya-tanya pada dirinya. "Sebaiknya aku coba hubungi lagi saja.
Kemudian ia membuka buku telepon, mencari nama pria itu dan menghubungi nomornya. Lalu ia mendekatkan ponsel pada telinga dan menunggu nada terhubung berbunyi.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif silahkan menghubungi beberapa saat lagi"
"Kenapa masih tidak aktif?" ia mendengus kesal, menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap layarnya.
Namun ia tidak sengaja mendengar suara pintu mobil yang ditutup. Segera ia bangkit dari sofa yang diduduki, meletakkan ponsel di atas meja dan berjalan untuk membukakan pintu dan melihat siapakah itu.
Setelah sampai di dekat pintu ia langsung membukanya, dan dapat ia lihat Gavin yang sedang berdiri di dekat mobilnya dan membuka bagasi.
Sebuah senyuman langsung terukir di wajah Kallista saat ia melihat pria itu yang sedang berdiri di depan sana. Segera ia berjalan keluar dan menghampiri suaminya itu.
"Gavin!" katanya, menghentikan langkah dan berhambur ke pelukan Gavin membuat pria itu sedikit terkejut.
"Ada apa sayang?" tanya Gavin terlihat heran dan membalas pelukan Kallista.
"Tidak apa-apa" Kallista menggeleng, melonggarkan pelukan dan menatap Gavin. "Dan kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?"
"Maafkan aku sayang, baterai ponselku habis karena tadi sebelum pergi hunting foto aku lupa mengisinya" jawab Gavin mengusap rambut panjang Kallista. Lalu ia membalikkan tubuh dan mengambil sesuatu dari dalam bagasi. "Dan aku baru pulang karena aku membelikan ini untukmu terlebih dahulu" ia melanjutkan memberikan sebuah paperbag pada Kallista.
"Ini apa?" Kallista bertanya, mengambil paperbag tersebut dengan dahi yang mengerut.
"Buka saja nanti kau akan mengetahui isinya" Gavin tersenyum dan menatap Kallista yang berdiri di depannya.
Segera Kallista membuka paperbag tersebut, namun dahinya mengerut saat melihat sebuah kotak yang berada di dalamnya. "Kenapa isinya kotak?" tanyanya beralih menatap Gavin.
"Di dalam kotak tersebut ada sesuatu untukmu, jadi kau harus membukanya" jawab Gavin dengan senyum yang terukir di wajahnya.
"Sepertinya kau berhasil membuatku penasaran" ucap Kallista mengeluarkan kotak tersebut dari dalam paperbag.
Namun Gavin hanya tertawa pelan dan memperhatikan Kallista.
"Tas?" Kallista berkata setelah ia membuka kotak tersebut dan melihat isinya.
"Iya" Gavin menggangguk. "Apakah kau menyukainya?" tanyanya mengangkat satu alisnya.
"Sangat" jawab Kallista mengganggukkan kepala. "Kau tahu? Beberapa hari lalu aku tidak sengaja melihat tas ini di internet, aku merasa tertarik dan ingin membelinya. Namun aku berpikir pasti harganya cukup mahal, sehingga aku mengurungkan niat tersebut" jelasnya beralih menatap benda itu yang berada di dalam kotak tersebut. "Tapi ternyata sekarang tas ini ada di depan mataku, rasanya seperti mimpi. Dan aku merasa begitu senang. Terima kasih Gavin" sambungnya memeluk pria itu dengan erat.
"Sama-sama sayang" Gavin tersenyum dan membalas pelukan Kallista. "Aku merasa senang jika kau menyukainya, karena aku sempat berpikir kalau kau tidak suka tapi ternyata aku salah"
"Justru aku merasa sangat suka, dan seperti mendapat hadiah terindah" Kallista berkata, melepaskan pelukan dan mengukirkan senyuman. "Oh ya ayo kita masuk, aku sudah memasak untuk makan malam. Dan aku yakin kau pasti akan menyukainya."
"Benarkah?" Gavin mengangkat satu alis dan Kallista hanya menggangguk. "Aku jadi tidak sabar ingin segera mencicipinya" katanya dengan senyum yang terukir di wajahnya. "Kalau begitu ayo kita masuk ke dalam" ajaknya. Kemudian ia membalikkan tubuh dan menutup bagasi mobilnya.
Sedangkan Kallista, ia hanya terdiam dan memperhatikan pria itu yang telah menjadi suaminya.
"Ayo kita masuk" ujar Gavin, membalikkan tubuh dan merangkul bahu Kallista. Lalu mereka berjalan dan melangkah masuk ke dalam rumah.
***
Hari telah berganti, dan saat ini Gavin dan Kallista sedang duduk di ruang keluarga.
"Sudah lama aku tidak mengambil gambarmu" ujar Gavin menatap sebuah kamera yang sedang dipegangnya.
"Iya kau benar" Kallista menggangguk dan menoleh ke arah Gavin yang duduk di sebelahnya. "Sejak kau memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu. Kau tidak pernah mengambil gambarku lagi. Bahkan kita jadi jarang bertemu karena sibuk dengan urusan masing-masing"
"Kalau begitu aku akan mengambil gambar dirimu lagi" Gavin berkata dan mengarahkan kamera pada wanita itu.
"Tidak mau! Aku sedang tidak cantik dan nanti hasilnya tidak bagus" Kallista menggeleng dan segera menutupi wajah dengan telapak tangannya.
"Tidak apa-apa sayang kan bukan untuk disebar luaskan tapi hanya untuk disimpan dan dijadikan kenangan" Gavin tersenyum.
"Tetap saja aku tidak mau" jawab Kallista menggelengkan kepala tanpa menyingkirkan tangan dari wajahnya.
"Ayolah sayang 1 kali jepretan saja" Gavin memohon dan menatap Kallista. Namun wanita itu hanya menggeleng. Segera Gavin menyingkirkan tangan Kallista dan langsung mengambil gambarnya.
Cekrek!
Kamera itu langsung berbunyi setelah berhasil mengambil gambarnya Kallista.
"Bagaimana hasilnya? Pasti jelek ya?" Kallista bertanya dan mendekat pada suaminya.
"Kata siapa hasilnya jelek?" Gavin menoleh dan mengangkat satu alisnya. "Hasilnya bagus dan juga lucu" jawabnya beralih menatap kamera miliknya dan tersenyum.
"Benarkah?" tanya Kallista dan Gavin hanya menggangguk. "Bolehkah aku melihatnya?"
"Tentu" jawab Gavin mengganggukkan kepala, mengukirkan senyuman dan memberikan kameranya pada Kallista.
Segera Kallista mengambil benda tersebut dan menatap layarnya. "Benar, hasilnya lucu dan juga bagus" katanya menggangguk dan beralih menatap Gavin.
"Kan sudah aku bilang kalau hasilnya tidak jelek" Gavin berkata dan menatap Kallista dari samping.
Kallista hanya menggangguk. Lalu ia mengarahkan kamera pada Gavin yang duduk di sebelahnya. "Sekarang aku yang akan mengambil gambarmu. Karena selama ini kau yang selalu mengambil gambarku" ujarnya.
Namun Gavin langsung merendahkan tubuhnya pada sofa dan menyembunyikan wajahnya membuat Kallista tidak bisa mengambil gambarnya.
"Ih sayang jangan seperti itu aku jadi tidak bisa memotret dirimu" rengek Kallista, mengerucutkan bibir dan menarik-narik lengan baju Gavin.
Tapi Gavin hanya tertawa dan tetap menyembunyikan wajahnya pada sofa dengan tubuh yang masih ia bungkukkan.
"Ya sudah kalau tidak mau" Kallista mendengus, menaruh kamera milik suaminya di atas meja dan melipat tangan di dada.
Perlahan Gavin mengangkat tubuhnya dan kembali duduk dengan tegak. Namun ia langsung menahan tawa saat melihat ekspresi wajahnya Kallista yang membuatnya menjadi gemas. "Sepertinya ada yang sedang merajuk" candanya mencolek dagu istrinya.
"Diam! Jangan sentuh-sentuh aku" ucap Kallista, menepis tangan suaminya dari wajahnya.
Namun Gavin malah tertawa dan menarik Kallista ke dalam pelukannya. "Maafkan aku sayang, aku hanya bercanda" katanya mengusap kepalanya Kallista.
Kallista hanya terdiam, menyandarkan kepala pada dada bidang suaminya tanpa mengatakan apa-apa. Tetapi di dalam lubuk hatinya ia mulai merasa nyaman saat berada di dalam pelukan pria itu. Bahkan ia juga merasa senang saat Gavin memanjakannya.