Kedua mata mereka bertemu, saling menatap penuh dengan kekesalan kedua-duanya.
"Bukankah ini mau kamu?! Bukankah ini yang kamu inginkan?!" teriak Leo.
"Kenapa kamu marah padaku?!" balas Kiara berteriak. "Harusnya aku yang marah padamu!" Dada Kiara naik turun menahan emosi, matanya tajam menatap Leo.
"Astaga, bocah ini!" Leo memijat pelipisnya yang terasa pening. "Ke luar! Jangan menguji kesabaranku," ucap Leo berusaha menahan emosinya.
Kiara terdiam, matanya tetap menatap tajam Leo. "Aku tidak mau ke luar!"
"Ke luar!" Leo menghidupkan mesin mobilnya.
"Tidak mau! Kenapa kamu marah padaku?!"
"Kalau kamu tidak ke luar sekarang, selamanya kamu tidak akan aku lepaskan. Dan jangan menyalahkan aku dengan apa yang akan aku lakukan padamu nantinya." Ancam Leo.
"Aku tidak takut padamu! Kamu bawa ke ujung dunia sekali pun, aku tidak takut!" Kiara malah balas menantang Leo.
Leo tersenyum sinis melihat Kiara. "Kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Aku tidak takut dengan apa pun. Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu marah padaku?!"
"Dasar bocah ingusan. Keluarlah, aku tidak mau berurusan denganmu," ucap Leo melunak.
"Tidak, aku tidak mau." Kiara malah memegang sabuk pengaman yang ada di didadanya.
"Baiklah, kamu ingin tahu kenapa aku marah bukan?" tanya Leo.
Kiara tidak menjawab, menunggu Leo melanjutkan bicaranya.
"Aku tidak marah padamu, aku marah dengan kebodohan aku sendiri." Leo menatap lurus ke depan. "Kamu tidak menyukaiku, kenapa aku harus memaksamu? Kamu cukup mengerti bukan dengan maksud perkataanku." Leo melihat Kiara. "Sekarang, keluarlah. Aku membebaskan dirimu."
Kiara terdiam. Entah perasaan apa yang dia rasakan sekarang, harus bahagia atau menangis. Harusnya bahagia bukan? Bukankah ini yang dia inginkan? Tetapi kenapa hati ini terasa sakit.
"Kenapa diam? Aku sudah menjelaskan semuanya. Aku kembalikan semuanya seperti semula. Kamu dengan kekasihmu dan aku dengan kehidupanku. Bukankah itu yang kamu inginkan? Sekarang keluarlah."
Kiara melihat Leo. "Leo, aku --- ." Kiara menggantung ucapannya.
"Aku membebaskan kamu. Pergilah sebelum aku berubah pikiran. Kalau kamu tidak pergi, aku tidak akan melepaskanmu lagi." Leo menatap Kiara tajam.
Beberapa detik Kiara terdiam, kemudian membuka sabuk pengamannya. "Leo, maafkan aku." Kiara pun ke luar dan pergi tanpa melihat lagi ke belakang. "Mungkin ini yang terbaik, semuanya akan baik-baik saja." Gumam Kiara membuka pintu pagar lalu masuk.
Leo langsung menghidupkan mesin mobilnya, melaju kencang membelah jalanan Ibukota.
"Bu, Ibu, Kiara pulang." Teriak Kiara, masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci.
"Kiara, Kiara. Ke mana saja kamu? Ibu sangat cemas memikirkan kamu." Ibu muncul dari arah dapur dengan tergesa-gesa.
"Kiara baik-baik saja Bu, jangan khawatir." Kiara memeluk Ibunya, sejujurnya dirinya tidak merasa baik-baik saja. Dirinya ingin menangis tetapi menangis untuk apa. Ada kesedihan yang bergelayut dihatinya.
"Ibu dari pagi menghubungi ponselmu tetapi tidak terhubung."
Kiara membuka tasnya. "Lihatlah Bu, baterainya habis." Kiara memperlihatkan ponselnya kepada Ibu.
"Yang penting sekarang kamu sudah pulang dalam keadaan selamat. Terima kasih Tuhan telah melindungi anakku." Ibu tersenyum bahagia, meskipun umurnya sudah tidak muda lagi tetapi masih terlihat jelas, garis kecantikan di wajahnya. "Ke mana kamu semalaman? Tidur di mana? Ibu menghubungi ponselmu, yang menjawabnya laki-laki yang bernama Leo."
"Ibu telepon aku jam berapa?" tanya Kiara.
"Sekitar jam 3 atau jam 4, Ibu lupa. Orang itu bilang kamu sedang tertidur. Kamu tidur di mana?"
"Apa Bagas ada mencariku?" tanya Kiara mengalihkan pertanyaan Ibunya.
"Tidak. Tadi pagi Ibu menghubunginya tetapi sampai sekarang dia tidak menghubungi Ibu lagi. Kenapa kamu tidak pulang dengan keluarga Bagas. Bukankah mereka yang mengajakmu?" Ibu mengomel kesal.
"Ceritanya panjang Bu, nanti Kiara ceritakan. Sekarang Kiara mau mandi. Ibu masak apa? Kiara lapar."
"Ibu tadi masak sayur kesukaanmu dan ayam goreng. Mandilah dulu nanti Ibu siapkan."
Kiara pergi ke kamarnya, wajahnya terlihat kusut sekali. Dikuncinya pintu kamar, melangkah ke tempat tidur dan berbaring. "Kenapa aku merasa sedih? Ada apa denganku?"
...
Di tempat lain, di dalam mobil. "Halo. Bayu. Di mana?" Selesai menelepon, ponsel di lempar sembarangan ke kursi. Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi, menerobos jalanan Ibukota. Beberapa menit kemudian sampailah di depan sebuah gedung Apartemen.
"Bayu, buka. Aku di luar!" Ponsel yang dipakai untuk menghubungi Bayu menjadi sasaran kemarahannya.
Pintu terbuka dari dalam. "Masuk." Dibukanya pintu lebar-lebar. "Ada angin apa seorang Leonardo datang ke sini?" tanya Bayu yang masih mengenakan piyama tidurnya.
Leo langsung menerobos masuk ke dalam, mencari lemari es dan langsung meminum sebotol air tanpa tersisa.
"Melihat kelakuanmu seperti itu, aku yakin kamu pasti sedang dalam masalah." Bayu duduk di sofa, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Kenapa? Salah satu wanita yang kamu tiduri hamil dan sekarang minta tanggung jawab?" Bayu tersenyum meledek.
Leo duduk di depan Bayu, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Wajahnya terlihat sangat kusut.
Bayu memperhatikan Leo. "Tadi, Pak Kuncoro telepon. Minta nomor kontakmu." Bayu menghisap rokoknya dalam-dalam. "Kamu bawa kabur anak gadis orang? Di bawa ke mana si Kiara?"
Beberapa saat Leo terdiam. "Dia sudah aku antar pulang. Barusan."
"Di bawa ke mana si Kiara? Kamu tidak merusaknya bukan?"
Leo tersenyum sinis. Dihembuskannya asap rokok sehingga menutupi sebagian wajahnya. "Dia aman, masih di segel."
"Muka kamu kusut begitu, apa ini ada hubungannya dengan gadis itu?" tanya Bayu menyelidik.
"Tidak akan ada lagi hubungannya dengan gadis itu. Semuanya sudah selesai."
"Kenapa? Dia menolak kamu?" tanya Bayu menahan tawa.
Leo terdiam, pikirannya entah berada di mana. Perasaannya tidak menentu.
Melihat tidak ada reaksi dari Leo, akhirnya Bayu juga ikut terdiam. "Sepertinya dugaanku tepat. Betapa terpukulnya harga dirinya di tolak gadis itu. Seorang Leonardo, kenapa selalu kalah dalam soal asmara?" Bayu berbicara sendiri dalam hatinya.
...
Di rumah Kiara, Ibu sedang asyik menonton acara sinetron kesayangannya. Kiara yang baru selesai makan, langsung duduk di samping Ibunya. "Bu."
Ibu menoleh ke anaknya. "Kamu belum cerita, semalam kamu tidur di mana?"
Kiara menghela napas panjang. Kakinya di angkat ke sofa mencari posisi senyaman mungkin. "Kiara tidur di rumah Pak Leo."
"Siapa Pak Leo, Ibu baru dengar namanya."
Kiara lalu menceritakan secara detil kejadian semalam kepada Ibunya. "Waktu Ibu telepon ke ponsel Kiara, Pak Leo bicara apa Bu?"
"Dia hanya bilang katanya kamu tertidur. Penyakit kamu memang begitu, kalau sudah tidur meskipun dunia kiamat kamu tidak akan bangun." Gerutu Ibunya. "Kebiasaan jelek."
"Terus Bagas bilang apa waktu Ibu meneleponnya," tanya Kiara lagi.
"Katanya kamu sudah pulang dari semalam. Tentu saja Ibu khawatir, kenapa tidak sampai ke rumah."
Kiara terdiam beberapa saat. "Kiara mau telepon Bagas, mungkin dia khawatir." Kiara lalu pergi ke kamarnya. Terlihat ponselnya bergetar, Kiara mengangkatnya. "Halo."
Dari ujung telepon, terdengar suara Bagas yang khawatir. "Halo, sayang. Aku sangat mencemaskanmu. Ke mana saja kamu? Kenapa tidak langsung pulang semalam? Di mana kamu tidur semalam? Apa kamu baik-baik saja? Di mana kamu sekarang."
"Satu-satu tanyanya, aku harus menjawab yang mana dulu," jawab Kiara tersenyum membayangkan wajah kekasihnya yang panik.
"Aku sangat mencemaskanmu. Kalau tahu kamu akan menghilang seperti semalam, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengantarmu pulang."
"Aku baik-baik saja. Tidak terluka sedikit pun. Pak Leo menjagaku dengan baik. Dia yang mengantarku pulang dengan selamat. Jangan cemas lagi, sekarang aku sudah di rumah bersama Ibu."