Kiara hanya diam saja ketika Silvi melihat kearahnya. Tidak ada yang harus dijelaskan, semuanya telah berakhir.
"Kiara, apa yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Silvi setelah Ibu masuk kedalam kamar, mau beristirahat.
"Tidak ada yang aku sembunyikan karena memang tidak ada apa-apa," jawab Kiara sambil mengunyah kue.
"Benarkah?" tanya Silvi, tidak percaya. "Kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku."
"Drama banget sih. Sudah sore, tidak mau pulang?" tanya Kiara mengalihkan pembicaraan.
"Kamu mengusirku? Tadi suruh masuk sekarang suruh pulang." Silvi mengerucutkan bibirnya.
"Bukan mengusir, ini sudah sore. Nanti Ibu kamu cari-cari." Kiara menahan tawa melihat muka sahabatnya yang kesal.
"Bilang saja mengusir, bawa-bawa Ibuku segala." Silvi cemberut.
Siasat Kiara berhasil, Silvi lupa dengan pertanyaannya yang tadi. "Kalau mau menginap juga nggak apa-apa asal tidur di luar."
"Enak saja, masa anak perawan tidur di luar." Silvi bangun dari duduknya. "Aku mau pulang, sudah diusir sama yang punya rumah."
Kiara tersenyum. "Mau bawa kue nggak? Bukan buat kamu tetapi buat Ibumu."
"Ikhlas ngga?" tanya Silvi. "Mau kasih kue segala, sekarang saja aku diusir.
"Ikhlas, mau sekalian di bawa dengan toplesnya juga nggak apa-apa." Kiara masuk ke dalam, tidak lama kemudian ke luar lagi dengan membawa kantung plastik. "Ini untuk Ibu, bukan untuk kamu."
"Pelit, tetapi terima kasih sahabatku yang cantiknya selangit." Silvi menerima kantung plastik, lalu cepat-cepat pergi.
"Pintu pagarnya di kunci lagi ya!" teriak Kiara. "Yang benar kuncinya."
Silvi membalas dengan mengepalkan tangannya. "Awas, tidak mau mengantarku. Sekarang pakai acara suruh tutup pagar lagi."
Kiara tertawa melihat sahabatnya cemberut di ujung pagar. "Sampai besok, Silvi cantik!" teriak Kiara.
.....
Evelyn berjalan dengan tergesa-gesa, tangannya penuh dengan kantung belanjaan. Pintu Apartemen di bukanya perlahan untuk memastikan ada orang atau tidak di dalam. "Sepi," gumamnya.
Kantung belanjaan disimpannya di atas meja, dia sendiri melanjutkan langkahnya menuju ke kamar. Perlahan dibukanya tas tangan yang dari tadi dia pegang erat. Terlihat sebuah kotak kecil perhiasan berwarna merah Evelyn keluarkan. "Apa yang diinginkan orang itu sehingga dia rela membelikan aku perhiasan semahal ini?"
Tak ... tuk ... tak ... tuk ...
Terdengar langkah suara sepatu dari luar kamar. "Evelyn, kamu sudah pulang?"
Evelyn yang berada di dalam kamar, cepat-cepat memasukkan kotak perhiasan ke dalam tasnya kembali lalu bergegas ke luar dari kamar. "Nathan, aku di sini."
Nathan yang sedang mengambil air minum di kulkas melihat ke asal suara. "Tumben sudah pulang? Tidak jalan-jalan dulu bersama teman-temanmu."
"Tidak mau, mereka pasti pamer dengan memperlihatkan barang-barang branded, sementara aku? Menjadi penonton? Barangku sudah habis kamu jual untuk kebutuhan hidup kita." Evelyn duduk di meja makan.
Nathan duduk disebelah Evelyn. Wajahnya terlihat sangat kusam. "Aku sudah ke luar masuk kantor mencari pekerjaan tetapi tidak ada satu pun yang menerimaku."
Evelyn tidak menjawab, diambilnya bungkusan yang tadi disimpan di atas meja. "Aku tadi membeli ini."
Nathan melihat ke tangan Evelyn yang sedang memegang sepasang sepatu high heels. "Kenapa kamu beli sepatu? Bukankah kamu bilang kalau uang kita tinggal sisa sedikit."
"Uang kita?! Uang aku! Terserah aku, mau dipakai untuk apa? Kamu tidak pernah memberiku uang!"
Nathan menatap Evelyn tajam. "Apa maksud kamu?!'
Evelyn balik menatap tajam Nathan, ada kilatan amarah di sorot matanya. "Selama ini uang yang kita gunakan adalah uangku. Kamu tidak pernah memberikan apa pun untukku. Selama ini kamu hanya menumpang hidup denganku!"
Nathan sungguh kaget mendengar Evelyn bisa bicara seperti itu. Walau pun kenyataannya memang seperti itu tetapi hatinya sungguh tidak menduga kalau Evelyn bisa dengan berani mengatakannya langsung. Tanpa menjawab apa yang barusan Evelyn katakan, Nathan beranjak dari duduknya melangkah masuk ke dalam kamar.
Sudah habis kesabaran Evelyn, dirinya benar-benar muak. "Aku muak dengan semua ini."
...
Detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari terus berganti meninggalkan waktu yang tidak akan pernah kembali dan terulang kembali.
Ujian akhir Sekolah telah selesai. Kebersamaan dan canda tawa telah mewarnai hari-hari mereka. Tinggal menghitung hari mereka masih bisa bersama. Wajah letih setelah menghadapi soal-soal ujian yang membuat sakit kepala, sekarang tergantikan dengan wajah-wajah yang penuh harapan.
"Bagas," panggil Kiara dengan wajah ceria menghampiri kekasihnya yang sedang berjalan dengan Anto.
Bagas tersenyum melihat kekasihnya. "Ceria sekali. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa. Kamu mau pulang?" tanyanya tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapih.
"Aku mau pergi dengan Anto, ada acara dengan anak-anak. Kamu mau ikut?"
"Nggak, pasti di sana cowok semua. Aku tadinya mau ajak kamu pulang bareng tetapi kamu ada acara." Kiara memasang wajah kesal.
"Kamu telat kasih tahunya. Aku sudah janji dengan teman- teman. Lain kali saja ya." Bagas membetulkan poni Kiara yang tertiup angin. "Biasanya kamu pulang dengan Silvi, kenapa tidak bareng dengannya?"
"Silvi tadi pulang buru-buru katanya ada acara di rumah kakeknya."
Anto yang dari tadi cuma sebagai pendengar ikut berbicara. "Manja banget, biasanya juga naik bus."
Kiara melihat Anto. "Bukan urusanmu. Sirik saja."
"Jadi ikut ngga? Nanti telat lagi." Anto melangkah pergi menuju tempat parkir.
"Sayang, maaf ya. Aku janji, lain kali kita pulang bareng. Hati-hati dijalannya, nanti aku telepon kamu. Aku pergi dulu." Bagas memeluk Kiara sebentar lalu pergi dengan terburu-buru menyusul Anto yang sudah menghidupkan motornya.
Kiara melihat Bagas sampai menghilang di gerbang Sekolah. "Aku pulang sendirian," gumamnya pelan. Perlahan Kiara melangkahkan kakinya. "Sudah pulang semua, sepi sekali."
"Neng Kiara," sapa seseorang dari belakang.
Kiara menoleh ke belakang. "Bapak, ngagetin saja." Kiara tersenyum begitu tahu siapa yang menegurnya.
"Sendirian Neng? Biasanya pulang dengan Neng Silvi," tanya penjaga Sekolah.
"Iya, sendirian. Silvi tadi ada keperluan dengan keluarganya," jawab Kiara.
"Kalau begitu Neng Kiara hati-hati, sekarang lagi musim culik. Kemarin Bapak lihat di berita, ada anak Sekolah yang menghilang katanya diculik."
Kiara tersenyum. "Terima kasih Pak. Aku akan hati-hati. Aku pulang dulu ya Pak."
"Iya Neng, silahkan." Penjaga pun segera menutup pintu gerbang setelah Kiara ke luar.
Kiara berjalan menyusuri trotoar yang berdebu. Sekali-kali melihat ke arah jalan, takut terlewat kendaraan yang ditunggunya. "Kenapa lama sekali? Matahari sangat tidak bersahabat." gumamnya. Kiara berhenti di bawah pohon yang daunnya rindang. "Berteduh di sini saja."
Jalanan Ibukota memang tidak pernah sepi dari kendaraan yang berlalu lalang, hiruk pikuk orang-orang yang berjuang di jalan untuk mengais rejeki merupakan pemandangan sehari-hari. Kerasnya Ibukota mewajibkan mereka untuk berjuang mencari sepeser demi sepeser rupiah demi mempertahankan hidup.
Kiara memperhatikan seorang anak kecil yang sedang menjajakan dagangannya berupa kue-kue kering yang dikemas dalam plastik yang diikat pita-pita kecil berwarna-warni.
"Kasihan anak itu. Seharusnya anak seumuran dia sedang bermain bersama teman-teman sebayanya. Walau pun masih kecil tetapi dia gesit sekali menawarkan dagangannya." Kiara tersenyum melihat anak itu.
Matahari semakin terik, Kiara merasakan kakinya pegal terlalu lama berdiri menunggu bus. Bulir-bulir keringat sudah terlihat di dahinya. "Lama sekali, kenapa bus tidak ada?" gumamnya sambil mengelap keringat yang ada dilehernya dengan tisu.
"Kakak, sedang menunggu apa di sini?" terdengar suara anak kecil dari sampingnya.
Kiara sedikit menundukkan kepalanya. "Apa De?" Tanya Kiara karena tadi kurang jelas mendengar.
"Kakak sedang menunggu apa di sini?" tanyanya ulang.
"Menunggu bus tetapi dari tadi tidak ada yang lewat." Ternyata yang menegurnya adalah anak kecil penjual kue yang tadi dia perhatikan.
Anak kecil itu tersenyum. "Sampai malam juga bus tidak akan lewat."
"Kenapa? Biasanya juga banyak yang lewat," jawab Kiara.
"Aku dengar kalau hari ini bus tidak lewat karena rutenya dialihkan. Di sana ada demo jadi ada pengalihan jalan. Begitu yang aku dengar dari pengendara lain."
"Pantas saja, aku dari tadi menunggu di sini tidak ada satu pun bus yang lewat. Sialan, cuma buang-buang waktu saja. Sampai berkarat kakiku berdiri dari tadi. Sialan, benar-benar sialan." Kiara mengomel sendiri. "Naik apa aku pulang?"
Gadis kecil itu pergi begitu saja melihat Kiara yang sedang mengomel sendiri.
Kiara beranjak dari tempatnya berdiri, berjalan menelusuri trotoar yang berdebu. Mencoba untuk mencari kendaraan lain yang bisa membawanya sampai ke rumah.
.....
Di jalan lain di tempat lain, terlihat sebuah kendaraan sedang melaju dengan kencang. Tidak menghiraukan cacian orang bahkan makian pengendara lain, tetap saja menjalankan kendaraannya dengan kencang.
"Hari ini benar-benar sial. Kalau aku tidak bisa mengalahkannya, jangan panggil namaku Leonardo. Aku akan menghancurkannya!" Leonardo melampiaskan kemarahannya dengan menyetir secara ugal-ugalan. Entah apa yang terjadi dengan dirinya sehingga membuat emosinya memuncak. "Aa..Aaa...,!!" Leo berteriak di dalam mobilnya, sesekali dipukulnya setir yang sedang dia pegang.
Dreet ... dreet ... dreet
Ponselnya bergetar di dalam saku jasnya. Dilihatnya nama yang tertera dilayar ponsel. "Halo, Serly." Leo terdiam mendengarkan jawaban dari seberang telepon. "Baiklah, kalau itu mau kamu. Jangan kecewakan aku." Leo langsung menutup ponselnya, tersenyum. "Lebih baik aku bersenang-senang."
Mobil melaju dengan tidak mengurangi kecepatannya hingga tiba-tiba saja, seseorang dengan setengah berlari muncul dari arah yang tidak terduga hendak menyeberang. "Aaaa ....!!"
Mobil yang sedang melaju kencang secara refleks membanting ke arah kiri untuk menghindari orang tersebut, alhasil mobil pun menabrak pohon yang berdiri kokoh dipinggir jalan.
Leonardo tampak terkejut di dalam mobilnya, wajahnya pucat pasi. Dilihatnya, tubuhnya sendiri yang tidak terluka sedikit pun. "Astaga, kurang ajar! Aku hampir mati, untung saja hanya mobilku yang rusak." Leo segera ke luar dari dalam mobilnya untuk melihat keadaan di luar. "Siapa orang gila yang tiba-tiba menyeberang begitu saja?!" Leo langsung menghampiri orang yang hampir saja ditabraknya.
Orang-orang yang kebetulan berada di dekat kejadian langsung datang ingin melihat apa yang terjadi. "Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa? Apa ada yang terluka?" Terdengar banyak pertanyaan yang ke luar dari mulut mereka. Dalam sekejap banyak orang yang berkerumun.
"Kamu?!" Leo hampir tidak percaya setelah melihat siapa orang yang hampir ditabraknya.