"Kamu?" Leo hampir tidak percaya setelah melihat siapa orang yang hampir ditabraknya. "Kiara!" Dilihatnya seluruh tubuh Kiara dari atas sampai bawah dengan rasa cemas. "Kamu tidak apa-apa? Di mana yang terluka?"
Kiara menepiskan tangan Leo yang sedang memeriksa kondisi tubuhnya. "Apa sih kamu ini! Jangan pegang-pegang!"
"Kamu tidak apa-apa?! Di mana? Di mana yang sakit?" tanya Leo ulang.
Orang-orang yang sedang melihat mereka, ikut cemas melihat Kiara. "Neng, yang terlukanya di mana? Yang sakitnya di mana?"
Kiara baru sadar kalau banyak orang yang mengelilingi dirinya. "Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang terluka," jawabnya gugup dengan tangan yang berusaha menepiskan tangan Leo.
"Syukurlah, tadi suara dentumannya terdengar keras. Rupanya hanya menabrak pohon saja." Salah seorang yang ada di kerumunan ikut berbicara.
Tidak berapa lama kemudian datang Polisi lalu lintas yang di telepon oleh salah seorang yang melihat kejadian. Karena tidak ada sesuatu yang membahayakan dan tidak memakan korban jiwa, orang-orang satu per satu membubarkan diri.
Kiara hanya terdiam saja, melihat Leo menjelaskan kronologis kejadian dengan terperinci. Leo berterima kasih kepada Polisi yang telah dengan sigap datang ke tempat kejadian. Dalam waktu singkat, masalah telah selesai. Polisi menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur tetapi tidak ada masalah yang berarti antara Kiara dan Leo.
Setelah selesai berbicara dengan Polisi, Leo menghampiri Kiara yang sedang duduk di trotoar. "Kamu tidak apa-apa?"
Kiara melihat sekilas ke Leo yang ikut duduk disebelahnya. Tangannya sibuk mengelap keringat yang bercucuran di dahi.
Leo mengambil sapu tangan yang ada di sakunya. "Pakailah ini," ucapnya mengulurkan sapu tangannya.
Kiara tidak mengambilnya. Pandangannya lurus menatap ke depan. "Apa sudah selesai?" tanyanya. "Aku mau pulang."
"Aku akan mengantarmu pulang. Tunggulah sebentar lagi. Mobilku akan segera datang, kita akan pulang sama-sama."
"Aku akan pulang sendiri." Kiara bangun dari duduknya, merapikan roknya yang kusut.
"Aku akan mengantarmu pulang." Leo mengulangi ucapannya, mendongakkan kepalanya melihat Kiara yang berdiri disampingnya.
"Tidak usah repot-repot. Aku bisa pulang sendiri. Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Aku selalu sial kalau bertemu denganmu."
"Apa maksudmu?" Leo berdiri, menatap tajam ke dalam iris mata coklat Kiara.
Bukan Kiara namanya kalau tidak berani menatap tajam kembali ke dalam iris mata hitam pekat Leo. "Kamu pikir setelah apa yang terjadi tadi, kamu hampir saja membuat nyawaku melayang itu bukan suatu kesialan untukku? Dulu kamu hampir saja membuatku mati dan sekarang kamu juga hampir membuatku kehilangan nyawa!"
Leo memijit dahinya yang terasa pening, mencoba bersabar menghadapi sikap Kiara. "Baiklah, aku memang salah kali ini. Membawa mobil dalam kecepatan tinggi tetapi kamu juga salah, menyeberang jalan dengan berlari tanpa melihat kanan kiri."
Kiara terdiam beberapa saat, dirinya memang mengakui kalau dia juga salah. "Aku mau pulang. Semua urusan di sini sudah selesai." Kiara hendak melangkah tetapi tangannya dipegang Leo.
"Tunggu sebentar lagi, seseorang akan mengantarkan mobilku ke sini. Aku sudah bilang akan mengantarmu pulang."
"Lepaskan, apa yang kamu lakukan!" Kiara berusaha melepaskan pegangan tangan Leo. "Kalau tidak, aku akan berteriak. Apalagi di sana masih ada Polisi."
Leo tersenyum, tangannya malah menarik tubuh Kiara hingga terbentur ke dada bidangnya. "Silahkan kalau mau berteriak. Aku sudah bilang ke Polisi itu kalau kamu, kekasihku," bisik Leo tepat di telinga Kiara.
Kiara mendorong tubuh Leo agar tidak merapat dengannya. "Dasar gila! Tidak ada apa-apa di antara kita."
Ketika Leo dan Kiara sedang berdebat, sebuah mobil yang tidak kalah mewahnya dengan mobil yang menabrak pohon berhenti tepat di depan Leo. Mobil sport warna merah keluaran terbaru.
"Mobilku sudah datang, ayo." Leo menarik tangan Kiara yang dari tadi tidak dilepaskannya.
"Aku tidak mau ikut denganmu! Lepaskan!! Kenapa kamu selalu memaksaku!" Kiara berusaha menarik tangannya tetapi usahanya sia-sia, tenaga Leo lebih kuat darinya.
"Kamu! Urus masalah ini dengan Polisi itu. Usahakan tidak berbuntut panjang." Leo memberi perintah kepada orang yang tadi membawa mobilnya.
"Baik Bos. Tidak akan ada masalah," jawabnya sopan, melirik sekilas ke arah Kiara.
Kiara yang tetap berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Leo akhirnya hanya bisa pasrah setelah Leo memeluk pinggangnya dan membawa paksa dirinya untuk masuk ke dalam mobil.
"Diam! Kenapa kamu selalu saja melawanku?!" Bentak Leo, memasangkan sabuk pengaman Kiara. Dan tanpa di duga sedikit pun olehnya, dengan cepat Leo mencium sekilas bibir Kiara.
"Dasar gila!" Kiara dengan cepat membersihkan bibirnya dengan punggung tangannya.
Leo yang melihat Kiara membersihkan bibirnya hanya tersenyum. "Hari ini aku memaafkan kamu karena ciumanku kamu hilangkan, tetapi lain waktu kalau kamu melakukannya lagi ---," Leo menggantungkan bicaranya, mendekati Kiara dan berbisik, "aku akan melakukan lebih dari sekedar mencium bibirmu."
Kiara terdiam, mencoba mencerna perkataan Leo. "Coba saja kalau berani, aku akan membunuhmu!" Balas Kiara, melawan setelah paham maksud dari perkataan Leo.
Leo menjalankan mobilnya, masuk ke dalam kemacetan Ibukota. Tidak ada yang bersuara, hanya alunan musik yang terdengar di dalam mobil. Jalan raya benar-benar macet di jam-jam pulang kerja.
Kiara nampak gelisah di dalam mobil, sekali-kali dilihatnya jam yang melingkar ditangannya. Tiba-tiba terdengar suara perut yang lapar. "Sialan kenapa perutku berbunyi? Bikin malu saja." Kiara berbicara dalam hati dengan menutup matanya, menahan malu.
Leo yang memang mendengar jelas suara keroncongan perut Kiara hanya tersenyum. "Kamu lapar?" tanyanya.
Kiara merapatkan matanya menahan malu. Kalau dia punya ilmu menghilang, sudah dari tadi dia pakai untuk menghilangkan dirinya.
"Kita makan dulu." Leo mempercepat laju mobilnya.
"Tidak, antarkan aku pulang saja. Aku tidak lapar," jawab Kiara. Tetapi terdengar lagi bunyi cacing dari dalam perutnya.
"Aku yang lapar, temani aku makan. Kamu mau makan apa?" tanya Leo untuk menghilangkan rasa malu Kiara.
"Untuk apa kamu menawariku makan. Bukankah kamu juga pernah membuat aku kelaparan?!" Ucap Kiara ketus.
Leo mengerutkan keningnya, mencoba mengingat kapan dirinya seperti yang barusan Kiara katakan. "Kamu masih mengingatnya? Aku saja sudah lupa. Kamu sendiri yang tidak mau makan, kenapa aku yang disalahkan. Bukankah pelayanku sudah menawarimu makan?"
"Kamu sangat menyebalkan!" gumamnya pelan.
Mobil Leo memasuki area restauran yang terbilang cukup mewah. Perlahan mobil berhenti di depan sebuah restauran yang bergaya Timur Tengah. "Ayo.' Leo ke luar dari dalam mobilnya sementara Kiara hanya terpaku duduk melihat ke arah restauran.
"Mewah sekali, pasti mahal makan di sini," gumamnya, dengan mata yang terus melihat ke arah restauran.
Pintu mobil di buka dari luar. "Ayo, kenapa tidak ke luar? Apa perlu aku gendong?"
"Leo." Kiara kemudian terdiam. Jari tangannya memainkan ujung baju seragamnya. "Aku, aku ---," ucapnya menggantung dengan wajah yang menunduk.
"Keluarlah," ucapnya, setelah membuka sabuk pengaman Kiara. Ditariknya tangan Kiara untuk segera ke luar dari dalam mobil. "Pakailah ini," Leo membuka jasnya kemudian dipakaikan ke Kiara untuk menutupi baju seragam Sekolahnya.
Kiara mengikuti saja ketika Leo menggenggam jemarinya dan mengajaknya masuk ke dalam. "Wah, indah sekali." Mata Kiara berbinar setelah berada di dalam. Bangunan yang bergaya Timur Tengah dengan manik-manik penghias restauran sangat menakjubkan dipandang mata. Kiara hanya memperhatikan saja ketika Leo berbicara dengan salah satu pelayan. "Sepertinya Leo sering ke sini. Lihatlah mereka semua sangat menghormatinya," Kiara berbicara sendiri dihatinya.
"Kita duduk di sana," tunjuk Leo. "Kenapa denganmu? Seperti orang kebingungan."
Kiara mengikuti Leo dari belakang. "Leo, aku ingin pulang. Ibu pasti mencemaskan aku karena belum pulang."
"Aku akan telepon Ibumu. Duduklah." Leo menarik salah satu kursi untuk Kiara. "Berapa nomor ponsel Ibumu?" tanyanya setelah ikut duduk di samping Kiara.
Kiara mengambil ponsel dari saku baju seragamnya. "Aku telepon dari ponselku saja."
Leo merebut ponsel yang Kiara pegang. "Aku yang akan bicara dengan Ibumu. Yang mana nomornya? Apa yang bertuliskan Ibu?"
"Apa yang kamu lakukan! Kembalikan!! Biar aku yang telepon Ibu!"
"Ssstt, jangan berteriak." Leo mendekatkan jarinya ke bibir. "Ini bukan hutan," ucap Leo tersenyum. "Biar aku yang telepon, kamu malah berisik."
Kiara memasang wajah kesal, dirinya selalu kalah kalau berhadapan dengan Leo.
"Halo, dengan Ibu?" Tanya Leo yang berhasil menelepon Ibunya Kiara. "Kiara sedang bersamaku." Leo berhenti sejenak mendengarkan suara dari sana. "Kita mampir makan sebentar. Nanti aku akan mengantarnya pulang. Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa." Leo kembali terdiam mendengarkan suara dari sana. "Leonardo, Bu." Kemudian Leo menutup ponselnya.
"Kembalikan ponselku!" Ucap Kiara kesal, mencoba mengambil ponselnya tetapi Leo lebih dulu memasukannya ke dalam saku celananya.
"Ambil kalau bisa," Leo tersenyum, menggoda Kiara yang sedang kesal.
Wajah Kiara sangat kesal, melihat Leo yang sengaja selalu membuatnya marah.