"Mau makan apa?" tanya Leo, melihat buku menu.
Kiara yang ditanya, langsung membuka buku menu yang satunya lagi. "Namanya saja aku tidak mengerti, apalagi makanannya. Apa ini?" Kiara membaca salah satu menu. "Harganya saja selangit, bisa untuk uang jajan aku selama 1 tahun," gumamnya pelan.
Leo tersenyum mendengar gumaman Kiara. "Mau makan apa?" tanyanya lagi. "Jangan khawatir, tidak usah memikirkan berapa harganya. Kamu cukup makan saja dengan tenang. Jangankan cuma harga makanan, restauran ini aku beli pun masih sanggup."
"Sombong." Kiara menjawab sinis dengan bibir yang terangkat sebelah.
"Sama denganku saja ya, pesanannya." Leo kemudian memanggil salah satu pelayan yang siap berjaga bila dibutuhkan pelanggan.
Tanpa Leo sadari, berjarak beberapa meter dari meja mereka. Sepasang mata sedang memperhatikan gerak gerik Leo dan Kiara. "Dengan siapa dia? Gadis itu masih sangat muda. Kekasihnya atau cuma mainannya? Nikmati sepuasnya kebahagiaanmu sekarang, sebelum aku menghancurkanmu." Seulas senyum sinis terukir dibibirnya. Matanya tajam menatap Leo.
"Aku akan menghancurkanmu. Luka di bayar luka. Nyawa di bayar nyawa." Tangannya meremas gelas yang sedang dipegangnya. Darah pun ke luar dari sela-sela jarinya. Rasa sakit tangannya yang terluka tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa sakit dihatinya.
Pelayan yang berdiri tidak jauh darinya, terlihat kaget melihat darah yang keluar dari tangan pelanggannya. "Tuan, kenapa dengan tangannya?" tanyanya.
"Tidak apa-apa hanya luka kecil," jawabnya melihat pecahan gelas yang ada ditangannya bercampur dengan darah.
"Biar aku obati Tuan. Tunggu sebentar aku ambilkan air hangat untuk mengobati lukanya."
"Tidak usah. Aku akan pergi, biar saja. Luka ini tidak seberapa dibandingkan luka yang ada di hatiku." Orang tersebut mencabut pecahan gelas yang tertancap dijemarinya lalu pergi begitu saja dengan membawa luka tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Melewati meja tempat Leo dan Kiara yang sedang makan, meninggalkan tetesan demi tetesan darah dilantai.
Leo sempat melirik sekilas ke orang yang melewati mejanya, terlihat olehnya tetesan demi tetesan darah yang ada di lantai. Diperhatikannya punggung orang tersebut sampai menghilang di balik pintu.
"Maaf Tuan, kalau mengganggu kenyamanan." Seorang pelayan datang menghampiri meja Leo yang hanya di jawab dengan lirikan sekilas saja. Pelayan tersebut lalu dengan terburu-buru segera mengepel lantai yang terkena tetesan darah.
Kiara yang dari tadi hanya memperhatikan saja akhirnya bertanya, "Kenapa orang itu tangannya sampai berdarah begitu?"
"Makanlah, jangan hiraukan orang yang tidak ada hubungannya denganmu. Habiskan makananmu setelah ini kita akan pergi ke suatu tempat." Leo membersihkan bibirnya dengan saputangan yang tersedia di atas meja.
"Pergi ke mana? Aku tidak mau. Aku mau pulang," jawab Kiara dengan mulut yang sedang mengunyah. "Nanti Ibu mencariku."
"Aku nanti akan menelpon Ibumu." Leo tersenyum melihat pipi Kiara yang menggembung. "Kamu sudah selesai ujian bukan?" tanyanya.
"Sudah, hari ini sudah selesai," jawab Kiara.
"Bagus, berarti kamu tidak masuk Sekolah pun tidak masalah bukan?" tanya Leo dengan mata yang seperti orang sedang menyelidik.
Kiara yang tidak punya pikiran macam-macam, menganggukkan kepalanya. "Ke Sekolah hanya mengisi absensi saja. Menunggu sampai pengumuman kelulusan."
Leo tersenyum memandang Kiara yang sedang sibuk makan. "Kamu sekarang tidak bisa lepas dariku. Aku pernah kehilanganmu tetapi sekarang aku tidak akan melepaskanmu." Leo berbicara sendiri di dalam hatinya.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Kiara melihat Leo dengan mulut penuhnya.
Leo menjawab hanya dengan tersenyum, segudang akal sedang bermain-main dipikirannya.
Kiara membersihkan bibirnya dengan saputangan yang ada di atas meja. "Sudah selesai. Aku mau pulang. Mau mengantarku pulang atau tidak?" tanyanya kemudian.
"Aku akan mengantarmu pulang. Kamu sudah selesai makannya? Sudah kenyang belum? Mau tambah lagi?" tanya Leo menggoda Kiara.
"Kamu kira perutku ini perut karung? Sudah kenyang!" jawab Kiara memonyongkan bibirnya.
"Kamu menggodaku dengan bibirmu itu?" tanya Leo tersenyum.
Kiara langsung menutup bibirnya dengan jemari tangannya. Matanya melotot melihat Leo. "Dasar otak mesum."
Leo tertawa mendengar Kiara mengatakan itu. Dipanggilnya pelayan untuk membayar tagihan. Setelah semua urusan selesai, Leo dan Kiara segera pergi dari restauran itu.
Leo melajukan mobilnya dengan santai, alunan musik terdengar melantun indah ditelinga mereka. Kiara yang sudah kenyang dan kelelahan, pelan-pelan menutup matanya. Alunan musik seperti sedang menina bobokannya.
Leo melihat Kiara yang sudah terlelap di kursi sampingnya. Senyumnya mengembang melihat ke arah Kiara.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponselnya Kiara bergetar disaku celananya Leo. Terlihat di layar ponsel tertera tulisan "Ibu." Leo mengangkatnya. "Halo."
"Halo, Kiara. Di mana kamu? Kenapa belum pulang?" terdengar suara Ibu dari seberang telepon.
"Ini Leo. Kiara sedang bersamaku," jawab Leo santai dengan sebelah tangan yang memegang setir.
"Leo? Siapa kamu? Kenapa mengangkat telepon anakku? Di mana Kiara? Ibu mau bicara dengannya."
"Kiara sedang tertidur, dia ada di sampingku," jawab Leo tersenyum melihat ke arah Kiara yang sedang terlelap.
"Apa maksudmu? Bangunkan Kiara!" Ibu terdengar panik di ujung telepon.
"Aku mau sekalian meminta izin untuk membawa Kiara beberapa hari. Namaku Leonardo Albert Winston. Nanti aku akan menyuruh anak buahku menjaga Ibu selama Kiara bersamaku. Jangan khawatir, Kiara aman bersamaku." Leo kemudian menutup teleponnya. Tangannya terulur mengelus pipi Kiara. "Kamu tidak bisa lepas dariku lagi Kiara. Selamanya akan menjadi milik Leonardo Albert Winston."
Kiara yang sedang di elus pipinya, sedikit menggerakkan badannya mencari posisi yang nyaman untuk dirinya tidur.
"Tidurlah sayang, kita akan pergi jauh. Kamu akan terkejut begitu nanti bangun." Leo tertawa kecil membayangkan apa yang akan Kiara lakukan kalau nanti bangun sudah berada di tempat berbeda.
Mobil meluncur menembus jalanan Ibukota yang berdebu. Kiara sedikit pun tidak terusik dengan kecepatan mobil yang semakin kencang.
"Dia kalau tidur seperti orang pingsan. Mungkin dunia kiamat juga dia tidak akan bangun."
.....
Di rumah, Ibu terlihat gelisah di kamarnya. Matanya terus menatap ke layar ponsel, berharap ada berita dari anaknya. Tetapi lama di tunggu, layar ponsel tetap tidak menyala. "Kiara, di mana? Siapa itu Leonardo? Kenapa hatiku tidak enak? Ya Tuhan, lindungi anakku." Ibu terus saja bicara sendiri.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponsel Ibu bergetar. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya, Ibu langsung saja menjawab. "Halo. Kiara di mana?"
Terdengar jawaban dari ujung ponsel. "Halo, Bu. Ini Bagas."
"Bagas?" Ibu melihat layar ponsel, disitu tertera nama Bagas. "Kiara belum pulang. Apa dia bersamamu?" tanya Ibu cemas.
"Tidak, aku menelpon Ibu karena ponselnya Kiara tidak bisa dihubungi," jawab Bagas.
"Kiara belum pulang. Ibu tidak tahu sekarang Kiara ada di mana. Apa kamu tadi pulang Sekolah tidak sama-sama?"
"Tidak, tadi Bagas pergi dengan teman-teman." Bagas berhenti sebentar. "Sebelum pulang Bagas sempat bertemu Kiara, tetapi setelah itu Bagas tidak tahu. Apa Kiara tidak menghubungi Ibu?" tanya Bagas dengan suara yang terdengar mulai cemas.
"Ada tadi, Ibu sempat telepon Kiara sebelum ponselnya mati. Tetapi ---," Ibu tidak meneruskan ucapannya.
"Kenapa Bu, tetapi kenapa?" tanya Bagas.
"Yang menjawabnya suara laki-laki." Ibu berhenti sejenak lalu, "katanya namanya Leonardo Albert Winston. Apa kamu mengenalnya?"
"Leonardo? Maaf Bu. Apa Ibu tidak salah mendengar?" tanya Bagas memastikan.
"Tidak. Dia bilang namanya Leonardo. Apa kamu mengenalnya?" tanya Ibu. Tidak ada jawaban dari ujung ponsel. "Halo, Bagas. Halo."
"Iya Bu, sebentar Bagas tutup dulu teleponnya. Nanti Bagas menghubungi Ibu lagi."
"Bagas, Bagas. Halo!" Tidak ada jawaban, telepon telah terputus. "Kenapa malah dimatiin? Bagaimana ini?"
...
"Mama, Ma!" Teriak Bagas. "Di mana? Mama."
Mama yang sedang berada di luar mengurus tanaman, langsung masuk mendengar anaknya teriak-teriak. "Ada apa sih kamu! Teriak seperti di hutan. Bikin Mama jantungan saja," jawab Mama ketus.
"Kiara Ma, Kiara." Bagas langsung menghampiri Mamanya.
"Kiara? Kenapa dengan dia?" tanya Mama tidak mengerti.
"Kiara sampai jam segini belum pulang Sekolah," jawab Bagas cemas.
"Mungkin dia main dengan teman-temannya, mampir ke rumah temannya. Kamu ini karena Kiara belum pulang, cemasnya seperti orang kebakaran jenggot."
"Masalahnya tidak seperti itu Ma. Bagaimana Bagas menjelaskannya." Bagas mengacak-acak rambutnya seperti orang kebingungan.
Mama geleng-geleng kepala melihat anaknya seperti itu. "Jelaskan pelan-pelan. Ada apa?" tanya Mama, duduk di sofa sambil membetulkan vas bunga yang ada di atas meja.
Bagas ikut duduk di samping Mamanya kemudian mulai menjelaskan apa yang tadi dibicarakan di telepon dengan Ibunya Kiara.
"Tunggu, tunggu. Maksud kamu sekarang Kiara sedang bersama dengan Pak Leonardo, Bosnya Papamu?" tanya Mama dengan wajah yang percaya tidak percaya.
"Iya Ma," jawab Bagas, menyandarkan tubuhnya yang mendadak lemas. "Bagaimana ini Ma?"
"Kenapa Kiara sampai bisa bareng dengan Pak Leo?" tanya Mama.
"Bagas tidak tahu. Tadi sepulang Sekolah, Kiara mengajak pulang bareng tetapi Bagas menolak karena sudah ada janji dengan teman-teman. Setelah itu Bagas tidak tahu lagi."
Mama terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kalau telepon Papa tanya ke mana Pak Leo pergi bagaimana?" tanya Mama melihat Bagas.
"Nanti Papa merasa heran kalau Mama tanya Pak Leo," jawab Bagas. "Urusannya nanti tambah repot."
Beberapa saat lamanya mereka terdiam sampai ponsel Bagas bergetar. "Ibunya Kiara, apa yang harus Bagas katakan kalau dia menanyakan Pak Leo?" Bagas hanya melihat saja ke layar ponsel tanpa ada niat untuk menjawab.
"Jangan dijawab, biar nanti saja. Kasihan nanti Ibunya malah bertambah khawatir. Kita coba cari cara lain untuk mencari keberadaan Kiara." Mama tampak berpikir keras. "Bagaimana kalau kita menghubungi Pak Bayu. Apa kamu punya nomor ponselnya?" tanya Mama.
"Ada, Bagas sempat meminta nomor ponselnya waktu malam kita pulang di antar Pak Bayu." Langsung saja Bagas mencari nomor kontaknya Pak Bayu. "Kita mau tanyanya bagaimana Ma?"
"Iya, bagaimana kita mau tanya Pak Leo?" Mama memijit keningnya yang mulai terasa pening.
Akhirnya Bagas dan Mama jadi duduk terdiam dengan pikiran masing-masing. Bagas terlihat sangat khawatir. "Kiara, di mana kamu? Kenapa ponselmu harus mati? Ya Tuhan, lindungi kekasihku di mana pun dia berada." Bagas berbicara sendiri dari dalam hatinya yang paling dalam.