"Setiap wanita pasti menyukai berlian, tidak terkecuali denganku," balas Evelyn ramah.
Ketika akan melangkah pergi, pria tersebut mengulurkan tangannya. "Maaf lancang, tetapi bolehkah kita berkenalan? Namaku Adam," tersenyum manis menatap Evelyn.
Mau tidak mau akhirnya Evelyn menerima uluran tangannya. "Evelyn."
"Nama yang cantik, secantik orangnya." Adam memuji Evelyn sehingga membuat wajah Evelyn merona merah.
Evelyn melihat Adam dengan seksama. "Dia cukup tampan, mungkin ada garis keturunan dari timur tengah. Lesung pipinya sungguh sangat menawan. Kalau di lihat dari apa yang dia pakai, semua barangnya branded." Evelyn memperhatikan Adam dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Sepertinya dia banyak uang."
"Apa ada yang salah dengan penampilanku?" tanyanya tiba-tiba melihat Evelyn karena merasa diperhatikan.
"Tidak, tidak ada yang salah," jawab Evelyn gelagapan, langsung mengalihkan pandangannya ke kalung yang ada dileher manekin.
"Kalau kamu menyukainya, aku akan membelikannya untukmu," ucapnya tiba-tiba yang sukses membuat Evelyn terkejut.
"Apa?" tanyanya tidak percaya, takut pendengarannya yang salah.
"Aku akan membelikannya untukmu." Adam mengulangi kata-katanya.
"Tidak, terima kasih. Kita baru saja kenal.
Aku tidak mungkin menerimanya." Evelyn menolak halus.
"Kamu baru mengenalku tetapi aku sudah lama mengenalmu. Siapa yang tidak kenal dengan Evelyn Scarlet seorang model yang ---," Adam menggantung bicaranya, kemudian sedikit mendekat dan berbisik. "4 tahun lalu pernah berada di puncak kesuksesan. Namamu begitu terkenal, tetapi sayang dalam sekejap hilang seperti di telan bumi karena pengkhianatan."
Evelyn beberapa saat terdiam, mencerna kembali apa yang dikatakan Adam. "Kamu mengenalku?"
"Wajahmu sering menghiasi sampul majalah model, kamu juga sering wara wiri di semua stasiun televisi. Tentu saja aku mengenalmu tetapi untuk bertatap seperti ini, baru sekarang." Adam tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang sangat menggemaskan.
Evelyn menatap Adam penuh selidik. "Kenapa kamu menawariku kalung berlian itu? Tidak ada yang gratis bukan di dunia ini?"
Adam tertawa. "Pintar, tidak sia-sia aku bertemu denganmu. Dan sebagai hadiah pertemuan kita yang pertama ini. Aku akan membelikan kalung berlian itu untukmu." Tunjuk Adam ke kalung berlian yang dari tadi Evelyn inginkan.
Adam kemudian melangkah meninggalkan Evelyn. Tidak lama kemudian sudah kembali lagi dengan membawa paper bag cantik ditangannya.
"Ini untukmu," ucapnya tersenyum menyerahkan paper bag kecil. "Hadiah pertemuan pertama kita."
Evelyn terdiam, berdiri mematung tidak tahu harus bagaimana. Antara iya dan tidak. Kalau menerimanya berarti dia harus tahu konsekwensinya tetapi kalau tidak, dia sangat menginginkan berlian itu. Lumayan bukan, darimana dia bisa membelinya dengan kondisi keuangannya seperti sekarang.
"Ayo, terimalah. Jangan sungkan," Karena Evelyn hanya diam saja, akhirnya Adam meraih tangan Evelyn dan mengaitkannya di jemari tangan Evelyn. "Hadiah pertemuan pertama kita."
Evelyn melihat paper bag yang berisi kotak kecil berwarna merah, "Apa yang kamu inginkan untuk berlian ini?"
Adam tersenyum penuh misteri, walau pun bibirnya menyungging senyum tetapi aura yang Evelyn rasakan sangat menakutkan. "Aku menginginkan sesuatu tetapi bukan sekarang. Kalau waktunya tiba, aku akan menghubungimu."
"Bagaimana kamu akan menghubungi aku, tempat tinggalku saja kamu tidak tahu."
"Kamu baru beberapa Minggu tinggal di kota kelahiranmu ini setelah di usir pergi oleh mantan kekasihmu. Tinggal dengan laki-laki yang pemalas, lebih tepatnya benalu. Biaya sewa Apartemen yang mahal, pengeluaran yang besar tetapi kekasihmu itu sama sekali tidak peduli."
Evelyn kembali terdiam, tidak menyangka kalau Adam tahu banyak tentangnya.
"Aku bisa menjadikan dirimu terkenal kembali. Bintangnya para model, namamu akan berada di puncak setinggi-tingginya tetapi semua itu ada timbal baliknya bukan?" Adam menjeda ucapannya menatap iris mata Evelyn tajam. "Jadilah orangku. Apa pun yang kamu inginkan, aku akan mengabulkannya."
"Apa maksudmu," Evelyn mulai bisa membaca kemana arah pembicaraan Adam.
"Ha ... ha ... ha ...," Adam tertawa. "Bukan sekarang, sabarlah. Kamu nanti akan mengetahuinya. Sampai bertemu kembali Evelyn Scarlet." Adam pergi begitu saja meninggalkan Evelyn yang berdiri terpaku dengan tangan memegang paper bag.
"Bu, apa ada masalah?" tanya seorang karyawan yang kebetulan lewat di depan Evelyn yang sedang diam terpaku.
"Eh, tidak. Tidak ada masalah." Evelyn langsung bergegas pergi dengan membawa seribu pertanyaan dibenaknya.
...
Jam pulang Sekolah sebentar lagi berakhir. Para murid yang dari pagi terus-terusan belajar nampak sudah tidak semangat, wajah-wajah lelah. Sekali-kali di antara mereka ada yang menguap, begitu pun dengan Kiara.
"Aku ngantuk sekali, semalam aku tidur larut malam." Ucap Kiara sambil menguap.
"Ngapain saja tidur sampai larut malam, ikutan ronda?" tanya Silvi berbisik, takut terdengar Guru di depan yang sedang menerangkan.
"Ih, kamu kalau ngomong jangan asal," Kiara menyenggol tangannya Silvi. "Masa aku ikut ronda."
"Biar nggak ngantuk. Memangnya ada apa sampai kamu tidur larut malam?" tanya Silvi lagi.
Kiara terdiam, bagaimana dia menjelaskan pada sahabatnya. "Tidak ada apa-apa, hanya tidak bisa tidur saja."
Terdengar suara bel tanda pulang sekolah berbunyi. Semua murid dengan segera langsung membereskan buku satu per satu ke dalam tas.
"Anak-anak, lanjutkan tugasnya di rumah. Kerjakan dengan benar. Sebentar lagi kalian akan menghadapi ujian akhir, belajarlah dengan sungguh-sungguh."
"Iya Bu," jawab anak-anak serempak.
Bu Guru langsung pergi, diikuti anak-anak yang berhamburan ke luar kelas.
Kiara sendiri masih berada di dalam kelas. "Silvi, kamu bawa motor?"
"Bawa, kenapa? Mau ikut?" tanya Silvi sambil membetulkan tas gendongnya.
"Iya, kalau kamu tidak keberatan," jawab Kiara mengikuti Silvi dari belakang.
"Tentu saja tidak, aku malah senang kalau kamu pulang bareng sama aku. Kamu tidak bareng sama si Bagas?"
"Tidak, aku pulang ikut kamu saja ya." Kiara menggandeng tangan Silvi.
Silvi tersenyum mengangguk, dalam hatinya dari pagi ingin menanyakan lebih dalam dengan perubahan sikap Kiara yang kurang bersemangat hari ini tetapi diurungkannya.
Kemacetan Ibukota merupakan pemandangan sehari-hari, orang-orang berlomba-lomba ingin segera sampai ke tujuan. Suara bising dan polusi asap kendaraan yang hitam pekat merupakan makanan sehari-hari bagi para pejuang pencari nafkah di jalan.
"Kiara, kita cari jalan lain saja. Lihatlah di depan, macet sekali." Silvi membelokkan motornya, ke luar dari antrian motor yang ratusan atau mungkin saja ribuan. "Kita lewat sini saja. Aku tahu jalan ini."
Kiara yang duduk di belakang hanya bisa memeluk Silvi. Apa yang dikatakan Silvi kurang jelas dipendengarannya. Selain suara bising kendaraan, dia juga memakai helm.
Jalan yang di lewati Silvi merupakan jalan perkampungan, banyak anak-anak yang berlarian sedang bermain. "Silvi, hati-hati bawa kendaraannya. Banyak anak-anak di sini," teriak Kiara dari belakang.
"Aku tahu, ini juga hati-hati," jawab Silvi dengan nada yang kencang juga.
Silvi melajukan motornya dengan sangat hati-hati. Matanya waspada, takut kalau ada anak tiba-tiba muncul ke jalan dari arah yang tidak terduga.
"Jalan ini jaraknya lebih jauh karena memutar tetapi kalau kita menunggu kemacetan terurai, kita sampai rumah bisa-bisa sore," kata Silvi.
Lebih dari setengah jam, mereka sampai juga di depan pintu pagar rumah Kiara. "Akhirnya sampai juga," kata Silvi.
"Mampir nggak? Ada kue di dalam." Kiara turun dari motor dan membuka helmnya.
"Sebentar saja. Sudah lama kamu tidak ketemu Ibuku."
Silvi tampak menimang-nimang ajakan Kiara. "Baiklah, aku juga haus. Minta minum ya sekalian dengan kuenya." Silvi turun dari motornya dan juga membuka helmnya.
"Masukin saja ke dalam motornya, aku bukain pagarnya." Kiara membuka pintu pagar lebar-lebar untuk memudahkan sahabatnya memasukan motor.
"Ibu, Kiara pulang" teriaknya membuka pintu rumah. "Tidak di kunci? Kebiasaan Ibu, pintu selalu lupa di kunci." Kiara langsung masuk diikuti Silvi dari belakang. "Bu." Silvi langsung duduk di sofa sementara Kiara langsung masuk ke dapur.
"Kenapa pulangnya sore?" tanya Ibu yang sedang membersihkan toples.
"Di jalan macet sekali, kita saja pulangnya lewat jalan perkampungan."
"Kita? Siapa?" tanya Ibu.
"Silvi, ada di depan. Ibu ke depan dulu, Kiara mau ambil minum dan kue-kue."
"Sudah lama tidak ketemu Silvi, Ibu kangen." Bergegas Ibu pergi ke depan. "Silvi."
Silvi yang sedang duduk santai langsung berdiri menyambut Ibu. "Ibu makin cantik saja, lama tidak ketemu. Kenapa malah makin muda saja?" Silvi memeluk Ibu.
"Kamu yang makin cantik saja. Kenapa tidak pernah ke sini?"
Kiara datang sambil membawa minuman dan kue-kue kering. "Silvi sekarang punya pacar, sibuk pacaran."
"Benarkah sekarang kamu punya pacar? Kenalin sama Ibu. Siapa pacarmu?" tanya Ibu antusias.
"Ngga ada, Kiara ngarang." Silvi melirik Kiara. "Kiara yang tukang pacaran Bu. Di Sekolah juga pacaran melulu."
"Sirik tanda tak mampu. Minum nih, isi dulu kumpulin tenaga kalau mau ngadu ke Ibu." Kiara menaruh air dan kue-kue di depan Silvi.
"Sudah lama aku tidak makan kue buatan Ibu. Pasti rasanya luar biasa." Silvi mengambil kue dan langsung hilang di dalam mulutnya. "Lezatnya, boleh aku habisin semuanya?"
"Boleh, habisin saja. Kalau kurang nanti Ibu ambilkan lagi di belakang." Ibu tersenyum melihat Silvi yang mulutnya penuh dengan kue.
Kedatangan Silvi ke rumah Kiara, membuat suasana bertambah ramai. Tidak hentinya Ibu tertawa melihat kekonyolan sahabat anaknya itu.
"Kemarin malam kamu ikut Kiara tidak ke acara kantor Papanya Bagas?" tiba-tiba Ibu menanyakan hal itu.
Silvi yang ditanya melihat ke Kiara. "Tidak Bu."
"Bagas tidak mengajakmu?" tanya Ibu lagi.
"Tentu saja tidak Bu, itu acara Papanya Bagas. Tidak mungkin aku di ajak," jawab Silvi.
"Kiara kemarin malam tidak pulang. Ibu sangat khawatir," kata Ibu melihat Kiara. "Katanya menginap di rumah Pak Leo. Kamu kenal Pak Leo?" tanya Ibu.
Silvi melihat Kiara. "Tidak, aku bahkan tidak tahu siapa Pak Leo. Bukankah Kiara perginya dengan keluarga Bagas, kenapa ceritanya jadi menginap di rumah Pak Leo."
"Ibu waktu itu sangat khawatir, hampir menjelang subuh tetapi Kiara belum pulang juga. Akhirnya Ibu telepon tetapi yang jawab Pak Leo katanya Kiara tertidur."
Kiara hanya diam. Pikirannya kembali teringat Leo. Hanya satu malam saja, dia menjadi kekasihnya Leonardo. Hubungan yang tidak didasari adanya cinta tetapi kenapa perpisahannya meninggalkan luka?