Chereads / BELIEVE IN LOVE / Chapter 37 - HATI YANG RESAH

Chapter 37 - HATI YANG RESAH

Pagi yang cerah, suara kicau burung turut mewarnai indahnya cuaca di pagi hari ini. Kiara sudah bersiap-siap berangkat ke Sekolah setelah kemarin 2 hari libur.

"Bu, di mana?" Kiara mencari-cari Ibunya yang tidak terlihat di dapur. "Ibu."

Ibu baru saja masuk dari pintu depan dengan membawa sekantung plastik sayuran.

"Ibu dari mana? Aku mencari Ibu dari tadi." Kiara menghampiri Ibunya sambil membetulkan tas punggungnya.

"Tadi ada tukang sayuran lewat, Ibu beli saja. Daripada harus ke pasar." Ibu menaruh sayuran di meja. "Kamu mau sarapan apa, biar Ibu siapkan."

"Kiara mau berangkat Sekolah. Tidak usah sarapan, sudah siang. Ibu hari ini tidak titip kue ke Toko?"

"Tidak, kemarin Ibu tidak membuat kue karena khawatir memikirkan kamu yang menghilang."

Kiara tersenyum memeluk Ibunya. "Maafkan anakmu ini yang telah membuat Ibu khawatir." Mencium pipi kanan kiri Ibunya lalu pamit berangkat Sekolah.

"Hati-hati." Ibu mencium kening anaknya. "Jangan ceroboh kalau di jalan, banyak kendaraan."

"Siap! Komandan." Kiara bergegas pergi takut tertinggal bus.

Seperti biasa untuk berangkat ke Sekolah Kiara harus naik bus, berkejaran dengan waktu. Kiara menjalani semua rutinitasnya tanpa beban. Dibesarkan dalam didikan single parent menjadikannya sosok yang kuat.

"Kiara," terdengar seseorang memanggilnya begitu dia turun dari bus. "Tunggu."

Kiara mencari ke asal suara. "Anto, ada apa?" tanya Kiara melihat Anto menghampirinya.

"Tidak ada apa-apa, jalan bareng saja masuknya," jawab Anto. "Sendirian? Ke mana si Bagas?"

"Ngga tahu, kita nggak bareng. Biasanya kamu bawa motor, ke mana motornya?"

"Rusak, masih di bengkel. Terpaksa naik angkutan kota, hasilnya beginilah kesiangan." Anto tersenyum.

Dari kejauhan terlihat Bagas menghampiri mereka. "Kiara, aku tadi ke kelas. Kata si Silvi kamu belum datang. Bagaimana keadaanmu?"

Anto yang melihat Bagas khawatir begitu, mengernyitkan keningnya. "Dia baik-baik saja. Ada apa denganmu?"

"Orang luar di larang ikut campur, urusan Rumah Tangga orang lain. Ayo." Bagas merangkul bahu Kiara dan membawanya pergi.

Terdengar bel tanda masuk berbunyi. Anto langsung tertawa meledek. "Bunyi bel lebih penting dari urusan Rumah Tangga." Anto bicara dengan langkah terburu-buru melewati Bagas dan Kiara.

"Sebaiknya kita masuk kelas dulu, bel sudah berbunyi. Nanti jam istirahat aku jelasin," kata Kiara, melepaskan tangan Bagas yang bertengger di bahunya.

"Iya, nanti aku ke kelas kamu." Bagas lalu pergi menuju ke kelasnya sendiri.

Kiara melanjutkan langkahnya menuju ke kelas. Suasana kelas yang ramai menjadi pemandangan biasa di pagi hari. Kiara langsung duduk di kursi sebelah Silvi.

Silvi yang sedang asyik membetulkan tasnya, nampak kaget melihat Kiara yang tiba-tiba duduk tanpa basa basi.

"Astaga, Kiara! Kamu membuat jantungku hampir copot." Silvi mengelus dadanya pelan.

Kiara tidak merespon, dikeluarkannya buku satu per satu. Wajahnya terlihat tidak bahagia.

"Kenapa? Muka di tekuk begitu, pagi-pagi harus semangat." Silvi memperhatikan Kiara yang hanya diam saja. "Bagaimana acara kemarin? Ramai ngga? Cerita dong," Silvi menyenggol tangannya Kiara.

Belum Kiara menjawab, Guru pengajar sudah datang dengan membawa setumpuk buku ditangannya. "Pagi anak-anak."

"Pagi Bu Guru," jawab mereka serempak.

"Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Bu Guru ramah. "Seru nggak?"

Jawaban mereka berbeda-beda, ada yang bilang seru, ada yang bilang ngga kemana-mana. Bermacam-macam jawaban yang mereka berikan.

"Lupakan hari kemarin. Sekarang kita mulai belajarnya." Suasana ramai tadi berganti menjadi hening, semua murid nampak serius mengikuti mata pelajaran.

Selama proses belajar berlangsung, Kiara sama sekali tidak bersuara. Silvi yang duduk disampingnya merasa heran dengan sikap sahabatnya.

...

"Evelyn. Sayang, di mana?" teriak Nathan memanggil kekasihnya. Tidak terdengar jawaban. "Ke mana dia?" gumamnya pelan. Dilihatnya jam dinding. "Sudah jam 9 rupanya."

Dari arah depan terdengar bunyi pintu di buka. Nathan segera bangun. "Evelyn. Dari mana? Aku memanggilmu dari tadi."

"Kamu sudah bangun?" Evelyn melihat Nathan yang sedang berdiri menunggunya. "Tadi aku dari Supermarket di bawah. Beli bahan makanan. Kulkas kita sudah kosong."

Nathan mengambil minum dari kulkas lalu duduk memperhatikan Evelyn yang sedang membereskan belanjaan yang tadi dibelinya.

"Nathan. Tabungan kita sudah menipis. Kamu cari pekerjaan, jangan cuma mengandalkan aku saja. Pengeluaran kita 1 bulannya banyak, sementara kamu cuma makan tidur makan tidur saja. Carilah pekerjaan."

"Aku sudah melamar pekerjaan kemana-mana. Tidak ada yang mau menerimaku. Semuanya menolak. Aku curiga mungkin penolakan lamaran pekerjaanku ada hubungannya dengan Leo."

"Kamu saja yang pilih-pilih pekerjaan, maunya langsung diposisi yang enak. Semuanya juga harus dari bawah kecuali kalau kamu punya modal untuk mendirikan perusahaan, baru jabatanmu yang paling tinggi." Evelyn terus mengomel, hatinya sedang dalam suasana yang tidak enak.

"Ada apa denganmu? Kamu sedang datang bulan?" Nathan bertanya heran dengan sikap Evelyn. "Pulang belanja marah-marah." Nathan beranjak pergi, malas melayani Evelyn yang sedang tidak stabil. "Perempuan kalau lagi datang bulan, lebih serem dari setan."

Evelyn melihat sekilas punggung Nathan yang pergi meninggalkannya. "Kenapa aku bisa menyukai laki-laki pemalas seperti dia. Benar-benar sial hidupku," gerutunya sambil terus melanjutkan pekerjaannya. "Sialan, benar-benar sial. Semuanya dari aku tetapi kenapa jadi aku yang seperti pembantu di rumahku sendiri? Bodohnya diriku."

.....

"Monika, apa hari ini ada meeting?" tanya Leo tanpa melihat ke Monika. Matanya fokus melihat ke dokumen yang ada didepannya.

"Ada. Kita akan meeting di luar jam 2 siang, setelah jam makan siang."

"Siapkan semuanya, jangan sampai ada yang tertinggal."

"Baik. Jangan khawatir. Ada lagi Pak?" tanya Monika.

Leo mengangkat wajahnya. "Buatkan kopi jangan terlalu manis."

"Iya," jawab Monika tersenyum. Segera pergi untuk membuatkan kopi.

Di pantry, Monika melihat Bayu sedang membuat kopi. "Kopi untuk siapa?"

"Tentu saja untukku, buat siapa lagi?" jawab Bayu. "Kenapa wajahmu?"

Monika mengernyitkan alis. "Wajahku? Kenapa? Apa ada sesuatu?" Monika memegang pipinya.

"Wajahmu tidak semangat, tidak seperti biasanya. Kamu sedang datang bulan?" tanya Bayu menyeruput kopi panasnya.

"Tidak," jawab Monika yang mulai meracik kopi buat Leo. "Aku hanya sedang tidak mood saja."

"Kenapa? Tidak ada hubungannya dengan Pak Leo bukan?"

Monika terdiam, sejujurnya moodnya dia karena Pak Leo tidak memperdulikannya dari pagi. Leo seperti orang asing, begitu dingin padanya.

"Kamu tahu kenapa Pak Leo berbeda hari ini?" tanya Monika.

"Memangnya kenapa? Aku lihat biasa saja, seperti biasa. Bukankah setiap hari juga kalau di kantor, Pak Leo memang selalu memasang muka dingin. Menurutku hanya dengan kamu saja, Pak Leo mukanya enak di lihat."

Monika selesai membuat kopi. "Aku duluan."

Bayu hanya menghela napas lalu pergi ke ruangannya sendiri. Di dalam ruangan sudah menunggu seseorang yang sedang duduk. "Pak Kuncoro, sudah lama?"

"Belum, baru saja duduk. Dari pantry?" Pak Kuncoro melihat gelas kopi yang sedang dipegang Bayu.

"Iya, kalau tahu Bapak mau ke sini. Aku buatkan untuk Bapak juga," kata Bayu duduk di kursi.

"Tidak usah Pak, terima kasih. Aku ada perlu dengan Bapak tentang pekerjaan." Pak Kuncoro meletakkan beberapa dokumen yang tadi dibawanya ke depan Bayu.

"Apa ini?" tanya Bayu, mengambil salah satu dokumen.

"Ini tentang proyek yang besok akan di bahas di dalam meeting. Pak Bayu walau pun masih muda tetapi kalau soal kepintaran, aku masih kalah jauh. Masih harus banyak belajar dari Pak Bayu."

Bayu tersenyum menanggapi ucapan Pak Kuncoro. Memang benar apa yang dikatakan Leo kalau Pak Kuncoro pandai mencari muka. "Aku harus hati-hati dengan orang ini, pasti ada maksud lain dia sengaja datang ke sini."