Alunan musik mengiringi dua sejoli yang sedang asyik berdansa dengan mata yang saling menatap penuh cinta. Suasana temaram, hanya diterangi lampu warna warni yang sengaja di buat redup, alunan musik suara biola yang mendayu-dayu semakin menambah kental romantis di acara dansa.
"Sepertinya kamu bisa berdansa Kiara?" tanya Bagas. "Kamu bisa mengikuti gerakanku bahkan tidak sekali pun kakiku terinjak."
"Aku hanya tidak mahir saja," jawab Kiara, mengalungkan tangannya ke leher Bagas.
"Tidak mahir tetapi gerakkanmu sangat luwes, tubuhmu terlihat cantik," puji Bagas menarik pinggang Kiara agar semakin dekat dengannya. Mereka sudah tidak menghiraukan orang lain. Buat mereka sekarang, hanya ada mereka berdua dan hanya berdua. Dunia milik mereka berdua, sungguh sangat membuat iri yang lain. Banyak kekaguman yang terucap dari pasangan lain yang sedang berdansa juga.
Tetapi tidak sama dengan orang yang sedang duduk di sudut sana. Matanya tajam mengawasi setiap gerak langkah yang sedang berdansa. Raut wajah yang menyimpan amarah, sorot mata yang siap untuk membunuh siapa saja yang mengusiknya. Entah sudah berapa gelas minuman yang sudah diminumnya.
"Leo, kenapa? Sepertinya kamu sedang kesal?" tanya Bayu. "Bahkan kamu sampai minta pindah duduk ke sini."
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya bosan, dari tadi mendengar kalian berbicara terus. Pak Kuncoro juga tidak henti-hentinya mencoba mencari muka di setiap kesempatan. Aku muak melihat orang bermuka dua," jawab Leo kesal.
Bayu tertawa, mereguk minumannya. "Kamu sedang kesal Leo, aku ini sahabatmu. Tidak ada yang bisa kamu sembunyikan dariku. Apa ini ada hubungannya dengan gadis itu?"
"Siapa?" tanya Leo cepat, melihat ke arah Bayu yang sedang mentertawakan dirinya.
"Monika, sekretaris kesayanganmu itu. Dari tadi kulihat dia berbicara terus dengan Pak Kuncoro, bukankah itu tandanya kamu cemburu." Bayu menjawab dengan menahan tawa.
"Monika mati pun, aku tidak peduli. Banyak wanita di luar sana yang bisa menggantikannya dengan mudah. Aku juga sudah mulai bosan dengannya. Kalau bukan karena kinerjanya yang profesional, sudah lama aku pecat." Leo menjawab dengan kembali meminum minumannya hingga habis tak bersisa di dalam gelas.
"Santai Pak Bos, jangan terlalu serius begitu. Aku hanya bercanda," ucap Bayu sambil menepuk pundak Leo. "Aku tahu, kamu kesal dengan mereka berdua." Bayu menunjuk Kiara dan Bagas dengan bibirnya. "Sepertinya kamu cemburu."
"Tidak ada dalam kamus hidupku harus cemburu. Aku hanya tidak suka, milikku di ambil orang lain."
"Milikmu? sejak kapan?" tanya Bayu menahan tawa. "Kamu sudah mabuk?"
Leo terdiam dengan mata yang terus mengawasi ke depan. "Awas Kiara, aku akan membuat kamu membayar semuanya. Berani sekali kamu bermain dengan bocah ingusan itu di depan mataku." Leo berbicara dalam hatinya. Tangannya terkepal di bawah meja menahan amarah.
"Leo, di tanya malah bengong. Dari awal Kiara itu sudah kekasihnya Bagas. Milikmu dari mananya? Kamu saja baru mengenalnya." Bayu terus saja mentertawakan Leo.
"Kiara itu kekasihku," jawab Leo datar, kembali meminum minumannya yang sudah diisinya lagi.
"Kamu sudah mabuk, berhentilah minum. Badan besar begitu, siapa yang akan menggendongmu kalau kamu ambruk. Pasti aku lagi, seperti yang sudah-sudah," gerutu Bayu.
"Aku tidak mabuk. Kiara memang kekasihku. Aku sudah mengklaimnya, dia milikku. Dan sekarang aku akan mengambil milikku." Leo berdiri lalu berjalan ke tempat orang-orang yang sedang berdansa.
"Bisakah aku berdansa dengannya?" tanya Leo setelah berada di depan Kiara dan Bagas.
Bagas dan Kiara yang sedang hanyut dalam alunan musik biola, tentu saja heran tiba-tiba musik berhenti. Tetapi keheranan mereka terjawab ternyata Bos besar yang membuat musik jadi berhenti.
Bagas menjawab dengan sopan, "Tentu saja." Bagas melepaskan tangannya dari Kiara dan berlalu pergi ke tempat di mana kedua orang tuanya sedang duduk menikmati alunan musik.
Leo tersenyum menatap Kiara. Diraihnya tangan Kiara, ditempatkan dipundaknya. Tangannya sendiri melingkar manis di pinggang ramping Kiara.
"Hai, cantik. Jangan memasang wajah seperti itu, nanti orang berpikir aku menyakitimu. Padahal dirimu yang menyakitiku." Leo berbisik pelan di telinga Kiara. "Ikuti musiknya, jangan diam saja."
Kiara tersadar melihat sekeliling, orang-orang sedang memperhatikan dirinya. Menunggu untuk memulai berdansa.
Perlahan alunan musik mulai terdengar. Suara Biola mengalun indah, membawakan "A Whiter Shade Of Phale". Siapa pun yang berada di lantai dansa pasti dengan sendirinya mengikuti alunan Biola, begitu pun Leo dan Kiara. Perlahan tapi pasti, tubuh mereka sudah mengikuti alunan musik. Suasana temaram semakin menambah kesan romantis di lantai dansa.
Bayu yang memperhatikan Leo dari tempatnya duduk, tersenyum. "Leo, Leo. Seleramu memang tidak diragukan."
"Selera siapa?" tiba-tiba Monika sudah duduk di sebelah Bayu.
"Bikin kaget saja! Seperti hantu, muncul tiba-tiba," omel Bayu.
"Selera siapa?" tanya Monika ulang tanpa menghiraukan omelan Bayu.
"Selera temanku," jawab Bayu, mengalihkan perhatiannya dari Leo.
Monika mengambil gelas kosong lalu mengisinya dengan minuman yang tersedia di meja. Terlihat wajahnya tidak bersemangat.
"Kenapa kamu?" tanya Bayu memperhatikan Monika.
Monika terdiam, beberapa kali dia menenggak minumannya hingga habis.
"Jangan banyak minum, kita bukan sedang berada di Bar. Ingat! Ini acara anniversary perusahaan. Jaga sikapmu!" Ancam Bayu tegas, melihat Monika yang sudah mulai kehilangan kontrolnya.
Monika tersenyum sinis. "Tenang saja, aku kuat minum. Tidak mungkin membuat huru hara di sini."
Bayu melihat kembali ke depan. Leo nampak menikmati sekali berdansa dengan Kiara. Beberapa lagu telah terlewati tetapi sepertinya Leo masih betah berdansa.
Monika juga sedang memperhatikan Leo. Ingin rasanya dia berada di posisi Kiara sekarang, berdansa dengan Leo memeluk erat dirinya. Memamerkan kepada tamu undangan, dia wanita paling bahagia bisa berdansa dengan laki-laki yang banyak di puja para wanita.
"Kamu tidak berdansa?" tanya Bayu.
"Tidak ada yang mau." Monika menjawab dengan datar.
Bayu tertawa kecil. "Bukan tidak ada yang mau tetapi kamu sendiri yang tidak mau."
Monika terdiam beberapa saat, matanya terus melihat ke depan. Sejujurnya hatinya merasa cemburu, melihat Leo memeluk Kiara begitu mesra. Tetapi semua pikiran itu dia tepiskan, bukankah Kiara itu kekasihnya Bagas. Tidak mungkin Leo menyukai Kiara, anak kecil yang masih duduk di bangku Sekolah.
Musik berhenti, lampu yang tadi redup perlahan mulai berganti terang. Pasangan yang sedang berdansa, menghentikan dansanya. Begitu juga dengan Leo dan Kiara.
"Kita duduk di sana," ajak Leo, menunjuk meja yang ada Bayu dan Monika.
"Tidak, aku harus menemani keluarganya Bagas. Tidak mungkin aku duduk bersamamu, nanti mereka curiga."
Leo terdiam sesaat, betul juga apa yang dikatakan Kiara. "Baiklah. Aku mengizinkanmu tetapi ingat, jaga jarakmu dari bocah ingusan itu."
"Siap Bos," jawab Kiara sedikit menggoda dengan mengedipkan sebelah matanya, biar Leo cepat-cepat pergi darinya.
Leo dan Kiara pergi ke meja yang berbeda. Leo dengan sejuta senyum diwajahnya sementara Kiara dengan sejuta kekesalan diwajahnya.
"Kiara, kamu lelah? Dari tadi aku lihat, pak Leo terus saja mengajakmu berdansa."
"Iya, kakiku pegal. Apalagi aku tidak terbiasa memakai sepatu tinggi begini. Aku sampai kehausan." Kiara meringis merasakan kakinya yang pegal.
"Minumlah air putih ini." Bagas memberikan air minumnya.
"Sebaiknya kita pulang saja, ini sudah lewat dari tengah malam. Sebagian tamu undangan sudah ada yang pulang."
"Iya Pa, Mama juga sudah lelah. Ingin meluruskan pinggang, rasanya sudah sakit," jawab Mama. Mereka berempat pun lalu menghampiri meja Leo berpamitan untuk pulang.
Leo hanya bisa menatap kepergian Kiara, melihat kekasihnya digandeng laki-laki lain.
"Pak Leo, sebaiknya kita juga pulang. Satu per satu tamu sudah mulai pulang. Ini sudah lewat tengah malam. Aku sangat lelah."
"Iya, Leo. Kita pulang. Biarkan saja kalau masih ada yang ingin di sini. Aku tadi sudah menyuruh anak buah untuk mengurus semuanya." Bayu berdiri, diikuti Monika dan Leo. Kemudian berlalu, pulang.
Suasana pesta berangsur-angsur mulai ditinggalkan orang-orang. Semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Para bodyguard bernapas lega, tugas mereka sudah selesai. Usaha mereka tidak sia-sia berjaga penuh siaga, memasang mata dan telinga mengamankan jalannya acara.