Bagas yang terbangun karena bunyi ponsel yang terus-terusan berdering, langsung tersadar sempurna begitu mendengar Kiara belum pulang. Buru-buru dia menghubungi nomor Kiara tetapi tidak aktif. Bagas berpikir keras, kira-kira ke mana Kiara sampai belum pulang ke rumahnya.
"Ma, Mama," teriak Bagas begitu ke luar dari kamar. "Mama"
"Apa sih, seperti di hutan saja pagi-pagi sudah teriak-teriak," jawab Mama yang muncul dari arah dapur.
"Kiara belum pulang Ma, barusan Ibunya telepon." Bagas terlihat cemas sekali.
"Belum pulang? Bukankah semalam pulangnya di antar Pak Leo."
"Pak Leo? Oh iya, Bagas lupa. Karena panik Bagas sampai lupa. Aku akan menelpon Pak Leo." Bagas melihat ponselnya tetapi kemudian terdiam melihat layar.
"Kenapa diam? Telepon Pak Leo," kata Mama.
"Bagas tidak punya nomornya Ma," ucap Bagas lemes. "Bagaimana ini, Ma?"
"Papa pasti punya nomornya. Ayo, minta nomornya Pak Leo ke Papa." Mama bergegas pergi menemui Papa diikuti Bagas dibelakangnya.
Papa yang masih tidur dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya, di buat terkejut dengan Mama yang tiba-tiba membangunkannya dengan suara yang keras.
"Papa, Papa! Bangun Pa," teriak Mama sambil menarik selimut.
Papa langsung terbangun. " Kebakaran, kebakaran, di mana kebakarannya?" tanya Papa dengan kesadaran yang belum terkumpul sempurna.
"Apa sih Papa ini. Tidak ada kebakaran di sini," jawab Mama. Di dalam hatinya merasa lucu melihat Papa terbangun seperti orang panik tetapi merasa berdosa membangunkan Papa seperti tadi.
"Pa, punya nomor Pak Leo tidak? Bagas mau menelpon Pak Leo."
"Pak Leo?" tanya Papa seperti orang linglung.
Mama yang melihat Papa seperti orang bingung langsung mengambil air yang ada di atas meja dan memberikannya ke Papa. "Pak Leonardo, Bos Papa," kata Mama.
"Mau apa telepon Pak Leo?" tanya Papa heran.
"Kiara belum pulang dari semalam. Tadi Mamanya telepon, suaranya seperti orang panik. Semalam Kiara pulang di antar Pak Leo, kenapa tidak sampai ke rumahnya?" Bagas bicara dengan nada khawatir.
"Papa tidak punya nomornya, hanya orang terdekatnya saja yang tahu nomor kontak Pak Leo. Mungkin Pak Bayu punya," kata Papa.
"Ini masih pagi Pa, tidak enak rasanya mengganggu Pak Bayu," kata Mama. "Kita pulang saja sudah hampir pagi."
"Terus bagaimana dong?" tanya Bagas cemas. "Ma, Pa. Cari jalan keluarnya dong."
Beberapa saat semuanya terdiam, berpikir bagaimana caranya mencari jalan keluarnya. "Papa telepon kawan yang lain. Mungkin dia tahu. Mana ponsel Papa?"
"Iya Pa, cepat Pa." Mama mengambil ponsel dari atas meja kecil.
Beberapa kali Papa mencoba untuk menelpon kawannya tetapi tidak tersambung. "Mungkin masih tidur Ma. Ponselnya tidak aktif."
Bagas mondar mandir di dalam kamar dengan wajah yang kebingungan, sementara Mama memijat keningnya yang terasa agak pusing.
...
Sinar matahari sudah berada di puncak kepala. Di dalam kamar yang bernuansa putih dengan tempat tidur yang berukuran king size, terlihat Kiara sedang berusaha membuka ke dua bola mata coklatnya. Mengerjapkan matanya perlahan melihat sekeliling, merasakan seperti ada yang janggal. "Ini sepertinya bukan kamarku." Kiara berusaha mengumpulkan kesadarannya. "Bantalnya terasa aneh, kenapa hangat sekali?" terus saja Kiara berbicara sendiri di dalam hatinya. Perlahan kepalanya melihat ke samping, dilihatnya wajah yang begitu dekat dengan wajahnya.
"Aaa ---," Kiara berteriak kencang. "Apa yang kamu lakukan di kamarku?!"
Leo yang kaget karena teriakan Kiara langsung terbangun. "Ada apa? Kenapa? Siapa? Di mana?"
"Kenapa kamu ada di kamarku?!" teriak Kiara lagi, berusaha untuk duduk.
Leo mengerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadarannya.
Kiara mengambil bantal yang ada di dekatnya dan memukulkannya ke Leo. "Apa yang kamu lakukan di kamarku?!"
"Kamarmu? Lihatlah dengan jelas Nona, ini kamar siapa?" Leo berusaha menangkis bantal dengan tangannya.
Kiara melihat sekeliling dan bantal yang dia pegang. "Di mana aku?!"
"Pikir sendiri di mana sekarang kira-kira dirimu?"
"Kamu menculikku dan ---," ucapan Kiara menggantung, melihat ketubuhnya sendiri.
"Apa?" Leo tersenyum jahil, dipikirannya terbersit untuk menggoda Kiara.
"Kamu tidak ---," Kiara menggantungkan ucapannya lagi.
"Apa?" Leo tersenyum usil. "Tidak apa?"
"Kamu tidak anu ini anu itu ini," Kiara bingung harus mengatakannya sehingga membuatnya tidak tahu harus bicara apa.
"Gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kamu seorang pelajar, tahu bukan cara bicara yang baik dan benar?" Leo menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur dengan menahan tawa.
"Baju yang aku pakai masih lengkap, tubuhku tidak merasakan sakit apa pun. Berarti si gila ini tidak menyentuhku," Kiara berbicara sendiri kemudian tersenyum melihat Leo.
Leo melihat Kiara tersenyum kepadanya. "Apa? Senyum-senyum sendiri, kerasukan ya kamu."
"Kamu tidak menyentuhku bukan?" tanya Kiara dengan mimik muka seperi orang yang sedang menginterogasi.
"Menurutmu?" jawab Leo balik bertanya.
"Buktinya aku tidak merasakan sakit apa pun ditubuhku."
"Tubuhmu tidak sakit bukan berarti aku tidak menyentuhmu bukan? Menurutku, itu sih tidak membuktikan kalau aku menyentuhmu atau tidak." Leo semakin senang menggoda Kiara.
Beberapa saat Kiara terdiam, melihat Leo penuh curiga. "Maksud kamu apa?"
"Tidak, aku tidak bermaksud apa-apa," jawab Leo menahan tawanya.
Kiara tidak melepaskan pandangannya dari Leo, matanya terus saja menatap tajam. "Maksudmu kamu telah menyentuhku bukan? Tidak mungkin. Aku tidak percaya. Baju yang aku pakai saja masih menempel ditubuhku."
"Ya sudah, itu hak kamu." Menggoda Kiara menjadi kesenangan tersendiri buatnya. "Tetapi menurutku, aku menyentuhmu atau tidak, sepertinya tidak masalah. Bukankah kamu itu kekasihku?" tanya Leo tersenyum.
Kiara terdiam, dimatanya sekarang Leo adalah makhluk yang sangat menyebalkan. "Kamu yang memaksaku menjadi kekasihmu."
"Jadi maksudnya kamu tidak mau?" tanya Leo dengan sorot mata yang tajam, senyum yang tadi menghiasi wajahnya langsung hilang.
Ada rasa takut di hati Kiara saat matanya bertemu dengan iris mata Leo yang hitam pekat. "Bahaya kalau dia sampai marah. Dia seperti orang yang punya kepribadian ganda. Tadi wajahnya penuh dengan senyuman, sekarang seperti orang yang mau membunuh. Aku harus hati-hati berbicara dengannya, jangan sampai merugikan diriku sendiri." Kiara terus saja berbicara dengan dirinya sendiri.
"Kenapa diam saja?!" tanya Leo lagi.
"Bukan begitu maksudku. Aku hanya aku hanya," Kiara menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung harus menjawab apa. "Pulang, aku mau pulang." Kiara cepat-cepat turun dari tempat tidur, mengambil tasnya yang dilihatnya ada di atas meja. Kemudian mengambil sepatunya yang dia lihat ada di bawah.
Leo cuma memperhatikan semua pergerakan Kiara dari atas tempat tidurnya.
"Pintu, di mana pintu?" Kiara mengedarkan pandanganya mencari pintu ke luar. "Kamar ini besar sekali."
Leo tetap diam, memperhatikan Kiara seperti orang yang sedang menonton film dengan kedua tangan melipat di dada bidangnya.
"Kamarmu besar sekali, tidak cape punya kamar besar begini? Ternyata pintunya di sana." Kiara berjalan ke arah pintu yang dia lihat dengan menenteng sepatu dan tasnya.
"Ini kamar mandi. Leo, di mana pintu ke luarnya?!" teriak Kiara yang mulai kesal.
Leo menunjuk dengan bibirnya ke arah berlawanan dari pintu kamar mandi.
Kiara langsung menuju ke pintu yang Leo tunjuk. Terkunci, Kiara mencoba untuk membukanya berulang-ulang tetapi pintu tidak bergeming , berdiri kokoh dengan sombongnya.
"Leo, buka pintunya! Aku ingin pulang, Ibu pasti cemas menunggu aku." Teriak Kiara dengan wajah yang sudah memerah.
Leo hanya tersenyum, menepuk-nepuk kasur kosong disampingnya sebagai pertanda Kiara duduk di situ.
"Aku tidak mau, aku ingin pulang! Leo buka pintunya," rengek Kiara.
Leo cuma mengangkat ke dua bahunya dengan ekspresi yang menyebalkan.