Mobil meluncur menembus dinginnya malam, berhenti di depan rumah yang sederhana dengan pintu pagar yang tertutup rapat. Leo memberhentikan mobilnya, dilihatnya Kiara masih tertidur pulas. Leo tersenyum, mengelus lembut pipinya yang halus. "Kiara, kita sudah sampai. Bangun. Kiara." Panggil Leo berulang-ulang.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponsel yang ada ditas Kiara bergetar. Leo mengambil tas yang ada dipangkuan Kiara. Tertera di layar ponsel tulisan Ibu.
"Bagaimana ini?" Leo mencoba membangunkan Kiara lagi, tetapi hasilnya tetap saja Kiara tertidur nyenyak.
Ponsel berhenti bergetar. Leo mencoba membuka ponsel. "Berhasil. Kenapa ponselnya tidak pakai kunci? Dasar bodoh. Apa ini?! backgroundnya foto dia dengan bocah ingusan itu. Aku hapus saja." Leo terus saja bicara sendiri.
Sudah setengah jam lamanya Leo berada di situ, lama-lama Leo merasa lelah juga.
"Kenapa dia susah sekali dibangunin, lihatlah dia tidur sampai mangap begitu." Leo tertawa melihat wajah Kiara dengan muka yang sedang mangap. Leo mengeluarkan ponselnya dan sempurnalah, wajah mangap Kiara masuk ke dalam galeri fotonya dari berbagai arah.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponsel Kiara kembali bergetar. Nama Ibu kembali tertera di layar ponsel. Leo berpikir sejenak. "Halo." Leo menjawab telepon.
Beberapa detik dari seberang sana tidak ada jawaban. Tidak lama kemudian, "Ini ponselnya Kiara bukan?"
"Iya. Ini ponselnya Kiara," jawab Leo datar.
"Siapa ini? Kenapa kamu yang angkat? Apa ini Bagas? Di mana Kiara?" tanya Ibu panik.
Leo berdeham untuk mengatur suaranya. "Kiara sedang bersamaku."
"Siapa ini? di mana Kiara?" tanya Ibu lagi.
"Berikan ponselnya pada Kiara, Ibu ingin bicara dengannya!"
"Kiara sedang tidur," jawab Leo sesuai dengan kenyataannya.
"Tidur? Siapa kamu? Ini bukan suara Bagas." Terdengar nada kekhawatiran Ibu dari seberang telepon.
"Aku Leo. Sepertinya Kiara sedang tertidur nyenyak. Kalau nanti dia terbangun, aku akan mengatakannya kalau Ibu menelpon." Leo tanpa basa basi langsung menutup telepon.
"Salah anaknya sendiri tidur seperti orang mati." Dimasukannya ponsel Kiara ke dalam saku celananya, kemudian menghidupkan kembali mesin mobil. "Aku juga lelah, ingin istirahat. Lebih baik aku pulang saja."
Mobil kembali menembus jalanan ibukota. Tidak berapa lama, Leo sampai di depan Mansionnya. Hanya nampak penjaga yang sedang siap berjaga. Leo segera turun, membuka pintu yang sebelahnya lagi dan menggendong Kiara masuk ke dalam Mansionnya.
"Tuan menggendong siapa?" Ratih yang berpapasan dengan Leo yang hendak ke luar bertanya-tanya dalam hatinya. "Apa itu salah satu wanita penghiburnya. Baru kali ini Tuan membawa seorang wanita pulang, pasti dia sangat istimewa."
Leo melihat Ratih hanya sekilas, terus berjalan menaiki tangga menuju ke dalam kamarnya. Dibaringkannya tubuh Kiara di atas tempat tidur, Leo tersenyum melihatnya. "Ternyata dia kalau tidur tidak ingat apa pun, seperti orang pingsan. Aku bisa bayangkan reaksinya kalau dia terbangun. Pasti marahnya akan membuat wajahnya merah seperti kepiting rebus."
Leo kemudian membuka bajunya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lama kemudian terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Beberapa menit berlalu, Leo telah selesai dengan ritual mandinya. Wajahnya terlihat segar. Naik ke atas tempat tidur dan ikut berbaring di sebelah Kiara. Leo tersenyum memandangi wajah Kiara, dielusnya lembut pipi Kiara. Rasa ngantuk mulai menguasai Leo, perlahan matanya terpejam. Dan dalam hitungan detik telah membawanya ke alam mimpi.
Pagi yang cerah, suasana di dalam dapur nampak ramai dengan orang- orang yang sibuk menyiapkan sarapan. Pagi itu di dapur kediaman Tuan Leonardo, para pelayan sedang membicarakan Tuannya yang pulang dengan membawa seorang wanita.
"Pak Bowo tahu nggak, semalam Tuan Leo pulang dengan membawa seorang wanita dalam gendongannya." Ucap pelayan dengan tangan yang sibuk membersihkan sayuran.
"Jangan asal bicara Marni. Dasar tukang gosip. Kalau Tuan sampai dengar, habislah riwayatmu," Pak Bowo bicara ketus.
"Siapa yang asal bicara, aku melihatnya sendiri tadi pagi. Sepulang dari membeli sayur, aku melihat Tuan baru ke luar dari mobil. Aku tadi mengira Tuan pulang sendirian tetapi kemudian Tuan membuka pintu yang satunya lagi, aku melihat Tuan menggendong seorang wanita dan membawanya langsung masuk ke dalam kamar. Wanita itu diam saja tidak bergerak." Marni panjang lebar menjelaskannya ke Pak Bowo.
Pak Bowo dengan serius mendengarkan apa yang dikatakan Marni. "Seperti itu?"
"Ih, Pak Bowo. Marni panjang lebar menjelaskan, jawabnya hanya seperti itu?" Marni menggerutu.
"Memangnya aku harus jawab apa? Seperti mati lampu, begitu?" kata Pak Bowo.
Pelayan lain yang sedang berada di dapur hanya tersenyum mendengarkan mereka bicara.
"Sudahlah, bicara dengan Pak Bowo tidak seru. Aku mau ke luar saja, mencari bahan-bahan sayuran yang kurang untuk di masak." Marni segera ke luar dengan wajah yang kesal.
Pak Bowo terdiam duduk di kursi, memikirkan apa yang tadi Marni katakan. "Tuan membawa pulang wanita? Siapa dia?"
"Daaar ... !" Ratih mengagetkan Pak Bowo dari belakang.
"Astaga, Ratih! Bapak ini sudah tua, bagaimana kalau pingsan karena kaget." Pak Bowo mengelus-elus dadanya.
Ratih tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Pak Bowo.
"Kualat kamu, durhaka sama orang tua nanti matinya masuk neraka. Mau?"
"Ih, Bapak ini. Begitu saja bawa-bawa neraka. Ratih hanya bercanda Pak. Maaf." Ratih memasang wajah memelas dengan kedua tangan memegang telinganya.
"Jangan sekali-kali lagi."
"Iya, janji nggak bakalan lagi. Tetapi kalau berkali-kali, bolehkan?" Ratih mengatakannya dengan siap-siap berlari, takut kena timpuk tangan Pak Bowo.
Tetapi Pak Bowo diam saja, menyeruput kopi panas yang di buat pelayan lain yang di taruh didepannya.
Karena Pak Bowo tidak melakukan perlawanan, Ratih mendekat. "Pak, kenapa?"
Pak Bowo melihat Ratih. "Kamu semalam melihat Tuan pulang, tidak?"
"Lihat. Mobil Tuan masuknya saja aku melihatnya. Jam 4 pagi lewat sedikit. Kenapa?"
"Apa semua pelayan tahu, Tuan pulang membawa wanita?"
"Kalau itu sih, Ratih tidak tahu. Meski pun tidak tahu, pasti jadi tahu. Orang-orang di sini semuanya tukang gosip." Ratih melihat ke para pelayan yang sibuk dengan pekerjaannya tetapi dengan telinga yang tajam mendengar.
Pak Bowo kembali terdiam, menyeruput kopinya dengan pikiran yang banyak beribu pertanyaan.
...
Ibu mondar- mandir di dalam ruang tamu dengan ponsel yang sibuk dia mainkan. Sesekali dia menghela napas panjang. Wajah yang penuh dengan kekhawatiran. Tidak berapa lama kemudian ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk.
" Hallo, Bagas. Dari mana saja? Ibu menunggumu dari tadi." Ibu berkata dengan penuh nada kekhawatiran.
"Maaf, Bu. Bagas baru bangun. Ada apa Bu? Bagas melihat banyak panggilan masuk dari Ibu." Bagas menjawab dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Kiara, di mana Kiara?" tanya Ibu cemas.
"Kiara?" Bagas malah balik bertanya.
"Iya, di mana Kiara?!" tanya Ibu khawatir.
"Kiara malam sudah pulang Bu. Setelah selesai acara, Kiara pulang."
"Kiara belum pulang. Buat apa Ibu telepon kamu kalau Kiara sudah pulang." Ibu terdengar seperti mau menangis.
"Kiara belum pulang?" Bagas balik bertanya.
"Bagaimana sih kamu ini, dititipin malah Kiara menghilang. Semalam bukankah kalian pulangnya sama-sama? Kenapa kamu tidak tahu Kiara sekarang ada di mana? Kamu harus bertanggung jawab!" Ibu langsung menutup teleponnya.