"Kiara, dia seperti Pangeran dari negeri dongeng. Wajahnya sangat tampan. Tuhan menciptakan makhluk yang begitu sempurna. Oh my god, siapa dia? Andai saja dia mau menjadi kekasihku, akan aku berikan jiwa ragaku untuknya," celoteh Silvi panjang lebar, melihat ke arah pria tersebut. "Oh my god, Kiara! Lihat, dia masuk ke dalam mobil sport keluaran terbaru, dia pasti orang kaya."
"Jangan lebay, Vi. Di dunia ini banyak cowok ganteng dan kaya. Ayo pulang, Vi," ajak Kiara. "Ibu di rumah pasti sudah menunggu kita, ayo!" ajaknya lagi menarik tangan sahabatnya yang senyum-senyum sendiri mengkhayalkan pria tadi.
Jalan raya sangat ramai di sore hari, orang-orang yang dari pagi sudah bekerja seharian sudah tidak sabar untuk segera pulang, mengistirahatkan badan yang lelah.
"Kamu sih, ga ada kerjaan ke luar masuk toko, cuma ingin melihat baju model terbaru," omel Kiara dengan muka merengut. "Kita jadinya kesorean, kasihan Ibu dirumah sendirian. Sebentar lagi turun hujan, sudah mendung," gerutu Kiara.
"Iya, iya aku salah. Sorry Kia," ucap Silvi merasa nggak enak. "Tapi tadi seru kan?"
"Apanya yang seru, yang ada kaki aku pegel, tau!" jawabnya dengan muka merengut.
"Kamu marah-marah terus, nanti jadi perawan tua loh," goda Silvi memainkan alisnya naik turun.
"Tidak mungkin, gue ini cantik luar dalam tahu," balas Kia memuji dirinya sendiri.
"Cantik dari mananya?" kata Silvi menoleh ke arah Kiara yang berjalan di sebelahnya. "Tapi emang beneran cantik sih, kalau di lihat dari ujung Monas," goda Silvi yang diakhiri dengan tawa yang terbahak-bahak.
"Awas kamu ya, berani sama aku," serang Kiara yang tiba-tiba saja mau mencubit pinggang Silvi.
Melihat tangan Kiara yang mau mencubitnya, Silvi langsung berlari menghindar tapi tetap dengan tawa yang tidak berhenti.
"Ke sini kamu, jangan lari!" teriak Kiara yang berusaha mengejar sahabatnya sambil membawa kantung plastik belanjaan.
Mereka berlari saling kejar-kejaran tidak menghiraukan orang-orang disekelilingnya. Masa muda yang penuh canda dan tawa tanpa beban. Dunia mereka yang polos tanpa masalah yang berarti.
...
Di lain tempat di dalam rumah yang sangat besar, terdengar suara langkah sepatu baru saja masuk.
"Tuan Leo, sudah pulang?" tanya salah satu pelayan yang baru saja melihat kedatangan Tuannya.
"Antarkan kopi ke kamar," perintahnya tanpa menjawab pertanyaan dari pelayannya tadi.
"Baik Tuan," jawab pelayan sopan.
"Suruh Pak Bowo yang antarkan," perintahnya lagi, kemudian berlalu begitu saja ke arah kamarnya.
Pelayan yang di suruh langsung pergi ke dapur membuatkan kopi untuk Tuannya.
"Kopi untuk siapa, Ratih?" tanya pria tua yang sudah berdiri di sebelahnya.
"Pak Bowo ngagetin saja, tiba-tiba sudah ada di sini. Tidak terdengar langkahnya seperti hantu. Assalamualaikum atau apa gituh," omel Ratih karena kaget.
"Kualat kamu ngatain orang tua hantu" ucap Bowo menoyor kepala Ratih. "Kopi buat siapa?" tanyanya ulang.
"Tuan Leo."
"Tuan Leo sudah pulang?" tanyanya lagi.
"Sudah, Pak Bowo. Ini buktinya Tuan menyuruh saya membuatkan kopi," tunjuk Ratih ke arah cangkir yang masih mengepul. "Dan Tuan menyuruhku agar Pak Bowo yang mengantar kopi ke kamarnya."
Setelah mendengar penjelasan Ratih, Bowo langsung membawa kopi yang sudah siap di atas nampan.
"Eh, Pak Bowo tunggu."
"Apa lagi?" tanya Bowo melihat ke arah Ratih.
"Tuan Leo terlihat sangat lelah dan matanya sedih, seperti sedang banyak masalah."
"Tentu saja Tuan lelah, Ratih. Dia itu CEO yang memimpin Perusahaan besar. Tidak seperti kamu, tiap hari kerjanya gosipin orang dengan pelayan lain."
"Ih, Pak Bowo nyebelin," jawab Ratih memanyunkan bibirnya.
Pak Bowo tersenyum dan langsung pergi ke kamar Tuannya yang berada di lantai atas.
Tok ... tok ... tok ...
"Tuan, kopinya!" seru Bowo dari luar pintu.
"Masuk saja tidak dikunci!" jawab dari dalam.
Perlahan pintu dibuka. Pak Bowo masuk membawa nampan berisi kopi pesanan Tuannya dan meletakkannya dimeja, di depan Leo.
"Bowo."
"Ya, Tuan Leo," jawab Bowo singkat.
"Duduklah," perintah Leo yang melihat pelayannya masih berdiri. "Temani aku mengobrol sebentar."
"Baik Tuan," Bowo pun duduk di sofa, di seberang tempat Tuannya duduk.
Lama Leo terdiam menatap ke arah jendela yang terlihat mulai turun hujan.
Udara segar menyeruak masuk lewat jendela yang terbuka lebar, memainkan gorden tipis yang menjuntai.
"Hm, hm," deham Bowo memecah kesunyian di antara mereka.
"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" tanya Leo.
"Sejak Tuan masih dikandungan Nyonya Laras. Ada apa Tuan? Kenapa bertanya seperti itu?" tanya Bowo penasaran.
Leo terdiam, pandangannya mengarah ke luar jendela. Terlihat hujan semakin deras disertai kilat yang saling menyambar.
"Aku merindukan mereka, rasanya baru kemarin mereka bersamaku. Rumah ini sepi tanpa mereka. Aku sangat merindukannya" gumam Leo nyaris tidak terdengar, terlihat sebuah kerapuhan dari bola matanya.
Meskipun suara Tuannya hampir tidak terdengar, tetapi Bowo bisa mendengarnya dengan jelas.
"Waktu itu aku masih sangat muda ketika kecelakaan itu terjadi. Aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini, orangtuaku dua-duanya anak tunggal. Aku tidak merasakan masa mudaku seperti anak-anak lain."
"Sabar Tuan. Setiap manusia punya jalan ceritanya masing-masing," potong Bowo melihat ke arah Leo. Bowo bisa merasakan perasaan Tuannya yang sedang sedih.
"Bahkan wanita yang pernah aku cintai pun mengkhianatiku," tuturnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Wanita itu bukan yang terbaik untukmu, Tuan. Yang dia inginkan hanyala uang," sela Bowo. "Sabarlah, suatu saat nanti rumah ini akan ramai dengan suara anak-anak Tuan."
Leo terdiam kembali, matanya terus melihat ke arah gorden jendela yang dipermainkan angin, pikirannya entah berada di mana. Matanya menatap kosong dengan perasaan yang sudah tidak karuan.
Pak Bowo yang mengenal Leo sejak kecil, tentu saja sangat mengenal Tuannya. Hidup yang dijalaninya mengubahnya menjadi laki-laki yang tidak punya hati.
"Tuan," panggil Bowo pelan.
"Hm," cuma itu yang ke luar dari bibirnya.
"Menurutku ..." Bowo ragu untuk melanjutkan omongannya.
"Kenapa?" Leo menoleh ke arah Bowo yang tidak meneruskan ucapannya.
"Tidak, tidak Tuan."
"Katakan saja, ada apa?" ulang Leo.
"Menurutku apa sebaiknya Tuan mencari pendamping, menemani dan mengurus Tuan," Bowo mengatakannya dengan ragu-ragu.
"Bukankah ada kalian yang mengurus aku?" tanya Leo.
"Kami semua yang di rumah ini selalu ada untuk Tuan, tapi apa yang kami lakukan tidak sama kalau Tuan punya istri sendiri. Seorang istri bukan hanya mengurus keperluan Tuan saja tetapi juga tempat berbagi cerita," lanjut Bowo.
"Aku tidak percaya dengan wanita selain Ibuku. Cinta hanya kebohongan, palsu," potong Leo yang kembali melihat ke arah jendela.
Bowo hanya menghela napas panjang mendengar apa yang dikatakan Tuannya, kalau sudah begitu apa pun yang akan dikatakannya tidak akan di dengar.
"Baiklah, sebaiknya Tuan istirahat. Saya permisi ke belakang. Kalau perlu sesuatu, Tuan bisa panggil saya," akhirnya Bowo meminta izin ke luar kamar.
Tanpa menunggu jawaban dari Leo yang sedang melihat ke arah jendela, Bowo segera bergegas ke luar dari kamar.
Dalam hatinya dia merasa kasihan melihat Tuannya yang kesepian, ternyata uang tidak menjamin hidup seseorang bahagia.