Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya, pantulan sinar cahayanya menembus masuk kedalam kamar Laras membuat gadis itu menggeliat perlahan. Ia merasakan sesuatu berat melingkar diperutnya, Laras meraba dan mencoba memastikannya, itu seperti sebuah tangan. Tunggu, apa mungkin...
Laras menoleh dan menemukan sebuah dada bidang dengan dagu yang bertumpu pada kepalanya. Laras mendongak, dan benar saja dugaannya sejak awal, Verga tidur dengan memeluknya erat, itu berarti mereka tidur satu ranjang sejak semalam.
Tentu ini bukan yang pertama bagi mereka, Laras tidak perlu khawatir akan hal itu, pasalnya Verga memang sangat menghormati kaum wanita terlebih jika itu sahabatnya sendiri. Tapi tetap saja, itu membuat jantung Laras tidak aman.
Gadis itu berusaha melepas tangan Verga yang melingkar di pinggangnya, tapi tetap saja, tenaga Laras tidak sekuat Verga yang sedang memeluknya erat. Laras mendongak menatap wajah damai yang masih tertidur itu, tampan sekali apalagi jika terlihat dekat seperti ini, pikir Laras.
"Verga...bangunlah, nanti kita terlambat." Ucap Laras pelan. Ia berusaha menepuk pelan bahu Verga.
Lelaki itu menggeliat sebentar, namun bukannya melepas Laras, justru ia semakin mengeratkan pelukannya pada Laras, layaknya Laras adalah sebuah guling. Laras sedikit merasa sesak, tak ada pilihan lain selain memberi cubitan dibagian perut Verga, anggap saja itu sapaan pagi darinya.
"Awww!! Laras hentikan!!" ringisnya, kali ini Laras tampak mengerahkan seluruh tenaganya.
Berhasil, pelukan itu terlepas. Laras tersenyum senang. "Kenapa 'sih mencubitku?" kesalnya sembari mengusap pelan perutnya yang sudah memerah.
"Salah mu sendiri, memelukku dengan erat sehingga aku kesulitan bernafas, kau ingin melenyapkan ku, yah?" kesal Laras dengan wajah bantalnya.
Verga terkekeh canggung, ia menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Maaf, aku kira kau guling, hehe." Sesalnya.
"Sudah sana cepat pulang, sudah pukul tujuh, semalam katanya tidak ingin sampai telat." Celetuk Laras.
"Yasudah, tapi jadi 'kan berangkat bersama ku?" Laras nampak terdiam sejenak. "Eh soal itu, sepertinya tidak usah, aku...aku akan masuk jam sembilan. Semalam dosenku mengatakan seperti itu, jadi berangkat duluan saja." Jelas Laras kemudian tersenyum, sedikit dipaksakan.
Verga mengangkat sebelah alisnya. "Tidak biasanya kau ada kuliah di jam segitu? kau membohongiku, yah?" Verga memajukan tubuhnya membuat Laras terkejut, pria itu memandangi lekat mata Laras mencoba mencari kebenaran disana, tapi gadis itu malah menunduk.
"Yasudah kalau begitu," ucap Verga pasrah. "Sampai ketemu di kampus, yah. Jangan lupa traktir aku siang ini, aku tak menerima penolakan."
Verga beranjak dari kasur membuat Laras bernafas lega. Tapi tak berlangsung lama ketika pria itu kembali berjalan kearahnya lalu memberi satu kecupan singkat di keningnya, lagi lagi ia membuat jantung Laras tidak aman.
"Jangan lupa sarapan sebelum ke kampus, ingat janjimu tetap tersenyum, yah?" ujar Verga lembut sembari mengusap surai hitam Laras yang sedikit berantakan. Setelahnya, ia benar benar pergi dari sana meninggalkan Laras dengan jantung yang bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya.
Ting!
Laras menoleh ke asal suara dari benda pipih perseginya. Ia meraih ponsel itu dan menemukan sebuah notifikasi dari orang yang mengiriminya pesan semalam, Varo.
From : +62886xxxxx
'Aku akan datang tiga puluh menit dari sekarang.'
Laras membulatkan matanya, bukankah menurutnya itu terlalu cepat? benar benar pria gila.
Ia segera berlarian kecil ke arah kamar mandi, ia tak berhenti menggerutu kesal didalam sana, bagaimana tidak? ia bahkan belum menyiapkan rostert mata kuliahnya hari ini, pesan itu benar benar membuatnya seperti tersudut waktu semuanya terasa serba salah. Ingin sekali menolak, tapi ia tidak ingin Varo sampai berfikiran bahwa ia masih belum memaafkannya.
-
Suasana hening menyelimuti kedua manusia yang sedang dilanda rasa canggung didalam mobil. Hanya terdengar suara mesin mobil dan musik dengan volume kecil yang di putar oleh pria itu.
"Kau terlihat lebih kurus sekarang, ras."
Oh sial, pertanyaan macam apa itu? Varo mengatup rapat mulutnya, ia merutuki dirinya yang seperti orang bodoh, hanya karena terlalu canggung, ia sampai bertanya asal.
"Kufikir tidak ada hubungannya denganmu, aku makan semauku saja, aku tidak pernah memintamu memberikanku beras." Jawab Laras dingin. rasa canggung yang awalnya ia miliki berubah menjadi rasa kesal karena pertanyaan itu. Pertanyaan itu terdengar seperti sebuah sindiran layaknya Laras yang tidak hidup dengan teratur setelah kepergian Varo, meski memang kebenarannya seperti itu, sih. Tapi tetap saja itu bukan urusannya jika Laras menjadi kurus atau tidak, entahlah hari ini ia menjadi sensitif.
"Maaf, bukan seperti itu maksudku, aku hanya basa basi saja." Sesal Varo.
"Hidupmu terlalu penuh dengan basa basi, tak selalu pada intinya." Laras melipat tangannya di dada, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang di depan Varo.
Varo tersenyum miring menatap Laras. "Yasudah, aku masih mencintai mu." Ungkap Verga yang membuat Laras terkejut, rasanya hampir saja ia mengeluarkan bola matanya.
"Tak usah terkejut begitu, kau sendiri yang menyuruhku untuk selalu pada intinya."
"Bagaimana bisa mengeluarkan kata itu dengan mudah setelah menghancurkan hati seorang gadis lemah sepertiku?"
"I know, that's why i apologize. Biarkan aku mengobati luka yang sudah ku perbuat kepadamu, biarkan aku sendiri yang mengobatinya kembali, jangan mencari orang lain, i ask." Jelas Varo membuat Laras menghela nafas.
"Aku sudah memaafkanmu, tapi kau tidak ada hak untuk melarang ku dengan siapa saja, apalagi sampai memaksaku."
"Tapi aku juga tetap punya hak dengan perasaanku, jadi jangan menyalahkan ku apalagi sampai menyuruhku berhenti untuk mencintaimu." Balas Verga.
Ada perasaan sesak mendengar penuturan Varo, karena bagaimanapun, perasaan Laras ke Varo masih sama, hanya saja ia tak ingin kembali terjebak bersama perasaannya dengan lelaki itu, cukup sekali saja ia merasakan hatinya yang hancur, benar benar sakit sekali. Ia tidak ingin itu kembali terulang.
"Satu lagi, jangan pernah melarang ku untuk bersaing dengan pria sialan itu, aku tidak ingin menyerah meski kau berkata apa." tutur Varo, Laras mengerutkan keningnya bingung menatap pria yang sedang mengemudi disampingnya.
"Pria yang mana maksudmu?" tanya Laras,bingung.
"Siapa lagi? yang selalu bersamamu setiap hari, selalu menempel dan mengikuti kemanapun kau pergi, astaga aku sangat membencinya, dia menjengkelkan sekali."
"Maksudmu Verga?" Varo mengangguk bersamaan dengan sampainya mereka di area parkir kampus. "Verga hanya sahabatku, tidak lebih. Wajar saja jika dia selalu ada di dekatku, dia selalu ada dan menghiburku ketika sedih, dia bahkan lebih dulu mengenalku dibanding denganmu." Jelas Laras kesal. Ia melepas sabuk pengamannya dengan cepat kemudian turun dari mobil Varo.
Varo menahan tangan Laras yang dibalas hempasan sedikit keras oleh gadis itu. Hal itu disaksikan langsung oleh Verga yang ternyata berada ditempat yang sama dengan keduanya, nampaknya ia juga barusaja sampai.
Verga menatap kecewa Laras dan Varo secara bergantian, ia berfikir gadis itu membohonginya demi laki laki brengsek itu, ada sesuatu yang menyesakkan didalam sana. Rasanya seperti dihianati, tak ingin berlama lama melihat keduanya, lantas Verga berjalan masuk dengan wajah datar tanpa menghiraukan kedua manusia itu.